Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Mak Jogi Mencari Komedi

Dibanding Laskar Dagelan dan Kartolo Mbalelo, kelucuan pentas Mak Jogi terasa kurang spontan. Namun tetap menyegarkan.

1 Agustus 2011 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TOM Ibnur, penari senior itu, berubah menjadi seorang wanita. Ia mengenakan busana wanita Minang lengkap plus sanggul. Penari dan koreografer kelahiran Padang 44 tahun silam ini memerankan tokoh Mak Jogi.

Mak Jogi adalah tokoh perempuan dalam cerita Melayu yang pandai menari (Mak Joget). Tom Ibnur, dengan tubuh bergoyang, masuk ke panggung sembari berdendang lagu Melayu. Ia diiringi Bujang (Udin Semekot).

Itulah pentas Mak Jogi di panggung Graha Bhakti Budaya, Taman Ismail Marzuki, Jakarta, Selasa dan Rabu malam pekan lalu. Pentas ini merupakan bagian dari rangkaian seri Indonesia Kita yang dikomandani Butet Kartaredjasa. Pertunjukan ini, tentu saja, sarat unsur Melayu, dari rumah panggung khas Minang, adegan berbalas pantun, nyanyian-nyanyian Melayu, tari makyong, rentak zapin, hingga tari tanjung katung.

Lucu? Pertunjukan Indonesia Kita yang dikomandani Butet sudah telanjur dicap pasti akan ger-geran. Pertunjukan Laskar Dagelan dan Kartolo Mbalelo sebelumnya memang mampu membuat orang kenyang tertawa. Siapa pun yang datang di pementasan Mak Jogi tentu mengharapkan hal itu. Sutradara Agus Noor dan Djaduk Ferianto agaknya sadar. Yang jadi soal bagi mereka: materi aktor dan penari asli Melayu minim jago lawak. Maka mereka menyusupkan trio dagelan Yogya: Gareng Rakasiwi, Wisben, dan Joned. Mereka dipaksa-paksakan menjadi putra Jawa kelahiran Melayu.

Gareng Rakasiwi diduetkan dengan Agus Nur Amal, pencerita kelahiran Aceh yang akrab disapa PM Toh. Peran PM Toh adalah mengisahkan perjalanan Mak Jogi. Ia dan Gareng Rakasiwi memasuki panggung mengendarai perahu-perahuan. Tak terduga, mereka kompak. Lihat saja saat PM Toh mengenalkan Gareng sebagai asistennya. ”Baru kali ini orang Aceh memimpin orang Jawa,” ujarnya, yang disambut tawa penonton.

Suasana semakin renyah saat rombongan dari Kerajaan Sepancung Daun, Baginda Raja (Pepy Chandra), Awang Pengasuh (Hoesnizar Hood), Penasihat Raja (Effendi Ghazali), Penyair Kerajaan (Hasan Aspahani), Hang Panglima (Ramon Damora), dan Hang Dagang (Joned), memasuki panggung. Kritik-kritik dituangkan dalam bentuk berbalas pantun.

l l l

Pentas Melayu ini bercerita mengenai seorang raja di Kerajaan Sepancung Daun yang bimbang karena mengalami mimpi aneh. Sang Raja meminta semua penasihat istana menafsirkan mimpinya. Awang Pengasuh mengatakan mimpi itu petunjuk bahwa Raja harus mencari air tujuh muara. Untuk memperoleh air tujuh muara itu, seorang penari legendaris kerajaan, Mak Jogi, harus ikut serta.

Di sinilah plot lalu didesain untuk bisa menimbulkan potensi jenaka. Tatkala rombongan tiba di daerah pertama, Minang, penasihat kerajaan yang mencoba mengambil air dengan cara paksa gagal mendapatkannya. Tapi, saat Mak Jogi berjoget tarian budaya setempat, ia berhasil membawa air itu.

Hal yang sama terjadi saat mereka berada di daerah kekuasaan Mak Towok (Didik Nini Thowok). Mak Towok mensyaratkan Mak Jogi harus mampu mengikuti gerakan tarinya untuk mendapatkan air yang dicari. Lagi-lagi, karena kepiawaiannya, Mak Jogi berhasil mengikuti gerakan tari Mak Towok. Di sini kehadiran Didik Nini Thowok terasa menyegarkan karena ia menyajikan tarian khasnya, dua wajah.

Tapi, dibanding dengan ludrukan Kartolo Mbalelo, banyolan-banyolan yang terlontar dalam pentas kali ini terlihat banyak direncanakan atau diskenariokan—kurang terlontar spontan. Ini terutama pada Effendi Ghazali, yang memerankan Penasihat Raja. ­Effendi sering memotong dialog dan memaksa masuk dengan sindiran politik ”cerdas”-nya yang biasa dia bawakan di program Republik Mimpi di salah satu televisi swasta. Walhasil, banyak sindiran politiknya yang terlalu lawas, terlalu intelektual, dan garing.

Pada beberapa adegan, pantun yang disampaikan masih terdengar biasa dan sering diulang. Sastrawan Hasan Aspahani, yang memerankan Penyair Kerajaan, misalnya, kerap melontarkan kalimat ”kura-kura dalam perahu” setiap mengawali pantunnya.

Apa pun, pementasan malam itu, yang musiknya diarahkan Yaser Arafat, cukup bisa kita nikmati sebagai hiburan—meski belum dengan H besar.

Suryani Ika Sari

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus