Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Masyarakat di sekitar Kawasan Industri Bantaeng di Sulawesi Selatan mengeluhkan pencemaran dari smelter PT Huadi Nickel-Alloy Indonesia.
Sumur bor milik pabrik pengolah bijih nikel itu diduga menyedot habis air tanah yang membuat kering sumur warga.
Air limbah dari smelter yang kandungan nikel dan besinya di atas baku mutu dibuang ke kali yang mengalir ke laut.
DAENG Iri’, 52 tahun, melangkah cepat saat menunjukkan kondisi sumur umum kampungnya di Dusun Mawang, Desa Papan Loe, Pa’jukukang, Kabupaten Bantaeng, Sulawesi Selatan. Bapak tiga anak itu mengatakan tiga sumur yang digunakan warga untuk membuat batu bata sudah tak lagi berair alias kekeringan. Ketiga sumur sedalam 20-30 meter tersebut berada sekitar 50 dan 80 meter dari rumahnya. “Mulai kering setahun lebih. Kami menduga karena air tanah sudah disedot semua oleh sumur bor milik PT Huadi,” kata Iri’ saat ditemui Tempo di rumahnya, Ahad, 2 Januari lalu. PT Huadi Nickel-Alloy Indonesia adalah perusahaan pengolah bijih nikel (smelter).
Jarak ketiga sumur tersebut 100-150 meter dari pagar Kawasan Industri Bantaeng (KIBA). Di kawasan industri tersebut terdapat pusat pengolahan atau smelter bijih nikel milik PT Huadi Nickel-Alloy Indonesia. PT Huadi mulai beroperasi pada 2014 dan diresmikan oleh Gubernur Sulawesi Selatan Nurdin Abdullah pada 26 Januari 2019. Pembangunan KIBA menimbulkan pro dan kontra. Kawasan industri itu setidaknya membutuhkan area seluas 3.000 hektare yang akan meliputi Desa Papan Loe, Borong Loe, dan Baruga.
Desa Papan Loe memiliki luas wilayah 780 hektare. Berada sekitar 135 kilometer dari Makassar, 15 kilometer dari Bantaeng sebagai ibu kota Kabupaten Bantaeng, dan 8 kilometer dari Nipa-nipa sebagai ibu kota Kecamatan Pa’jukukang, Desa Papan Loe memiliki populasi 3.365 jiwa. Penduduk di sana bekerja dalam bidang pertanian, peternakan, dan pembuatan batu bata. Desa Papan Loe memiliki tujuh dusun: Mawang, Kayu Loe, Papan Loe, Balla Tinggia, Bungung Pandang, Bungung Rua, dan Sapamayo.
Selain keluhan atas kekeringan sumur, Daeng Iri' menyebutkan warga Dusun Mawang berulang kali menyampaikan keluhan kepada pihak perusahaan perihal suara tungku pengolahan nikel yang beroperasi 24 jam nonstop. Ia juga menyebutkan asap tebal sisa pembakaran mengganggu aktivitas warga. “Kalau angin bertiup ke arah Dusun Mawang, baunya seperti ban terbakar,” ucap Daeng Iri’ menggambarkan pencemaran udara dari sisa pengolahan smelter.
Ketika musim hujan, timbunan tanah hasil tambang milik perusahaan, tutur Daeng Iri’, berulang kali menyebabkan banjir lumpur yang meluber ke jalan dusun dan permukiman warga. Permasalahan berbeda terjadi ketika musim kemarau. Bahan baku nikel itu menimbulkan debu yang mengganggu aktivitas warga. “Keluhan warga itu sudah berulang kali disampaikan ke pihak perusahaan,” kata Daeng Iri’.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sumur warga yang mengalami kekeringan di Dusun Mawang, Desa Papan Loe, Pajjukungan, Bantaeng, Sulawesi Selatan, 3 Januari 2022/Tempo/Irsyan Hasyim
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Mantan Kepala Dusun Mawang, Daeng Sodding, 72 tahun, mengaku menyesal mengizinkan pembebasan lahan untuk rencana pembangunan KIBA ketika ia menjabat. Ia mengaku tergoda janji Bupati Bantaeng kala itu, Nurdin Abdullah. Pada 2012, ia mulai digoda melepas lahan miliknya dan mengizinkan pemerintah kabupaten berbicara dengan warga. Ketika itu lahannya dibebaskan dengan harga Rp 140 juta per hektare. “Saya dan warga awalnya mau karena harga tanah di sini biasanya cuma 15 juta per hektare,” kata Sodding saat ditemui di kediamannya, Senin, 3 Januari lalu.
Ia pun dijanjikan warga nanti bekerja sebagai karyawan di perusahaan. Harapan Sodding pun sirna karena dampak lingkungan kini mulai menghantui warga. Ia mengaku kompensasi sebesar Rp 500 ribu per keluarga per bulan yang hendak diberikan oleh PT Huadi tidak sebanding dengan penderitaan warga. “Lihat saja ini kursi, kalau rumah tidak ditutup harus dibersihkan dua kali karena debu,” tutur Sodding. “Dulu janji pemerintah, saya yang tua ini bisa bekerja sebagai perawat taman, kalau yang muda bisa jadi karyawan,” ujar Sodding, mengenang janji pemerintah kabupaten ketika itu.
Selain dirasakan Dusun Mawang, dampak kekeringan juga terjadi di Dusun Balla Tinggia. Daeng Judda, 43 tahun, mengaku sekitar 10 sumur warga telah mengalami kekeringan sejak beroperasinya pabrik milik PT Huadi. Menurut dia, keluhan warga sempat ditanggapi perusahaan dengan mengirimkan mobil tangki setiap hari untuk memenuhi kebutuhan air bersih. “Karena airnya buat pembuatan batu bata, makanya sudah dibangun beberapa sumur air bor di beberapa titik oleh perusahaan. Tapi tidak bakal mencukupi seperti sebelum pabrik beroperasi,” ujarnya kepada Tempo, Ahad, 2 Januari lalu.
Permasalahan berbeda pun terjadi di Dusun Kayu Loe ihwal aktivitas smelter yang terasa di sekitar permukiman warga. Kepala Dusun Kayu Loe, Muhammad Ramli Daeng Jada, mengatakan sebagian besar warganya yang berprofesi petani rumput laut mulai mengeluhkan dampak aktivitas pabrik. Ia sempat mewakili warga untuk menyampaikan keluhan mengenai gangguan aktivitas kapal pengangkut milik perusahaan yang kadang merusak lahan budi daya rumput laut milik warga.
Ia mensinyalir pencemaran air limbah milik perusahaan yang masuk ke laut menurunkan produktivitas panen rumput laut warga. “Tidak tahu ini pengaruh apa. Waktu diperiksa dulu, apakah pengaruh lingkungannya atau apanya,” tutur Ramli, yang juga petani rumput laut. “Dulu warga banyak tanam rumput laut Eucheuma cottonii, tapi sejak ada perusahaan yang bisa tumbuh tinggal yang jenis Gelidium corneum,” ujar Daeng Jada saat ditemui pada Senin, 3 Januari lalu.
Berdasarkan informasi dari warga sekitar, Tempo pun menelusuri air limbah buangan pabrik yang berada di wilayah administrasi Dusun Balla Tinggia. Dari hasil pemantauan, terlihat air limbah pabrik berwarna merah kecokelatan itu ditampung di sebuah kolam yang digali seadanya. Air limbah itu mungkin berasal dari instalasi pengolahan air limbah di balik pagar perusahaan. Air limbah itu pun merembes ke kali kecil yang berada di dekatnya yang mengalir ke laut. Jarak kolam dengan muara pantai sekitar 1 kilometer.
Tempo pun menguji sampel air limbah sebanyak dua kali. Sampel air limbah yang diambil di dua titik, yaitu kolam penampungan dan rawa di dekat bibir pantai. Pengujian pertama dilakukan di laboratorium uji Akademi Kimia Analis Bogor. Sampel diserahkan pada 29 Maret lalu dan hasilnya keluar pada 11 April lalu. Hasil uji sampel menunjukkan semua parameter yang diuji tidak melewati baku mutu yang ditetapkan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup Nomor 5 Tahun 2014 tentang Baku Mutu Air limbah.
Pada pengujian kedua, Tempo mengirimkan sampel air limbah ke Laboratorium Sucofindo di Kota Makassar. Sampel diberikan pada 22 Juni lalu dan hasilnya keluar pada 14 Juli lalu. Lokasi pengambilan sampel juga sama, di kolam penampungan air limbah yang berada di luar pagar pabrik PT Huadi dan di muara pantai. Hasil uji untuk sampel yang diambil dari kolam menunjukkan dua unsur melewati baku mutu yang telah ditetapkan pemerintah, yakni nikel (Ni) terlarut sebanyak 12,5 miligram per liter (mg/l). Adapun batas maksimum 0,5 mg/l.
Parameter lain yang melampaui baku mutu air limbah adalah logam besi (Fe) terurai sebesar 7,28 mg/l. Adapun batas maksimumnya menurut Peraturan Menteri Lingkungan Hidup Nomor 5 Tahun 2014 adalah 5 mg/l. Sementara itu, pada sampel yang diambil di muara pantai, hasil uji laboratoriumnya menunjukkan semua parameternya berada di bawah baku mutu.
Peneliti Ecological Observation and Wetlands Conservation (Ecoton), Eka Clara Budiarti, mengatakan setiap perusahaan pengolahan bijih nikel harus memastikan limbah buangannya tidak melewati batas maksimum kandungan senyawa yang ditetapkan pemerintah. Menurut dia, kandungan senyawa nikel dan besi yang melewati batas maksimum bisa mengikat senyawa retardant yang bakal mengganggu ekosistem ketika berada di sungai dan laut.
Ketika unsur logam nikel dan besi ini berikatan dengan senyawa lain, ucap Eka, hal ini akan berpotensi meracuni biota. “Keanekaragaman hayati bisa berkurang, bisa menimbulkan ledakan populasi alga, akhirnya ekosistem di sekitar lokasi bisa rusak,” ujar Clara kepada Tempo, Rabu, 24 Agustus lalu.
Rawa yang dialiri limbah pembuangan pabrik pengolahan nikel Kawasan Industri Bantaeng di Dusun Balla Tinggia, Pajjukungan, Bantaeng, Sulawesi Selatan, 3 Januari 2022/Tempo/Irsyan Hasyim
Dampak bagi manusia ketika terkena limbah yang terikat senyawa retardant, Eka menjelaskan, yakni kulit bisa melepuh atau gatal-gatal. Hal itu berpotensi terjadi pada pekerja pabrik dan warga sekitar. “Nanti ke depan bisa berefek ke kanker atau kelainan genetik lain akibat sering terpapar oleh senyawa retardant dari nikel dan besi yang berikatan dengan senyawa lain,” tuturnya.
Ihwal temuan Tempo perihal air limbah buangan PT Huadi, Bupati Bantaeng Ilham Syah Azikin mengatakan akan berkomunikasi dengan pihak perusahaan untuk memastikan regulasi yang ada tidak dilanggar. Ia juga berjanji meminta Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten Bantaeng dan Dinas Lingkungan Hidup Provinsi Sulawesi Selatan mengecek langsung ke KIBA. “Kami tidak mau kalau aktivitas di kawasan industri itu bertentangan dengan regulasi dan berdampak buruk bagi masyarakat,” kata Ilham melalui sambungan telepon, Rabu, 24 Agustus lalu.
Ilham pun menaruh perhatian khusus terhadap keluhan warga mengenai bau asap pembakaran pabrik dan polusi debu. Ia mengatakan berupaya mendorong relokasi warga di sekitar KIBA sehingga tidak lagi terkena dampak aktivitas pabrik pengolahan nikel. “Kami berharap ke depan clear dari permukiman, fokus ke industri. Kami berupaya relokasi nanti,” ujarnya.
Ketika dimintai konfirmasi mengenai temuan unsur logam yang melebihi baku mutu dalam sampel air limbah milik perusahaannya, General Affairs Manager PT Huadi Nickel-Alloy Indonesia Lily Dewi Candinegara menjelaskan, seharusnya pengambilan sampel dikoordinasikan lebih dulu kepada pihaknya. “Supaya kami tahu itu air dari mana? Apakah dari proses produksi atau hanya air lindi, atau apa?” tuturnya saat dihubungi via telepon, Kamis, 25 Agustus lalu.
Menurut Lily, ihwal pengolahan air limbah, pihaknya rutin mengirimkan laporan Rencana Pengelolaan Lingkungan-Rencana Pemantauan Lingkungan setiap enam bulan ke Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten Bantaeng dan Dinas Lingkungan Hidup Provinsi Sulawesi Selatan. “Apalagi ini masih pembangunan. Bisa saja saat pengerjaan ada pekerjaan yang tidak sesuai dengan kondisi secara teori,” ucapnya.
Ia memberi contoh, jika motor (smelter) yang mengeluarkan asap, artinya tidak bagus sehingga harus ditinjau ulang. “Makanya kami perlu melakukan laporan per semester karena ada peluang terjadi kondisi seperti itu.”
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo