Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Lingkungan

Kau Buang, Aku Beri Uang

Bank sampah berhasil mengurangi sampah terbuang. Sebagian pengelola mengeluhkan penjualan sampahnya.

1 Agustus 2011 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KANTOR bank di Jalan Beting Indah I Nomor 2 itu bukanlah gedung menjulang yang membuat jeri pengunjungnya. Tak ada petugas keamanan berseragam, tak tampak satu pun kamera pengawas terpasang di langit-langit, juga tak ada petugas cantik nan wangi yang menyambut dengan senyum lebar.

Terselip di perumahan padat di Kelurahan Semper Barat, Cilincing, Jakarta Utara, kantor Bank Sampah Karya Peduli terdiri atas beberapa bangunan semipermanen. Satu ruangan untuk urusan administrasi. Di seberangnya ada bangunan tanpa dinding beratap plastik untuk menampung dan mengolah sampah serta gubuk untuk menerima tamu.

Bukan uang yang keluar-masuk di bank ini, melainkan sampah. ”Setiap bulan kami bisa mengumpulkan dua hingga tiga ton sampah,” kata Nanang Suwardi, 46 tahun, pendiri Bank Sampah Karya Peduli. Sampah dikumpulkan dari 560 ”nasabah”, yakni warga Rukun Warga 09 Semper Barat. Tiga kali dalam seminggu petugas bank mendatangi para ”nasabah” untuk mengambil rupa-rupa sampah, menimbang, dan mencatatnya di buku tabungan sampah. ”Setiap kilogramnya kami beli seribu lima ratus rupiah.”

Warga, menurut Nanang, tak perlu memilah sampahnya. Tempat sampah pun disediakan oleh bank. ”Apa pun isinya kami ambil,” ujar Nanang. Petugas ­banklah yang akan memilah-milahnya—plastik, kardus, logam, karet, atau sampah organik. Sampah organik, seperti daun dan sisa makanan, diolah menjadi kompos. Sedangkan untuk sampah plastik, kertas, dan logam sudah ada perusahaan penampungnya. Berumur satu setengah tahun, kini Bank Sampah Karya Peduli mempunyai 10 petugas.

Sebagian uang yang tersimpan dalam kas Bank Karya Peduli disalurkan menjadi pinjaman untuk keperluan darurat nasabah. Tanpa bunga. Dari uang di tabungan sampah itu, kata Nanang, sebagian nasabah menggunakannya untuk membayar tagihan listrik.

”Lumayan, bisa untuk bagi-bagi ke cucu-cucu saya saat Lebaran nanti,” ujar Suminem, seorang nasabah, tersenyum lebar sambil melongok catatan di buku tabungan sampahnya. Sudah satu tahun dia menjadi ”nasabah” Bank Karya Peduli. Kini di rekening sampahnya ada uang Rp 392.500. Memang tak seberapa nilainya. Tapi sampah, yang sebelumnya tak mendatangkan manfaat, bahkan membikin kerepotan, kini berubah menjadi uang. Yang pasti, kata Suminem, sampah berkurang dan kampung mereka jadi lebih bersih.

Di Indonesia, model pengelolaan ampas rumah tangga seperti Bank Sampah Karya Peduli ini memang masih terbilang anyar. Di Thailand, bank sampah mulai populer sejak akhir 1990-an. Bambang Suwerda mendirikan Bank Sampah Gemah Ripah di Dusun Badegan, Kecamatan Bantul, Kabupaten Bantul, Yogyakarta, tiga tahun lalu. Barangkali inilah bank sampah pertama di Indonesia. Jumlah nasabahnya terus berlipat. Tahun lalu hanya 150 orang, sekarang sudah 300 orang. ”Saya bermimpi suatu ketika ada bank besar seperti ini di Bantul,” kata dosen di Politeknik Kesehatan Yogyakarta itu.

Sekarang sudah ada ratusan bank serupa di pelbagai kota. Prinsipnya, sampah mempunyai nilai ekonomi. Plastik, kertas, dan logam bisa dipergunakan kembali atau didaur ulang. Bagi sebagian orang, sampah hanyalah sampah. Tapi, di mata orang lain, tumpukan sampah tak beda dengan tambang emas. Paling tidak itu berlaku untuk sampah elektronik. Di timbunan sampah elektronik tersimpan rupa-rupa material, dari plastik, kaca, hingga logam langka, seperti emas dan paladium, yang bisa dimanfaatkan kembali.

Dalam sekeping telepon seluler saja, seperti diungkap dalam laporan Badan Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Program Lingkungan (UNEP), ”Recycling—From E-Waste to Resources”, paling tidak ada 40 elemen, seperti tembaga, nikel, kobalt, perak, emas, dan paladium. Dari satu ton ponsel tanpa baterai bisa didulang 3,5 kilogram perak, 340 gram emas, 140 gram paladium, dan 130 kilogram tembaga.

Selama ini tak banyak orang tertarik mengais rupiah dari sampah, kecuali pemulung. Bank sampah memberi insentif warga mengumpulkan dan memilah sampahnya. Jangan dikira uang yang beredar di bank sampah hanya recehan. Tengok Bank Sampah Bina Mandiri di Jalan Bratang Lapangan, Ngagelrejo, Surabaya.

Bank sampah yang didirikan dua mahasiswa Institut Teknologi Sepuluh Nopember ini bisa memulung 15 ton sampah dari 500 nasabahnya setiap bulan: lima ton sampah plastik, lima ton sampah kardus, dua ton kertas, dua ton besi, dan ribuan botol. Nilai transaksi ampas rumah tangga ini sekitar Rp 30 juta. ”Kami beli sampah itu dengan harga bagus. Lebih tinggi daripada harga di pengepul,” ujar M. Fendy Adhyastuty, pendiri Bina Mandiri.

Bina Mandiri, yang belum genap setahun, sekarang sudah mampu mengontrak rumah Rp 15 juta per tahun dan membeli dua mobil bak terbuka. Dua pemilah sampahnya digaji Rp 1,35 juta, sedangkan sopir dan pengumpulnya menerima Rp 900 ribu setiap bulan.

l l l

JIKA setiap orang di negeri ini menghasilkan lima kilogram sampah saja setiap bulan, ada satu juta ton ampas rumah tangga yang dibuang. Ke mana sampah ini berujung? Sebagian ­berakhir di tempat penimbunan sampah, seperti Bantargebang di Bekasi, ada yang dibakar atau ditimbun di halaman, sebagian lagi dibuang ke sungai.

Siapa yang sebenarnya paling bertanggung jawab mengurus sampah ini? Undang-Undang Pengelolaan Sampah mewajibkan setiap produsen mengelola kemasan dan produknya yang sulit terurai oleh proses alam. ”Prinsipnya, siapa yang menghasilkan sampah, dialah yang membayar,” kata Masnellyarti Hilman, Deputi Pengelolaan Bahan Berbahaya dan Beracun, Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun, dan Sampah, Kementerian Lingkungan Hidup, beberapa waktu lalu. Namun sejauh ini ketentuan itu hanya tertera di atas kertas. Rancangan peraturan pemerintah, misalnya soal pengelolaan sampah rumah tangga, yang menjadi panduan pelaksanaannya, hingga sekarang belum tuntas dibahas.

Ketimbang menunggu peraturan, inisiatif warga seperti Bambang, Nanang, dan Fendy patut disokong. Sebab, walaupun prosesnya sangat sederhana, tak gampang mengelola bank sampah. Untuk setiap kilogram sampah yang dipulung dan setiap rupiah yang dicatat di rekening nasabah, pengelola bank sampah harus bisa memastikan sampah itu benar-benar berubah menjadi uang.

”Untunglah selama ini kami belum pernah tekor,” kata Nanang. Namun dia masih ngos-ngosan menjaga bank sampahnya tetap beroperasi. Barang-barang kerajinan dari sampah masih menumpuk dan sulit terjual. Jika volume sampah terus bertambah, bisa jadi Bank Sampah Karya Peduli juga akan kerepotan menampung dan menjualnya.

Adapun bantuan dari pemerintah sejauh ini nihil. ”Tak serupiah pun kami pernah menerima bantuan dari pemerintah,” kata Bambang. Dia sedikit berharap, kalaupun dana itu tak datang, paling tidak pemerintah membantu mencari jalan ke mana sampah itu mesti dijual.

Sapto Pradityo, M. Syaifullah (Bantul), Fathkhurrohman Taufiq (Surabaya)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus