Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Dilema Gas untuk Pupuk

8 November 2004 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Gatot K. Wiroyudo
  • Mantan Direktur Hulu Pertamina, Staf Pengajar FTM Trisakti

    Banyak yang terkejut mendengar pabrik pupuk ASEAN Aceh Fertilizer (AAF) di Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) ditutup. Kekagetan itu bukan sesuatu yang aneh. Bagaimana mungkin pabrik pupuk milik negara-negara ASEAN itu harus ditutup gara-gara kekurangan pasokan bahan baku gas. Ini tak ubahnya ayam mati di lumbung padi karena Aceh merupakan salah satu provinsi produsen gas terbesar di Indonesia.

    Apalagi, sudah sejak 1979 Indonesia dikenal dunia sebagai eksportir gas alam cair (LNG) terbesar di dunia. Produksi gas Indonesia mencapai hampir 10 miliar kaki kubik per hari dan cadangan gasnya yang sudah terbukti lebih dari 90 triliun kaki kubik. Cadangan sebesar itu cukup untuk mendukung produksi lebih dari 50 tahun. Lantaran itu, apa susahnya memasok gas untuk memproduksi pupuk bagi petani yang hanya memerlukan 50-250 juta kaki kubik kaki per hari.

    Benarkah keputusan pemerintah tersebut merupakan keputusan politik, bukan keputusan ekonomi-komersial? Sebenarnyalah keputusan memasok gas atau tidak bagi sebuah pabrik pupuk atau pabrik apa pun bukanlah sebuah keputusan politik. Keputusan memasok gas ke mana pun adalah persoalan komersial.

    Meskipun demikian, kendati masih dalam kategori komoditas komersial, migas sebagai sumber daya alam memiliki sifat-sifat komersial yang dikendalikan oleh sejumlah faktor khusus lain yang berbeda dengan komoditas umum. Faktor pengontrol itu antara lain faktor alam, teknologi, modal investasi, di samping hukum-hukum pasar seperti permintaan-penawaran. Khusus di wilayah Nanggroe Aceh Darussalam, faktor keamanan termasuk faktor penentu yang diperhitungkan para investor.

    Faktor Alam Sumber daya minyak dan gas tidak berada di setiap tempat, melainkan harus dicari dengan teknologi tinggi dan biaya cukup besar. Kalaupun dapat ditemukan, jumlahnya maupun nilai jualnya harus memadai untuk bisa mengembalikan investasi yang telah dikeluarkan, plus dengan sendirinya keuntungan. Sebuah logika komersial yang lazim.

    Kalau harga satu liter air kemasan lebih mahal dari harga satu liter bensin, mana ada orang yang mau bersusah payah mencari minyak bumi? Demikian pula dengan gas. Kalau biaya mencari dan memproduksi lebih mahal dari harga jualnya, tak mungkin ada orang yang bersedia memasok gas meski mendapat tekanan politik sekuat apa pun.

    Selain susah dicari, sumber daya migas juga terbatas. Apa yang telah diproduksi tak akan pernah kembali (nonreplenishable). Cadangan gas Indonesia yang katanya cukup diproduksi selama 50 tahun akan habis juga dalam 50 tahun mendatang jika terus-menerus dipompa. Demikian pula cadangan gas di Aceh, Kalimantan Timur, dan Irian Jaya, semuanya bakal habis setelah melewati masa produksi tertentu.

    Karena itu, pernyataan salah satu produsen gas, ExxonMobil, bahwa produksi gas di Arun sudah tidak mencukupi lagi untuk memasok tambahan kebutuhan gas baru, terang bukan pernyataan politik. Secara alami, cadangan gas di kawasan itu sudah menipis karena diproduksi sejak 1979. Gas yang tersisa sekarang sudah "terkena ijon" sejak 30 tahun silam untuk memenuhi kontrak penjualan jangka panjang ke Jepang. Kontrak penjualan jangka panjang tersebut harus dipenuhi karena menyangkut kredibilitas Indonesia sebagai negara produsen dan penjual LNG terhadap pembeli.

    Faktor Kebijakan Salahkah pemerintah yang telah mengijonkan produksi gas dari Arun 30 tahun silam? Jelas tidak. Kebijakan pemerintah menjual gas melalui sistem "ijon" adalah dalam kerangka memanfaatkan sumber daya gas yang ada di NAD untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Pada waktu itu, negara sangat memerlukan devisa untuk modal pembangunan. Produksi gas dari NAD juga dimungkinkan setelah melalui perjuangan panjang memenangkan pembeli gas dari Jepang, sama seperti usaha kita menjual gas Irian Jaya ke Cina.

    Dan lagi, 30 tahun silam gas bukanlah komoditas yang populer. Hanya karena Jepang yang sedang membangun ekonominya memerlukan banyak energi, maka mereka bersedia membeli gas dari Indonesia. Bahkan bersedia menyediakan dana investasi yang diperlukan untuk membangun pabrik LNG yang pertama di Indonesia. Maka, Indonesia berhasil menjadi eksportir gas alam cair di dunia karena cadangan gas NAD.

    Lalu apa kompensasi yang diberikan pemerintah pusat kepada Aceh? Imbalan yang langsung ialah keputusan pemerintah membangun ASEAN Aceh Fertilizer, pabrik kertas, pabrik pupuk Iskandar Muda di samping kebijakan tak langsung lainnya. Bahkan pemerintah menetapkan harga jual gas dari produsen hanya US$ 1 per juta kaki kubik agar harga jual pupuk bisa dijangkau para petani.

    Harga jual di bawah biaya produksi ini juga ditetapkan pemerintah untuk Sumatera Selatan, Kalimantan Timur, Jawa Barat, dan daerah-daerah produsen gas lain. Harga jual gas dari produsen yang "ditetapkan" melalui kebijakan pemerintah seperti tersebut di atas dilaksanakan dengan berat hati oleh produsen. Akibat dari kebijakan ini ialah tiadanya insentif bagi produsen gas untuk mencari cadangan baru. Sementara itu, cadangan gas terus menurun seiring dengan kecepatan arus produksi. Inilah yang terjadi dengan kebijakan harga gas di seluruh Indonesia, termasuk di NAD.

    Sebenarnya 20 tahun yang lalu, pada saat ExxonMobil mulai memasok gas ke pabrik pupuk di NAD, telah pula diperhitungkan berapa besar cadangan gas yang diperlukan untuk menjamin seluruh pasokan gas secara aman selama 20 tahun ke depan. Salah satu daerah yang diperkirakan masih mengandung cadangan gas dalam jumlah yang cukup aman adalah kawasan "Blok A" di sekitar Pase, yang waktu itu dioperasikan Gulf Resources dan kini menjadi wilayah kerja Conoco-Philips.

    Karena muncul kebutuhan baru dengan munculnya proyek PIM II serta gangguan keamanan di kawasan tersebut yang semakin meningkat sekitar 10 tahun terakhir ini, maka usaha mencari sumber gas baru maupun memproduksi gas dari kawasan ini untuk memenuhi kebutuhan termasuk tambahan gas yang diperlukan menjadi tidak mungkin dilakukan.

    Jalan Keluar Ada beberapa opsi yang patut dipertimbangkan dalam penyediaan gas bagi Aceh. Tapi, pertimbangan-pertimbangan ini bukan lagi murni pertimbangan keenomian saja, melainkan sudah memerlukan pertimbangan politik. Soalnya, jika ditinjau dari pertimbangan keekonomian saja, barangkali dana investasi yang diperlukan untuk memenuhi kebutuhan pasokan tidak sebanding dengan jumlah kebutuhan ataupun harga jual gas yang bisa dibayar pembeli.

    Opsi pertama adalah mendapatkan gas luar daerah, misalnya dari Sumatera Selatan. Pilihan ini memerlukan pembangunan pipa gas dari Sumatera Selatan ke NAD yang jaraknya 1.500 kilometer.

    Opsi lain adalah mengambil gas dari lepas pantai Natuna Timur. Namun, gas dari wilayah ini mengandung karbon dioksida lebih dari 70 persen sehingga pemanfaatannya memerlukan teknologi yang cukup mahal. Belum lagi penyediaan prasarana angkutan, serta fasilitas pendukung lainnya sebelum gas mengalir ke pabrik.

    Opsi berikut ialah menyuplai gas dari Kalimantan Timur. Sama seperti gas Natuna Timur, gas dari Kalimantan Timur memerlukan fasilitas pendukung, bahkan barangkali pembangunan sarana gasifikasi dan degasifikasi agar gas dari kawasan ini dapat diangkut secara aman ke NAD. Harga jual gas ke pabrik pupuk di NAD harus bersaing dengan harga jual ekspor ke Jepang, Cina, Taiwan, dan Korea Selatan.

    Pilihan lainnya adalah dengan memasok gas dari Papua. Namun, jarak kedua lokasi dan ketersediaan sarana diperkirakan lebih mahal dibandingkan pasokan dari Kalimantan Timur. Karena itu, mungkin pula patut dipertimbangkan pasokan dari salah satu negara Timur Tengah, misalnya Qatar. Harga gas Qatar mungkin bisa lebih murah dibanding harga gas dalam negeri, karena cadangan gas Qatar jauh lebih besar dari cadangan kita. Selain itu, jarak Qatar ke NAD tidak terlalu jauh beda dengan jarak NAD-Papua.

    Pemerintah bisa saja mengambil salah satu opsi di atas, tapi biaya yang dibutuhkan memang tidak kecil. Yang paling murah US$ 500 juta (Rp 4,5 triliun) sampai yang paling mahal US$ 1,5 miliar (13,5 triliun). Dengan ongkos sebesar itu, pilihan pemerintah memang tidak banyak, terutama jika dihadapkan pada penyediaan dana investasi. Sementara itu, mengharapkan investasi dari luar jelas memerlukan prasyarat yang berat, seperti iklim kebijakan yang kondusif, jaminan keamanan, dan konsistensi kebijakan.

    Sebetulnya masih ada opsi yang paling murah, yakni mengambil gas dari Aceh sendiri (Blok A). Namun, pilihan ini tak bisa segera, karena Conoco-Philips sebagai kontraktor belum membuat rencana pengembangan. Alhasil, proyek ini baru bisa menghasilkan gas pada 2008, sementara AAF tak bisa menunggu. Dan lagi, ada prasyarat penting yang tak mudah dipenuhi, yakni jaminan keamanan.

    Karena itu, opsi menutup pabrik AAF mungkin lebih baik bagi perekonomian nasional yang sedang mencoba bangkit dari krisis multidimensional yang berkepanjangan, meskipun pilihan ini terasa sangat pahit.

  • Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Image of Tempo
    Image of Tempo
    Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
    • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
    • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
    • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
    • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
    • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
    Lihat Benefit Lainnya

    Image of Tempo

    Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Image of Tempo
    >
    Logo Tempo
    Unduh aplikasi Tempo
    download tempo from appstoredownload tempo from playstore
    Ikuti Media Sosial Kami
    © 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
    Beranda Harian Mingguan Tempo Plus