Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Lingkungan

Kelak: Bermukim Di Atas Air

Seorang ekonom & ahli ekologi dari institut perkembangan kota & kawasan Universitas California, Berkeley, Richard L. Meier meramalkan bahwa penduduk Jakarta & Surabaya akan luber ke laut. (ling)

12 Agustus 1978 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

BOLEH ditunggu: dalam waktu dua generasi lagi, sekitar 15 juta penuduk Jakarta akan bermukim di atas air Teluk Jakarta. Atau 3 kali penduduk Jakarta sekarang. Sementara Selat Madura akan dihuni oleh sekitar 9 juta pemegang KTP Surabaya. Bentuk rumahnya akan merupakan hasil perkawinan perahu layar tradisionil nelayan Bugis dan Madura, dengan landasan terapung pengeboran minyak lepas pantai -- yang setelah tahun 2000 praktis menganggur lantaran minyak dan gas bumi sudah habis. Masyarakat terapung ini akan hidup dari ganggang laut, kerang, ikan, udang, teripang, kepiting, dan 1001 sumber protein dan karbo-hidrat laut dangkal lainnya. Gas dapur untuk memasak dan menerangi rumah di malam hari diperoleh dari proses foto-sintesa ganggang laut. Rumah tangga yang sedikit lebih mampu, dapat menyadap tenaga matahari melalui sel-sel silikon dan ditampung dalam bateri accumulator pada siang harinya. Malam hari, listrik yang terkumpul dalam accu dilepas untuk menyalakan lampu gas mulia. Air minum diperoleh melalui penyulingan air laut dengan tenaga matahari pula. Tapi yang kurang mampu, terpaksa membelinya dari kapal tanki air yang disuplai dari darat. Kebutuhan rumah tangga lainnya diedarkan oleh perahu-perahu penjaja, mirip dengan yang sekarang beroperasi di sungai Musi di Palembang, atau sungai-sungai yang melintasi kota dan desa di Kalimantan. Megalopolis Surabaya Ini bukan ramalan murahan. Ini ramalan seorang ekonom dan ahli ekologi dari Institut Perkembangan Kota dan Kawasan Universitas California, Berkeley (AS), Prof. Richard L. Meier. Berbicara dalam acara jamuan siang awal pekan lalu dengan Menteri Lingkungan Prof. Emil Salim, futurolog Amerika itu menggambarkan betapa sebagian penduduk Jakarta dan Surabaya "akan luber ke laut." Tapi bukan dalam dasawarsa ini. Nanti, kalau cucu kita sudah dewasa. Sesudah tahun 2000, begitu taksiran Richard Meier, "lebih dari separuh penduduk Jawa akan tinggal dikota." Proses urbanisasi ini, terutama akan dirasakan oleh tiga kota besar di pantai utara Jawa: Jakarta, Semarang, dan Surabaya. Penduduk Jakarta tak cuma akan menduduki wilayah Jabotabek (Jakarta -- Bogor -- Tangerang -- Bekasi). Melainkan akan terus menguasai tanah-tanah sepanjang pesisir utara ke arah timur, sehingga Jakarta dan Cirebon akan menyatu menjadi satu megalopolis (rangkaian kota raksasa), berpenduduk 55 juta jiwa. Surabaya juga akan membengkak, memenuhi proyeksi megalopolis Gerbang Kertasusila (Gresik--Bangkalan--Mojokerto--Surabaya--Sidoarjo--Lamongan), dan baru akan stabil pertumbuhan penduduknya pada tingkat 19 juta jiwa. Semarang yang kini sudah berstatus 'kota raya' nantinya akan melahap bekas-bekas ibukota dan bandar Raden Patah -- Demak dan Jepara -- menjadi metropol dengan 15 juta penduduk. Kota-kota pedalaman seperti Bandung, Yogya, dan Kediri, juga akan bertumbuh terus, tapi alon-alon. Bandung Raya misalnya, akan stabil pada tingkat urbanisasi seperti Jakarta Raya sekarang, yakni sekitar 5 juta jiwa Yogyakarta sekitar 7 juta, dam Kediri pun 7 juta jiwa. Berarti, penduduk padalaman pulau Jawa yang senang beranak-pinak ini akan lebih banyak tumplek ke Jakarta dan Surabaya. Maka terjadilah "invasi ke laut" seperti digambarkan Dr Meier itu --setelah teknologi dan sikap mental masyarakat memungkinkan, tentunya. Mengapa tidak terus membangun ke atas? Atau membangun kota-kota satelit seperti Bogor dan Depok di selatan Jakarta? Pertanyaan yang saling susul menyusul itu, dilontarkan oleh Dirjen Cipta Karya yang baru, ir. Radinal Mochtar, serta Menteri PU Purnomosidhi Hajisaroso sembari makan siang di restoran Oasis itu. Tapi futurolog dan ekolog Amerika itu, tak kalah tangkasnya menjawab. Bengkak ke Selatan Dia melihat, ada tiga hambatan fisik yang harus dihadapi dalam waktu kurang dari satu generasi. Yakni "air, tanah, dan enerji." Meier tampaknya kurang setuju mengorbankan tanah persawahan dan rawa yang mengitari kota Jakarta di selatan untuk membangun kota-kota satelit baru. Walaupun dapat diuruk, mengingat tanah di kawasan kota yang lain juga semakin langka, cara ini dianggapnya kurang ekonomis. Pembengkakan kota Jakarta terus ke selatan, selama ini memang kurang disetujui pula oleh ahli-ahli lingkungan diPusat Penelitian Masalah Perkotaan dan Lingkungan (PPMPL) DKL Soetjipto Wirosarjono, Ketua PPMPL misalnya, dalam salah satu diskusi dengan Menteri Emil Salim pernah mengemukakan efek pembangunan kota satelit Depok Raya. Yakni berkurangnya cadangan air tanah bagi kota Jakarta sendiri. Sebab menurut Soetjipto, "seluruh kawasan sekitar kota Jakarta seharusnya dipelihara sebagai jalur hijau tempat peresapan air hujan ke dalam tanah." Richard Meier masih dapat menerima rencana Menteri Muda Perumahan Rakyat Cosmas Batubara membangun flat 4 tinkat bertangga, tanpa lift. "Tapi pembangunan flat-flat dan gedung tinggi lainnya sampai puluhan tingkat, akan sangat memboroskan enerji, dan tidak klop dengan penghematan tanahnya," kata profesor Berkeley itu. Ini mengingat sumber-sumber enerji yang berasal dari bahan bakar fosil, akan semakin langka sesudah tahun 2000. Selain itu, konsentrasi bangunan bertingkat di kantong-kantong perumahan, perkantoran, dan industri tertentu, masih akan menimbulkan kebalauan lalu-lintas yang juga masih harus dicari jalan keluarnya cepat-cepat. Walhasil, melimpahnya sebagian penduduk kota ke laut tampaknya memang tak dapat dibendung. "Tapi baik hidup di flat bertingkat, maupun hidup terapung di atas laut, tetap perlu penyesuaian mental orangnya yang harus disiapkan dari sekarang," ujar Prof. Meier. Cara Taiwan Swa-sembada pangan dan enerji di kota, juga perlu difikirkan dari sekarang, Sebab walaupun produksi pangan di pedesaan Jawa masih mampu dinaikkan lipat dua, menurut Meier itu baru mampu mengisi 60% kebutuhan kalori penduduk kota yang lebih dari 100 juta nantinya. Selebihnya harus diproduksi oleh penduduk kota sendiri melalui usaha perkebunan intensif. Dalam usaha ini setiap rumah tangga akan kebagian 150 mÿFD tanah pekarangan. Tapi bagaimana kalau tanah pertanian di luar kota pun sudah jenuh, sementara tanah pekarangan didalam kota pun semakin terdesak oleh kebutuhan jalan dan bangunan~? Meier pun menganjurkan ahli pertanian di sini mempelajari cara bertanam yang hemat tanah seperti di Taiwan. Di sana para petani di pinggiran kota sudah hiasa membuat semacam kincir dengan bak tanah yang ditanami sayur-mayur atau hortikultura lainnya, yang setiap hari berputar pelan-pelan agar tiap bak mendapat jatah smar matahari yang sepadan. Cara ini sangat hemat ruang. Senentara itu, Prof. Meier juga mengecam arsitektur rumah tinggal yang meniru rumah Amerika sampai ke model kamar mandinya. Menghadapi masa mendatang yang serba langka air, anerji, dan tanah, ekonom Berkeley itu menganjurkan para rekannya di sini kembali menghargai arsitektur Jawa dan Sunda. Di sini angin bisa mengalir sepoi-sepoi, sehingga orang tak perlu pasang AC. Dan dalam soal pola hidup diatas air, Meier menganjurkan "pelajarilah pola hidup dan rumah panggung nelayan-nelayan Bugis." Di Pasar Ikan, katanya, "ada 2.500 keluarga yang saat ini hidup di atas air."

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus