AKHIR-akhir ini makin banyak penerbit mencetak disertasi dan skripsi dalam dan luar negeri. Semula banyak yang ragu-ragu menerbitkannya karena ketidakpastian lakunya karya-karya ilmiah yang ditulis dengan gaya bahasa yang kering itu. "Lakunya biasa saja, tapi ya laku," kata direktur utama Penerbit Sinar Harapan (SH) Aristides Katoppo, yang telah menerbitkan 10 disertasi sebagai sumbangan dalam mencerdaskan bangsa. Untuk mencapai titik impas, menurut Katoppo, paling tidak buku-buku itu harus terjual 5.000 eksemplar dalam dua tahun. Demi misi ikut mencerdaskan bangsa itulah makin banyak penerbit mencetak karya-karya ilmiah. "Kami menganggapnya sebagai aset nasional," kata Yus Rusamsi, direktur Pustaka Jaya (PJ). Meski lakunya lambat, menurut Yus, buku-buku itu pasti habis. "Pokoknya, tidak rugi, kata Ys. Tapi ada juga buku yang semula skripsi laku keras. Di luar dugaan, Dolly, yang dicetak 10.000 eksemplar, terjual habis pada tahun pertama diterbitkan (1983). Kini Dolly masuk percetakan lagi untuk hetiga kalinya. Tujuan semula PT Grafiti pers, yang menerbitkan Dolly, membukukan penelitian-penelitian ilmiah itu sebagai sumbangan majalah TEMPO pada dunia pendidikan. Malah, 80% buku terbitan Grafiti Pers diangkat dari disertasi dan skripsi. Tapi hasilnya justru di luar dugaan. "Kini malah iadi sumber keuntungan," kata Harun Musawa, kepala Divisi Penerbitan PT Grafiti Pers. Menurut Harun, bukan hanya cerita "lampu merah" Dolly yang laris. Keluarga Jawa disertasi Hildred Geertz kini sudah pula dicetak ulang. Juga, disertasi Barbara S. Harvey Permesta yang belum setahun telah terjual 8.000 eksemplar. "Ternyata, minat baca masyarakat jauh lebih baik dibanding bayangan penerbit," kata Harun. PJ yang mengeluarkan seri Pustaka Sarjana juga mencetak kembali Abangan, Santri, dar Priyayi dalam Masyarakat Jawa karya Clifford Geertz dan Bulan Sabit dan Matakari karya Harry J. Benda. Penerbit lain yang getol menerbitkan karya-karya ilmiah di antaranya Penerbit Alumni di Bandung. Perusahaan ini, yang dipimpin dosen hukum internasional Unpad Eddie Damian, S.H., sudah menerbitkan 30 judul disertasi yang sebagian besar berkisar di bidang hukum. Selam itu, tercatat pula UI-Press. "Tugas kami memang menerbitkan buku-buku kering itu," kata Dr. Sri Edi Swasono, direktur penerbitan UI-Press "meski kami tahu, lemah di pasaran." Untuk menutup "kerugian" dari buku-buku "kering" itu, UI-Press mencetak buku-buku teks untuk mahasiswa. Di mana letak rahasia sukses PT Grafiti Pers menerbitkan skripsi? PT Grafiti Pers, menurut Harun, punya kriteria layak terbit. Antara lain, naskah harus dapat dijadikan buku referensi isi buku harus ada hubungannya dengan peristiwa penting di Indonesia, dan hasil penelitian seorang tokoh. "Nah, tokoh ini penting," kata Harun, "karena nama punya 'nilai' komersial."Ada juga penerbit yang diberi subsidi untuk menutup kerugian membukukan karya-karya ilmiah. Penerbit Djambatan, yang cuma 10% menerbitkan karya disertasi dari seluruh usahanya. misalnya. mendapat subsidi dari ILDEP (Proyek Pembinaan Linguistik Indonesia) ketika membukukan Morfoloi Bahasa Gorontalo karya Yus Badudu dan Bahasa Toraja Saqdan dari C. Salombe. Dilihat dari judulnya, memang sudah bisa dibayangkan peminat buku-Duku itu. Selain itu, karya ilmlah sarjana asing digeman penerbit dan pembaca karena, mungkin, lebih akurat dan obyektif lantaran mereka hanya punya "beban moral ilmiah. Tinggal bagaimana penerbit dalam negeri mengolah terjemahannya. Mengenai honor penerjemahan, menurut Katoppo, tergantung pada bobot buku dan penerjemah. Untuk terjemahan bahasa Inggris, Penerbit SH membayar Rp 3.000 per lembar. Untuk terjemahan bahasa Jerman dan bahasa Belanda Rp 3.500 per lembar bahasa Prancis Rp 3.750 per lembar. Yang paling mahal ialah bahasa Italia: Rp 4.500 per lembar. PT Grafiti Pers, yang 75% penerbitannya adalah terjemahan, membayar sekitar Rp 3.500 perlembar untuk terjemahan bahasa Inggris. Untuk honor penulisnya, Penerbit SH memberikan 6-12% dari penjualan bruto. PT Grafiti Pers membayar berdasarkan perjanjian. Kelebihannya ialah uang itu dibayarkan separuh ketika kontrak diteken dan sisanya waktu buku terbit. Penerbit Alumni bahkan melangkah lebih jauh: membantu penulis melakukan penelitian dengan bantuan sekitar Rp 2 juta. Uang itu diperhitungkan dengan royalti ketika buku terbit dan cetak ulang. Tapi ada juga pengarang asing, demikian cerita Harun Musawa, yang tidak minta imbalan apa-apa Mungkin mereka menganggap itu sebagai sumbangan mereka pada dunia negara ketiga yang kekurangan buku.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini