BEBERAPA detik menjelang ajalnya, inilah yang tampak oleh Yuly Kristanto di tepi jalan di Kota Medan di hari itu: ratusan orang meringseknya, menghantamnya, membinasakannya. Tanpa penjelasan. Ia pasti merasakan bukan saja kesakitan yang menunjam, tapi juga kesendirian yang lengkap, seorang yang tanpa penolong, ketika ia berteriak, ketika ia tak berdaya, tak berdaya.... Kita tak kenal benar Yuly Kristanto, apa salahnya, apa tidak salahnya, kita hanya tahu sebuah fakta yang keras: ia orang yang dibantai ramai-ramai. Mungkin siapa dia sebetulnya, kecuali bahwa ia seorang keturunan Cina, bukan soal bagi puluhan demonstran di Kota Medan itu. Maka beberapa detik menjelang mati, inilah akhirnya yang dialami Yuly: kemarahan ratusan orang, yang saat itu merasa benar dan kuat dan kuasa, dan bisa memutuskan untuk membunuh, tanpa banyak cingcong. Hari itu ia dan kita menyaksikan, bahwa yang kuat mendapat, yang kekar benar, dan yang lemah punah. Dan Darwinisme kasar itu tak cuma berlaku untuk posisi Yuly Kristanto. Kita lihat saja para pembunuhnya. Sebagian mereka mungkin para buruh. Mereka wakil orang-orang yang mengalami bahwa si lemah, di masyarakat Indonesia kini, sudah dinujum akan mati, atau terjepit habis, secara cepat atau perlahan. Mereka praktis tak bisa memprotes bila upah mereka terlampau rendah, bila makanan yang diberikan oleh pabrik kepada mereka sangat buruk, bila jam kerja mereka molor, bila ruang tempat mereka bekerja seperti gerbong kereta api maut. Apa boleh buat: mereka adalah sebagian dari angkatan kerja Indonesia yang surplus. Dengan kata lain, mereka bisa dipecat tiap saat, untuk digantikan dengan gampang oleh antrean panjang para pencari kerja. Mereka mungkin punya serikat buruh, tapi mereka tak yakin bisakah organisasi itu membantu mereka benar- benar, sebab mereka tak memilih sendiri pemimpin mereka, dan mereka tak punya pilihan lain. Mereka juga tak bisa mengharapkan proteksi dari Republik mereka. Republik itu terasa jauh, abstrak, hanya datang sekali sebulan dalam wujud sesosok birokrat dari Departemen Tenaga Kerja yang, dengan baju safari yang disetrika rapi, mengetuk pintu pabrik, tapi akhirnya hanya kongkow-kongkow dengan tuan majikan dan pulang seraya mengantongi sebuah amplop yang melembung. Mungkin amplop itu pula yang menyebabkan tak banyaknya surat kabar, apalagi televisi, yang mau mengungkap neraka di pabrik- pabrik Indonesia. Para wartawan mungkin telah disuap, atau sedang sibuk mengutip kata-kata para pejabat, atau takut dituduh oleh pemerintah yang bisa membreidel mereka sebagai subversi, karena menghasut sengketa buruh dan majikan. Sementara itu, entah kenapa, kita tak punya Charles Dickens yang menulis novel yang menggugah tentang si jelata dalam kesibukan industri. Kita tak punya Kathe Kollwitz yang menggambar perempuan pekerja yang terbungkuk-bungkuk di daerah kumuh. Para buruh, seperti Yuly Kristanto, korban penganiayaan di Medan itu, juga sebuah fenomen kesendirian. Juga ketidakberdayaan. Mereka juga saksi, bahwa di masyarakatnya, posisi yang benar adalah posisi si kuat yang berkuasa, dan selebihnya bisu. Atau mati. Kita memang tak bisa mengingkarinya: hampir di setiap jengkal lingkungan kita, kekuasaan adalah sakti, dan kekuatan (yang menyimpan kekerasan) adalah segala-galanya. Kita bahkan sudah melihatnya sejak kita keluar pintu dan melihat ke jalan raya: bis antarkota meraung menguasai ruang, mobil-mobil merampas sisa trotoar, dan orang-orang di balik setir, dengan senjata klakson, gampang menyemprot pejalan kaki yang lalai atau bahkan pengendara lain yang sedang kesulitan. Maka tak mengherankan bila keramaian di sekitar skandal Bapindo bersipongang. Kita tengah menyaksikan dahsyatnya makhluk yang disebut kekuasaan dan kekuatan. Para manajer bank milik publik itu memberikan kredit secara gegabah mungkin karena mereka takut kepada para bapak, atau karena mereka sedang pongah dengan kekuasaan pula. Di sini tak ada pertimbangan bisnis. Yang terjadi adalah permainan lain. Dan ketika skandal ini terbongkar, dan sejumlah nama dikejar-kejar sementara nama lain disembunyikan, di sini tak ada pertimbangan hukum. Yang tercium suatu percaturan kekuatan. Di manakah kita sekarang, gerangan? Di belukar, V.S. Naipaul mungkin akan menjawab. The bush. Ada yang menyakitkan dalam kata itu, tapi di mana kekuatan adalah panglima, di mana tinju, kedudukan dan senjata adalah raja, kita memang tak jauh dari semak belukar. Kita mungkin penghuninya yang sakit, tapi setia.Goenawan Mohamad
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini