Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

lingkungan

Risiko Kerja di Tungku Pembakaran

Kecelakaan kerja acap terjadi di smelter nikel PT Huadi Nickel-Alloy Indonesia di Kabupaten Bantaeng, Sulawesi Selatan. Mengapa?

27 Agustus 2022 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Banyaknya kecelakaan kerja di smelter PT Huadi Nickel-Alloy Indonesia di Kabupaten Bantaeng diduga disebabkan durasi kerja yang lama.

  • Rendahnya kesadaran pekerja untuk memakai perlengkapan keselamatan kerja, seperti baju dan helm, dengan benar juga menjadi salah satu penyebab.

  • Sepanjang 2020-2022 telah terjadi delapan kecelakaan kerja di smelter PT Huadi Nickel-Alloy Indonesia.

PENGALAMAN bekerja di smelter nikel PT Huadi Nickel-Alloy Indonesia di Kawasan Industri Bantaeng, Desa Papan Loe, Kecamatan Pa’jukukang, Kabupaten Bantaeng, Sulawesi Selatan, kembali terbayang di benak Amirullah, 38 tahun. Pria kelahiran Bantaeng, 23 Februari 1984, ini bercerita, ia ikut dalam perekrutan kerja gelombang pertama warga sekitar pabrik. Ia memulai tahap seleksi menjadi pekerja pada 2015. Sempat mengikuti pelatihan di Balai Latihan Kerja Makassar selama sebulan, ia kemudian dinyatakan lulus seleksi.

Amirullah sudah dua kali dikirim ke Cina untuk menjalani pelatihan. “Ke Cina dua bulan, balik ke Indonesia sebulan, dan ke Cina lagi dua bulan,” kata Amirullah, Ahad, 2 Januari lalu. “Sebenarnya sudah terhitung karyawan di PT Huadi, istilahnya on the job training,” tuturnya.

Amirullah pun sudah bisa menjalankan tugasnya sebagai operator tungku peleburan bijih nikel yang berproduksi sejak 2018. Tak lama berselang, beberapa aturan perusahaan mulai membuatnya tidak nyaman. Salah satunya larangan menjalankan salat Jumat. Ia pun sempat menghadap ke bagian pengembangan sumber daya manusia (HRD). “Waktu itu jawaban HRD, tidak usah dipikirkan, nanti dia yang atasi,” ujarnya, menirukan ucapan anggota staf HRD itu.

Kritik Amirullah terhadap kebijakan larangan menunaikan salat Jumat pada 2019 tersebut sampai ke Gubernur Sulawesi Selatan waktu itu, Nurdin Abdullah. Amirullah pun dituding sebagai pihak yang melaporkan hal itu ke Gubernur Nurdin Abdullah. Buntutnya, dia dipanggil menghadap ke bagian HRD. “Saya bilang, saya tidak tahu itu. Karena banyak di sini pekerja, bukan hanya saya, dan saya tidak tahu siapa yang melapor. Baru setelah itu orang disuruh salat Jumat,” katanya.

Selepas kejadian itu, Amirullah merasa pihak manajemen mulai tidak menyukainya. Puncak perselisihannya dengan pihak perusahaan terjadi ketika masa awal pandemi Covid-19 pada April 2020. Sebanyak 404 karyawan, tutur Amirullah, harus menjalani karantina dan terus bekerja dalam pabrik. “Selama tiga bulan lebih, kalau saya tidak salah hitung, kami tidak bisa ke mana-mana,” ucapnya.

Warga Dusun Balla Tinggia, Desa Papan Loe, ini pun mulai merasa jenuh bersama para pekerja lain karena tidak bisa bertemu dengan keluarga. Bersama rekan-rekannya, Amirullah pun mulai menginisiasi pemogokan kerja. Pada suatu malam di Agustus 2020, Amirullah bersama ratusan karyawan lain sudah tidak lagi bekerja pada pukul 20.00. Mereka bersepakat untuk keluar bersama-sama dari pabrik setelah diisolasi sekitar empat bulan. “Pada saat mogok kerja sekitar pukul 02.00 malam itu baru orang keluar dari pabrik,” katanya.

Ketika sudah berbondong-bondong hendak keluar dari pabrik, menurut Amirullah, personel pengamanan perusahaan menunggu di depan gerbang bersama pihak manajemen PT Huadi Nickel-Alloy Indonesia. “Pihak HRD sempat bilang, kalau ada yang keluar dari pagar, jangan ada yang berharap bisa kembali lagi,” tuturnya. Amirullah pun memilih tetap keluar dan pulang ke rumahnya. Walaupun demikian, sebagian rekan-rekannya memilih bertahan dalam kawasan industri. “Mungkin dari situ saya sudah ditandai oleh manajemen,” ujarnya.

Setelah kejadian itu, Amirullah tetap kembali bekerja seperti biasa. Namun posisinya sebagai pemimpin bagian teknisi ditanggalkan pihak manajemen. Ia merasa dirinya mulai tidak nyaman dan memilih mengundurkan diri pada 2021. “Saya lebih memilih keluar saja kalau kayak gitu,” ujarnya.

Menurut Amirullah, selama bekerja di PT Huadi, berulang kali ia menyaksikan kecelakaan kerja yang menimpa para pekerja. Menurut dia, durasi jam kerja selama 12 jam per gelombang membuat kerawanan kerja menjadi lebih tinggi. Namun, dalam sepekan, total jam kerja hanya 48 jam sesuai dengan peraturan perundang-undangan. “Saya selalu sampaikan ke HRD, kalau delapan jam kerja, target produksinya bisa saya penuhi. Tapi, karena 12 jam, bagian teknisi bekerja setengah mati,” tuturnya.

Kerawanan lain, dia menambahkan, adalah rendahnya pengawasan dalam penerapan keselamatan dan kesehatan kerja (K3). Menurut dia, beberapa karyawan yang merasa kegerahan memakai baju pengamanan dan helm biasa melepasnya ketika tak ada pengawas yang memantau. “Beberapa kali itu terjadi kecelakaan karena kelalaian pekerja yang biasa lepas baju sehingga terkena percikan api tungku,” katanya.

Amirullah juga bercerita, pihak perusahaan tidak transparan ihwal kecelakaan kerja yang terjadi sehingga pengawasan dari pemerintah menjadi minim. Akibatnya, upaya perbaikan tidak bisa dilakukan secara maksimal. “Misalnya, ada kecelakaan, tidak bisa diekspose keluar. Jadi kecelakaan jarang sekali terungkap, karena baru mau difoto sudah kena ditegur,” ujarnya. “Ketika terjadi kecelakaan yang parah, kami tetap dibungkam dan tidak boleh mengekspose. Kalau ada yang melaporkan terancam juga kariernya.”

Berdasarkan data yang dihimpun oleh lembaga swadaya masyarakat Bantaeng, Balang Institute, sepanjang 2020-2022 telah terjadi delapan kecelakaan kerja di smelter PT Huadi Nickel-Alloy Indonesia. Balang pun mencatat, dari rentetan kecelakaan kerja itu terdapat tiga korban meninggal. Korban meninggal adalah tenaga magang Aidul Bau Fitra, 19 tahun, pada 27 September 2020 akibat tertimpa besi. Dua lainnya merupakan tenaga kerja asal Cina, Lin Baicheng dan Zhang Jiang, yang meninggal pada 8 November 2020 karena terjatuh saat mengoperasikan derek.

Peneliti Balang Institute, Junaedi Ham, bercerita, kecelakaan terakhir menimpa Haerul Amri, 26 tahun. Warga Borong Kalukua, Kelurahan Tanah Loe, Kecamatan Gantarangkeke, Kabupaten Bantaeng, itu, kata Junaedi, mengalami luka bakar pada bagian muka dan leher. “Kejadiannya pada 27 Mei 2022,” kata Junaedi saat dihubungi Tempo, Sabtu, 20 Agustus lalu.

Haerul Amri yang dihubungi Tempo mengatakan ia telah pulih dari luka bakar yang dideritanya. Ia enggan mengungkit lagi kecelakaan kerja yang pernah dialaminya. “Saya sudah pulih dan sudah mulai bekerja lagi,” ucapnya saat dimintai tanggapan ihwal kondisi kerja di PT Huadi, Jumat, 26 Agustus lalu.

Ketika ditanyai perihal banyaknya kecelakaan kerja yang terjadi di Kawasan Industri Bantaeng, General Affairs Manager PT Huadi Nickel-Alloy Indonesia Lily Dewi Candinegara mengatakan perusahaan telah menerapkan prosedur K3 dalam proses produksi. Menurut dia, minimnya kesadaran para pekerja terhadap keselamatan mempertinggi risiko. “Contohnya soal penggunaan baju pengamanan dan helm, masih banyak yang kadang melepas sembarangan,” tutur Lily saat dihubungi, Rabu, 24 Agustus lalu.

Lily pun mengatakan durasi kerja 12 jam per gelombang diterapkan karena pertimbangan pengoperasian tungku pengolahan biji nikel. Menurut dia, sebuah tungku perlu waktu 10 jam untuk bisa memisahkan nikel secara utuh dalam proses pembakaran. “Itu pun 12 jam tidak berarti kerja keras terus. Setelah memasukkan materi ke tungku, pekerja tinggal menunggu proses pengolahan selesai sekitar 10 jam,” ucapnya.

Bupati Bantaeng Ilham Syah Azikin mengatakan telah berulang kali berkomunikasi dengan manajemen PT Huadi Nickel-Alloy Indonesia untuk menjalankan konsep K3 secara optimal. Ia pun rutin mengingatkan dan melakukan pengawasan melalui Dinas Ketenagakerjaan Kabupaten Bantaeng untuk memastikan perlindungan terhadap pekerja smelter nikel berjalan sesuai dengan prosedur yang berlaku. “Karena pemerintah daerah juga merasa prihatin kalau setiap saat terjadi kecelakaan kerja,” katanya saat dihubungi, Selasa, 23 Agustus lalu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus