BOLEH ditunggu: dalam waktu dua generasi lagi, sekitar 15 juta
penuduk Jakarta akan bermukim di atas air Teluk Jakarta. Atau 3
kali penduduk Jakarta sekarang. Sementara Selat Madura akan
dihuni oleh sekitar 9 juta pemegang KTP Surabaya.
Bentuk rumahnya akan merupakan hasil perkawinan perahu layar
tradisionil nelayan Bugis dan Madura, dengan landasan terapung
pengeboran minyak lepas pantai -- yang setelah tahun 2000
praktis menganggur lantaran minyak dan gas bumi sudah habis.
Masyarakat terapung ini akan hidup dari ganggang laut, kerang,
ikan, udang, teripang, kepiting, dan 1001 sumber protein dan
karbo-hidrat laut dangkal lainnya. Gas dapur untuk memasak dan
menerangi rumah di malam hari diperoleh dari proses foto-sintesa
ganggang laut. Rumah tangga yang sedikit lebih mampu, dapat
menyadap tenaga matahari melalui sel-sel silikon dan ditampung
dalam bateri accumulator pada siang harinya. Malam hari, listrik
yang terkumpul dalam accu dilepas untuk menyalakan lampu gas
mulia.
Air minum diperoleh melalui penyulingan air laut dengan tenaga
matahari pula. Tapi yang kurang mampu, terpaksa membelinya dari
kapal tanki air yang disuplai dari darat. Kebutuhan rumah tangga
lainnya diedarkan oleh perahu-perahu penjaja, mirip dengan yang
sekarang beroperasi di sungai Musi di Palembang, atau
sungai-sungai yang melintasi kota dan desa di Kalimantan.
Megalopolis Surabaya
Ini bukan ramalan murahan. Ini ramalan seorang ekonom dan ahli
ekologi dari Institut Perkembangan Kota dan Kawasan Universitas
California, Berkeley (AS), Prof. Richard L. Meier. Berbicara
dalam acara jamuan siang awal pekan lalu dengan Menteri
Lingkungan Prof. Emil Salim, futurolog Amerika itu menggambarkan
betapa sebagian penduduk Jakarta dan Surabaya "akan luber ke
laut." Tapi bukan dalam dasawarsa ini. Nanti, kalau cucu kita
sudah dewasa.
Sesudah tahun 2000, begitu taksiran Richard Meier, "lebih dari
separuh penduduk Jawa akan tinggal dikota." Proses urbanisasi
ini, terutama akan dirasakan oleh tiga kota besar di pantai
utara Jawa: Jakarta, Semarang, dan Surabaya.
Penduduk Jakarta tak cuma akan menduduki wilayah Jabotabek
(Jakarta -- Bogor -- Tangerang -- Bekasi). Melainkan akan terus
menguasai tanah-tanah sepanjang pesisir utara ke arah timur,
sehingga Jakarta dan Cirebon akan menyatu menjadi satu
megalopolis (rangkaian kota raksasa), berpenduduk 55 juta jiwa.
Surabaya juga akan membengkak, memenuhi proyeksi megalopolis
Gerbang Kertasusila
(Gresik--Bangkalan--Mojokerto--Surabaya--Sidoarjo--Lamongan),
dan baru akan stabil pertumbuhan penduduknya pada tingkat 19
juta jiwa. Semarang yang kini sudah berstatus 'kota raya'
nantinya akan melahap bekas-bekas ibukota dan bandar Raden Patah
-- Demak dan Jepara -- menjadi metropol dengan 15 juta penduduk.
Kota-kota pedalaman seperti Bandung, Yogya, dan Kediri, juga
akan bertumbuh terus, tapi alon-alon. Bandung Raya misalnya,
akan stabil pada tingkat urbanisasi seperti Jakarta Raya
sekarang, yakni sekitar 5 juta jiwa Yogyakarta sekitar 7 juta,
dam Kediri pun 7 juta jiwa. Berarti, penduduk padalaman pulau
Jawa yang senang beranak-pinak ini akan lebih banyak tumplek ke
Jakarta dan Surabaya. Maka terjadilah "invasi ke laut" seperti
digambarkan Dr Meier itu --setelah teknologi dan sikap mental
masyarakat memungkinkan, tentunya.
Mengapa tidak terus membangun ke atas? Atau membangun kota-kota
satelit seperti Bogor dan Depok di selatan Jakarta? Pertanyaan
yang saling susul menyusul itu, dilontarkan oleh Dirjen Cipta
Karya yang baru, ir. Radinal Mochtar, serta Menteri PU
Purnomosidhi Hajisaroso sembari makan siang di restoran Oasis
itu. Tapi futurolog dan ekolog Amerika itu, tak kalah tangkasnya
menjawab.
Bengkak ke Selatan
Dia melihat, ada tiga hambatan fisik yang harus dihadapi dalam
waktu kurang dari satu generasi. Yakni "air, tanah, dan enerji."
Meier tampaknya kurang setuju mengorbankan tanah persawahan dan
rawa yang mengitari kota Jakarta di selatan untuk membangun
kota-kota satelit baru. Walaupun dapat diuruk, mengingat tanah
di kawasan kota yang lain juga semakin langka, cara ini
dianggapnya kurang ekonomis.
Pembengkakan kota Jakarta terus ke selatan, selama ini memang
kurang disetujui pula oleh ahli-ahli lingkungan diPusat
Penelitian Masalah Perkotaan dan Lingkungan (PPMPL) DKL
Soetjipto Wirosarjono, Ketua PPMPL misalnya, dalam salah satu
diskusi dengan Menteri Emil Salim pernah mengemukakan efek
pembangunan kota satelit Depok Raya. Yakni berkurangnya cadangan
air tanah bagi kota Jakarta sendiri. Sebab menurut Soetjipto,
"seluruh kawasan sekitar kota Jakarta seharusnya dipelihara
sebagai jalur hijau tempat peresapan air hujan ke dalam tanah."
Richard Meier masih dapat menerima rencana Menteri Muda
Perumahan Rakyat Cosmas Batubara membangun flat 4 tinkat
bertangga, tanpa lift. "Tapi pembangunan flat-flat dan gedung
tinggi lainnya sampai puluhan tingkat, akan sangat memboroskan
enerji, dan tidak klop dengan penghematan tanahnya," kata
profesor Berkeley itu. Ini mengingat sumber-sumber enerji yang
berasal dari bahan bakar fosil, akan semakin langka sesudah
tahun 2000. Selain itu, konsentrasi bangunan bertingkat di
kantong-kantong perumahan, perkantoran, dan industri tertentu,
masih akan menimbulkan kebalauan lalu-lintas yang juga masih
harus dicari jalan keluarnya cepat-cepat.
Walhasil, melimpahnya sebagian penduduk kota ke laut tampaknya
memang tak dapat dibendung. "Tapi baik hidup di flat bertingkat,
maupun hidup terapung di atas laut, tetap perlu penyesuaian
mental orangnya yang harus disiapkan dari sekarang," ujar Prof.
Meier.
Cara Taiwan
Swa-sembada pangan dan enerji di kota, juga perlu difikirkan
dari sekarang, Sebab walaupun produksi pangan di pedesaan
Jawa masih mampu dinaikkan lipat dua, menurut Meier itu baru
mampu mengisi 60% kebutuhan kalori penduduk kota yang lebih
dari 100 juta nantinya. Selebihnya harus diproduksi oleh
penduduk kota sendiri melalui usaha perkebunan intensif. Dalam
usaha ini setiap rumah tangga akan kebagian 150 mÿFD tanah
pekarangan. Tapi bagaimana kalau tanah pertanian di luar kota
pun sudah jenuh, sementara tanah pekarangan didalam kota pun
semakin terdesak oleh kebutuhan jalan dan bangunan~?
Meier pun menganjurkan ahli pertanian di sini mempelajari cara
bertanam yang hemat tanah seperti di Taiwan. Di sana para petani
di pinggiran kota sudah hiasa membuat semacam kincir dengan bak
tanah yang ditanami sayur-mayur atau hortikultura lainnya, yang
setiap hari berputar pelan-pelan agar tiap bak mendapat jatah
smar matahari yang sepadan. Cara ini sangat hemat ruang.
Senentara itu, Prof. Meier juga mengecam arsitektur rumah
tinggal yang meniru rumah Amerika sampai ke model kamar
mandinya. Menghadapi masa mendatang yang serba langka air,
anerji, dan tanah, ekonom Berkeley itu menganjurkan para
rekannya di sini kembali menghargai arsitektur Jawa dan Sunda.
Di sini angin bisa mengalir sepoi-sepoi, sehingga orang tak
perlu pasang AC. Dan dalam soal pola hidup diatas air, Meier
menganjurkan "pelajarilah pola hidup dan rumah panggung
nelayan-nelayan Bugis." Di Pasar Ikan, katanya, "ada 2.500
keluarga yang saat ini hidup di atas air."
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini