KATA sahibulhikayat, Raja Sri Maha Punggung yang bertakhta di
Purwacarita mempunyai dua anak. Yang sulung bernama Sri
(perempuan), yang bungsu Sadana (laki-laki).
Akibat menampik usul baginda untuk dikawinkan, Sadana diusir
dari keraton, pergi tak tentu arah. Dalam kembara tubuhnya
berubah menjadi burung sriti. Kakaknya, yang meninggalkan
keraton untuk mencari adiknya, melata sebagai ular sawah.
Selama mengembara, baik burung sriti maupun ular sawah,
memberikan petunjuk yang berharga kepada para petani. Atas
prakarsa bidadari di kayangan Sri lalu menjadi Dewi Sri dan
Raden Sadana menjadi Batara Sadana. Demikianlah Dewi Sri menjadi
dewi padi atau dewi kesejahteraan.
Para ahli antropologi melihat persoalan ini sebagai sesuatu yang
lumrah. Kalau masyarakat begitu terikat pada suatu macam makanan
pokok maka tidak mustahil ada rokh atau dewi yang menjadi
pelindung tanaman yang bersangkutan. Versinya bisa macam-macam,
namanya bisa Dewi Sri, Nyi Pohaci Sangiang Sri, Puteri Luing dan
lain-lain, sesuai dengan sikon setempat.
Makan ditafsirkan sebagai ngalap berkahe Dewi Sri, menerima
berkat Dewi Sri. Tetapi setahu apa laju pertambahan berkah Dewi
Sri belum juga memadai. Malah berkah yang diturunkannya di
negeri Amerika dan negeri Siam perlu diimpor ke negeri ini.
Persoalannya lalu dikaitkan ahli-ahli dengan laju pertambahan
mulut, menciutnya usaha tani per keluarga. musim yang tidak klop
dan hama yang tidak kenal kasihan.
Segala daya sudah dihaturkan melalui program yang mutakhir,
bahkan melalui sebuah revolusi bernama Revolusi Hijau. Revolusi
ini sudah mengadakan kejutan-kejutan di pelbagai penjuru dunia,
tidak luput negeri kita ini. Melalui program Bimas, Inmas dan
lain-lain, tercatat kenaikan produksi beras di Indonesia sebagai
berikut. Selama tahun-tahun 1968-1973 produksi beras meningkat
rata-rata 4,4 persen setiap tahun selama 1973-1976 mengalami
kenaikan rata-rata 2,6 persen setiap tahun. Kita senantiasa
berusaha dan senantiasa pula kelihatan hasil yang nyata.
Namun apa mau dikata, di pihak lain angka-angka juga menunjukkan
bahwa beras yang diimpor juga membengkak jumlahnya. Kalau pada
tahun (kalender) 1972 jumlah beras yang diimpor 0,33 juta ton
maka pada tahun 1973 jumlahnya melonjak menjadi 1,79 juta ton.
Selanjutnya diimpor 1,129 juta ton pada tahun 1974 0,69 juta
ton pada 1975 1,29 juta ton pada 1976 dan 1,97 juta ton pada
tahun 1977. Indonesia menjadi pengimpor beras nomor wahid di
dunia. Produksi yang membengkak dibarengi dengan impor yang
membengkak pula. Lalu bagaimana? Apakah jadi jago impor
sepanjang masa?
Untuk memecahkan persoalan ini secara integral sudah ada
saran-saran melalui koran. Disarankan supaya makanan Indonesia
dibuat lebih beragam. Supaya mulut tidak terlalu terikat pada
nasi, supaya karbohidrat ketela lebih banyak lagi dicernakan.
Dicampur dengan lauk pauk yang serasi, ketela bisa dijadikan
sakaguru dalam menu. Kita terpaksa pasrah pada kenyataan bahwa
berkah Dewi Sri tidak memadai dan tidak akan memadai untuk
tahun-tahun jauh mendatang.
Terlanjur Ternoda
Tetapi apakah ketela bisa diandalkan membantu Dewi Sri? Ini
perlu dipertanyakan. Di samping ahli-ahli belum ada memberi
jaminan perihal keampuhan produksi ketela untuk mendampingi
padi, umbi-umbian ini sudah terlanjur bernoda. Namanya biasanya
dilekatkan pada kemiskinan, HO dan sebangsanya yang menurunkan
martabat. Berbeda dengan padi yang martabatnya dijamin Dewi Sri,
martabat ketela seolah-olah sudah dirusak oleh semacam iblis.
Lalu mau ke mana? Quo vadis?
Syukur alhamdulillah, belakangan ini ada berhembus angin segar.
Pohon sagu melambai. Lambaian sagu ini kalau ditanggapi
sungguh-sungguh punya potensi untuk memecahkan masalah pangan.
Menurut ir. Soesarsono Wiyandi, Dekan Fatemeta IPB, walaupun
potensi areal sagu belum bisa dipastikan, tapi jelas impor
kalori dalam wujud beras dengan mudah dapat ditambal oleh
tanaman ini. Tidak mustahil sepuluh kali lipat dari jumlah impor
beras dapat dihasilkan oleh sagu. Muhammad Hasroel Thayib juga
menengadah pada lambaian sagu. Hutan sagu seluas separoh Jawa
Barat, menurut dia, akan terus menerus mampu memenuhi kebutuhan
karbohidrat untuk 400 juta manusia.
Kalau begitu, mari kita beri penghargaan pada sagu. Mari kita
belajar dari saudara-saudara kita dari bagian Timur Nusantara
perihal ilmu sagu dan perihal mitos tentang sagu. Lalu para
transmigran diajari menghargai sagu, menikmati kapurung dan
dange dari sagu, seperti yang dilakukan penduduk asli Bone-bone.
Beri penghargaan pada akseptor sagu, terlebih akseptor lestari.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini