BURUNG walet Kota Gresik, selepas menyambar-nyambar buih petang haridi Selat Madura, kini langsung mengeram di sarangnya. Mengapa? Gresik rupanya tak lagi menyenangkan binatang penghasil "sarang burung" itu. Pencemaran lingkungan di kota industri pantai utara Jawa Timur ini, konon, sudah terlalu parah. "Daerah ini sudah saatnya mendapat perhatian khusus," kata Menteri Negara Kependudukan dan Lingkunan Hidup Prof. Dr. Emil Salim, ketika berkunjung ke Jawa Timur, Juli silam. Wakil gubernur Ja-Tim, Drs. Soeparmanto, menyebut pencemaran lingkungan di daerahnya itu sudah sampai tingkat "lengkap": dari darat sampai ke udara. Jumlah yang di duga mengusik ketenteraman walet sehingga meninggalkan daerah itu. Ke mana mereka pindah? "Mungkin ke daerah yang udaranya lebih segar," ujar staf ahli Pengawasan dan Pelestarian Alam (PPA) Ja-Tim, Drs. Sumaryoto Atmosoedirdjo. Ketika kawanan burung itu mencari tempat baru, tak kurang dari 100 pengusaha "sarang burung" dirundung cemas. Pendapatan mereka anjlok tajam dalam sepuluh tahun belakangan ini. H. Sjaikun, 55, pemilik tiga rumah walet terbesar di Gresik, hingga tahun 1975 lalu, rata-rata setiap panen - sekali empat bulan - memungut 60 kilogram "sarang walet". Tapi antara 1975 dan 1980, untuk sekali panen, Sjaikun hanya memperoleh 40 kilogram sarang berbentuk segi tiga yang dibuat dari ludah burung itu. Sejak 1981 hasil itu kian ciut: tinggal 15 kilogram sekali pungut. Pengusaha sarang burung lain, Muh. Bisri, 30, dan Hilmi, 53, menyatakan keluhan yang sama. Dibandingkan dengan hasil sepuluh tahun lampau, kini sarang burung yang dipungut para pemllik rumah walet tinggal 15%. Harga per kilo untuk kualitas kelas satu sekarang Rp 415, kelas dua Rp 370 dan kelas tiga Rp 310. "Bayangkan, berapa kerugian kami," kata Sjaikun. Tapi bukan hanya kerugian H. Sjaikun dan pengusaha sarang walet lainnya yang jadi soal. Penduduk Gresik, yang kini berjumlah 740.000 kepala keluarga, mulai khawatir melihat kepulan asap puluhan pabrik di sana. "Pada musim hujan, di saat tak ada angin," kata seorang warga, "asap itu bisa menyelimuti Gresik dan membendung sinar matahari." Gresik menjadi kota industri setelah menerima pabrik semen, tahun 1956. Selang enam tahun dibangun pula pabrik petrokimia. Kegiatan industri terus menanjak, hingga tahun lalu saja menghadirkan 30 pabrik industri besar dan 66 pabrik industri sedang di kota itu. Jenisnya meliputi kimia dasar, logam dasar, dan aneka industri. Di luar ini bertaburan pula industri rakyat: pembuatan kopiah, sarung, sepatu, dan tas. Puluhan pabrik besar itu menumpuk di empat kecamatan wilayah kota: Gresik, Driorejo, Kebomas, dan Manyar. Sementara itu, daerah ini tumbuh menjadi daerah padat. Kini Kecamatan Gresik dan Kebomas adalah kawasan paling sesak: lebih dari 12.000 jiwa per -- kilometer persegi. Dalam dasawarsa terakhir ini penghuni Gresik naik 50%. "Sekitar 1.500 rumah dibangun real estate dan PT Petrokimia Gresik dalam sepuluh tahun belakangah ini," ujar Burhanuddin Rasyid, dari Humas Pemda Tingkat II Gresik. Tapi apa sebetulnya yang membuat walet minggat? Kebanyakan para pengusaha sarang burung itu menunjuk asap pabrik petrokimia yang mengusik binatang itu. Direktur Penelitia dan Pengembangan PT Petrokimia Gresikir. Soeratman, lewat Surabaya Post, mengatakan bahwa alasan itu agak dicari-cari sifatnya. Walau begitu, PT Petrokimia Gresik, konon, sudah Tembuat penelitian tentang dampak lingkungan Industri di daerah itu. Kendati penelitian sudah dilakukan tahun la1u - bekerja sama dengan ITS dan Unair sampai sekarang hasilnya masih belum disiarkan. "Saya tak berani mengemukakan hasil-hasilnya," ujar seorang peneliti dari Unair kepada TEMPO. Soalnya.? Sebuah sumber, lain mengatakan, hasil penyelidikan itu diumumkan karena ternyata polusi udara Gresik sudah tergolong parah. Katanya, pencemaran itu disebabkan oleh sulfur dioksida (SO2), nitrogen dioksida (NO2), dan karbon monoksida (CO). "Konsentrasinya," ujar sumber tadi, "sudah melewati ambang batas." Kendati tak menyinggung soal polusi udara, Emil Salim bulan lalu menyebutkan bahwa masalah pencemaran untuk Jawa Timur paling parah. Pencemaran akibat air limbah beracun, katanya, sudah saatnya diperhatikan. Sementara itu, seorang dokter yang sudah 15 tahun berdinas di Gresik menyebutkan, dalam lima tahun terakhir ini terlihat kecenderungan naiknya jumlah penderita radang paru-paru. Dia menolak menyebutkan angka-angkanya. Di Indonesia penelitian polusi udara tampaknya masih merupakan prioritas kedua. "Yang sudah kita kerjakan," kata Dr. Koesnadi Hardjasoemantri, S.H., sekretaris menteri KLH, "baru penelitian untuk air." Dia mengatakan, untuk .Gresik tengah dicarikan jalan pemecahannya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini