Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Tentang Tolok Ukur Kemerdekaan

Patokan kemerdekaan kini dirasakan dengan: swasembada pangan, melek huruf yang lebih dari 60%. Lebih mengesankan: konstruksi fisik. Gagasan masa lampau sekarang mulai terwujud dalam keberhasilan yang nyata.(kl)

18 Agustus 1984 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SETIAP pertengahan Agustus pekik "merdeka" kembali menggema. Pedagang bendera merah putih kelihatan sepanjang jalan raya. Tembok dikapur, juga pagar yang sudah rapuh, lorong-lorong, dan sebagainya. Semua mengingatkan kita kepada sat-saat yang bersejarah itu. Tepat atau kurang tepat, pada tahun 1984 ini pengertian "dulu" dan "sekarang" dalam sejarah negara kita semakin ditempatkan dalam perspektif Orla dan Orba. Ini tidak semata-mata ditinjau dari sudut pandang politik hidup, tingkat kesejahteraan peraulan antarbangsa, dan sebagainya juga menampilkan pola yang berbeda. Banyak bukti dapat dilihat bahwa kita telah melangkah maju dalam arti materiil dan fisik. Walaupun penduduk sekarang sudah lipat dua, bahkan lebih, dibandingkan dulu, kita sudah mencapai suatu tingkat hidup yang sangat lebih baik. Bukan saja eksploatasi kekayaan sumber daya semakin dapat dilakukan dalam jumlah banyak oleh putra-putri Indonesia, tetapi juga asset nasional tumbuh dengan pemanfaatan sumber daya itu. Penghasilan, dari rata-rata "sebenggol", sudah jadi US$ 520 per tahun per kapita, dalam kurun waktu yang kurang dari setengah abad. Tampaknya, banyak idam-idaman pemimpin dari zaman Orla semakin banyak berwujud alam zaman Orba. Swasenbada pangan, misalnya, dewasa ini sudah bukan cita-cita belaka kepercayaan atas diri kita telah menebal sehingga berani berpikir tentang penghapusan Bimas. Di bidang pendidikan, kohor yang dapat masuk sekolah sekarang sudah melipat ganda. Orang Indonesia yang sudah melek huruf juga telah melebihi 60% dari semua penduduk yang 160 juta Jumlahnya. Hal itu tidak kurang disebabkan oleh jaringan komunikasi massa yang cepat meluas. Mula-mula ada radio masuk desa, lalu televisi masuk desa, disusul kemudian oleh koran masuk desa. Dan apa lagi yang sebenarnya dalam Pelita III tidak masuk desa: ABRI pun masuk desa, dan terakhir bahkan Darmawanita dan jaksa juga masuk desa. Desa dan daerah pedesaan dibuka dengan kecepatan yang sangat tinggi, sehingga masuknya gagasan-gagasan modernisasi juga dirangsang. Semua itu barangkali juga kurang dimungkinkan, seandainya di bidang politik tidak diadakan perubahan keseimbangan. Bukannya golongan karya dalam masa Orla belum dikenal sesungguhnya golongan fungsional diciptakan dalam periode itu. Tetapi yang lebih asasi adalah bahwa rumus keseimbangan lain dari yang kita kenal sekarang. Golkar, pada masa Orla itu, sejajar dengan parpol dan ormas tanpa naungan khusus. Dalam masa Orba Golkar bernaung di bawah ABRI. Sementara itu, parpol dan ormas tidak boleh "turba" lagi: tidak boleh masuk lebih bawah dari tingkat kabupaten. Jalur-jalur komunikasi yang dimanfaatkan golongan politik dengan kata lain, diatur kembali agar lebih menguntungkan Goikar. Bersama itu, kestabilan politik tercapai untuk 20 tahun terakhir ini yang memungkinkan pembangunan berencana gaya Orba - sesuatu yang belum mungkin waktu Ir. Djuanda memulai Pelita pertamanya atau waktu Bung Karno mengantarkan pembangunan semestanya. Penyederhanaan parpol akhirnya tercapai juga. Proses ini makan waktu lebih dari satu dasawarsa sekarang pun, dengan usaha mengantarkan asas tunggal untuk golongan yang berpolitik, proses "penyederhanaan" sistem partai politik masih berjalan terus. Proses itu sedikit mencolok bila dibandingkan dengan perkembangan yang bisa kita lihat di negara tetangga ASEAN, Singapura, dan lebih jauh ke kawasan Timur Tengah, di Mesir. Perdana menteri Singapura orang kuat yang berhasil: Lee Kuan Yew telah merlntis pengembangan suatu partai oposisi, walaupun lankahnya berhati-hati. Suatu generasi muda sedang disaring untuk mengambil alih pimpinan politik negara. Tetapi juga di Singapura terasa bahwa proses depolitisasi yang sudah lama berjalan sulit menampilkan tokoh-tokoh muda yang memberi harapan, dalam jumlah yang cukup. Singapura telah jadi suatu kota dagang yang efisien, dan filsafat daganglah yang menjadi dasar efisiensi itu. Mesir, negara sahabat kita juga, telah mengisyaratkan bahwa pimpinan negara, di bawah Husni. Mubarak, akan melangkah kepada demokratisasi dengan menerapkan "sirkulasi elite politik". Suatu eksperimen yang sangat menarik, setelah Mesir mengalami periode "presiden seumur hidup" selama dua presiden. Militer yang tergolong generasi muda ini ternyata peka terhadap cara-cara bermain demokratis. Ditinjau dari sudut pandang sejarah kontemporer, ada manfaatnya kita perhatikan bagaimana eksperimen ini berakhir, tetapi sementara ini, di negaranya, Husni Mubarak bertambah populer karena lankahnya itu. Satu sektor pada masa Orla yang menunjukkan keberhasilan sangat mengesankan adalah konstruksi fisik. Baik jalan, jembatan maupun gedung-gedung meluas, memanjang, dan melipat ganda dalam jumlah banyak. Di Jakarta, yang jadi pintu gerbang utama, cukup banyak gedung yang menjulang tinggi dengan interior yang belasan tahun yang lalu untuk kebanyakan kita tidak terbayangkan. Impian Bung Karno agaknya sudah menjadi kenyataan. Dulu ibu kota Indonesia dikatakan mempunyai "dasi" yang indah, yaitu "Tugu Nasional" di tengah Lapangan Merdeka, tetapi cemooh mengatakan bahwa dasi itu dipakai oleh warga yang tidak bercelana. Sekarang, dengan berlimpahnya tekstil, mau ganti celana setiap kali juga bukan persoalan yang tak dapat dipecahkan. Tamu-tamu negara tetangga pun mengakui bahwa Jakarta sebagai pintu gerbang Indonesia semakin memperoleh identitasnya yang mandiri. Sekarang kita memiliki Masjid Istiqlal, masjid yang terbesar di Asia Tenggara. Dan jika kita melihat kontur gedung-gedung dan patung dari Hotel Borobudur di Lapangan Banteng pada waktu senja, pasti terbayang bagaimana Patung Pembebasan Irian Barat dilatarbelakangi oleh siluet "Pancasila": Katedral dan Masjid Istiqlal berdampingan, ibarat dua bagian yang tak terpisahkan. Sema in tampak bahwa gagasan-gagasan dalam masa lampau sekarang mulai terwujud dalam keberhasilan yang nyata. Perbedaan pandangan antara Orba dan Orla pun - kecuali di bidan perimbangan politik - seperti terkikis oleh kurun waktu hampir dua dasawarsa. Lalu terlintas dalam pikiran suatu pertanyaan: Apakah mungkin hikmah ziarah ketua umum DPP Golkar ke makam Bung Karno baru-baru ini berarti pengakuan terhadap banyak dari gagasan beliau yang akhirnya "membesarkan" Indonesia?

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus