Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Jadilah akseptor sagu

Untuk memecahkan masalah kebutuhan makanan pokok rakyat indonesia, perlu dikembangkan pemakaian sagu. dengan demikian jumlah impor beras yang dilakukan indonesia dapat berkurang.

12 Agustus 1978 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KATA sahibulhikayat, Raja Sri Maha Punggung yang bertakhta di Purwacarita mempunyai dua anak. Yang sulung bernama Sri (perempuan), yang bungsu Sadana (laki-laki). Akibat menampik usul baginda untuk dikawinkan, Sadana diusir dari keraton, pergi tak tentu arah. Dalam kembara tubuhnya berubah menjadi burung sriti. Kakaknya, yang meninggalkan keraton untuk mencari adiknya, melata sebagai ular sawah. Selama mengembara, baik burung sriti maupun ular sawah, memberikan petunjuk yang berharga kepada para petani. Atas prakarsa bidadari di kayangan Sri lalu menjadi Dewi Sri dan Raden Sadana menjadi Batara Sadana. Demikianlah Dewi Sri menjadi dewi padi atau dewi kesejahteraan. Para ahli antropologi melihat persoalan ini sebagai sesuatu yang lumrah. Kalau masyarakat begitu terikat pada suatu macam makanan pokok maka tidak mustahil ada rokh atau dewi yang menjadi pelindung tanaman yang bersangkutan. Versinya bisa macam-macam, namanya bisa Dewi Sri, Nyi Pohaci Sangiang Sri, Puteri Luing dan lain-lain, sesuai dengan sikon setempat. Makan ditafsirkan sebagai ngalap berkahe Dewi Sri, menerima berkat Dewi Sri. Tetapi setahu apa laju pertambahan berkah Dewi Sri belum juga memadai. Malah berkah yang diturunkannya di negeri Amerika dan negeri Siam perlu diimpor ke negeri ini. Persoalannya lalu dikaitkan ahli-ahli dengan laju pertambahan mulut, menciutnya usaha tani per keluarga. musim yang tidak klop dan hama yang tidak kenal kasihan. Segala daya sudah dihaturkan melalui program yang mutakhir, bahkan melalui sebuah revolusi bernama Revolusi Hijau. Revolusi ini sudah mengadakan kejutan-kejutan di pelbagai penjuru dunia, tidak luput negeri kita ini. Melalui program Bimas, Inmas dan lain-lain, tercatat kenaikan produksi beras di Indonesia sebagai berikut. Selama tahun-tahun 1968-1973 produksi beras meningkat rata-rata 4,4 persen setiap tahun selama 1973-1976 mengalami kenaikan rata-rata 2,6 persen setiap tahun. Kita senantiasa berusaha dan senantiasa pula kelihatan hasil yang nyata. Namun apa mau dikata, di pihak lain angka-angka juga menunjukkan bahwa beras yang diimpor juga membengkak jumlahnya. Kalau pada tahun (kalender) 1972 jumlah beras yang diimpor 0,33 juta ton maka pada tahun 1973 jumlahnya melonjak menjadi 1,79 juta ton. Selanjutnya diimpor 1,129 juta ton pada tahun 1974 0,69 juta ton pada 1975 1,29 juta ton pada 1976 dan 1,97 juta ton pada tahun 1977. Indonesia menjadi pengimpor beras nomor wahid di dunia. Produksi yang membengkak dibarengi dengan impor yang membengkak pula. Lalu bagaimana? Apakah jadi jago impor sepanjang masa? Untuk memecahkan persoalan ini secara integral sudah ada saran-saran melalui koran. Disarankan supaya makanan Indonesia dibuat lebih beragam. Supaya mulut tidak terlalu terikat pada nasi, supaya karbohidrat ketela lebih banyak lagi dicernakan. Dicampur dengan lauk pauk yang serasi, ketela bisa dijadikan sakaguru dalam menu. Kita terpaksa pasrah pada kenyataan bahwa berkah Dewi Sri tidak memadai dan tidak akan memadai untuk tahun-tahun jauh mendatang. Terlanjur Ternoda Tetapi apakah ketela bisa diandalkan membantu Dewi Sri? Ini perlu dipertanyakan. Di samping ahli-ahli belum ada memberi jaminan perihal keampuhan produksi ketela untuk mendampingi padi, umbi-umbian ini sudah terlanjur bernoda. Namanya biasanya dilekatkan pada kemiskinan, HO dan sebangsanya yang menurunkan martabat. Berbeda dengan padi yang martabatnya dijamin Dewi Sri, martabat ketela seolah-olah sudah dirusak oleh semacam iblis. Lalu mau ke mana? Quo vadis? Syukur alhamdulillah, belakangan ini ada berhembus angin segar. Pohon sagu melambai. Lambaian sagu ini kalau ditanggapi sungguh-sungguh punya potensi untuk memecahkan masalah pangan. Menurut ir. Soesarsono Wiyandi, Dekan Fatemeta IPB, walaupun potensi areal sagu belum bisa dipastikan, tapi jelas impor kalori dalam wujud beras dengan mudah dapat ditambal oleh tanaman ini. Tidak mustahil sepuluh kali lipat dari jumlah impor beras dapat dihasilkan oleh sagu. Muhammad Hasroel Thayib juga menengadah pada lambaian sagu. Hutan sagu seluas separoh Jawa Barat, menurut dia, akan terus menerus mampu memenuhi kebutuhan karbohidrat untuk 400 juta manusia. Kalau begitu, mari kita beri penghargaan pada sagu. Mari kita belajar dari saudara-saudara kita dari bagian Timur Nusantara perihal ilmu sagu dan perihal mitos tentang sagu. Lalu para transmigran diajari menghargai sagu, menikmati kapurung dan dange dari sagu, seperti yang dilakukan penduduk asli Bone-bone. Beri penghargaan pada akseptor sagu, terlebih akseptor lestari.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus