NASJAH Djamin, 54 tahun, pelukis yang juga menulis sajak,
cerpen, novel dan drama, rasanya lebih punya nama dalam dunia
kesusastraan daripada dunia seni rupa. Naskah dramanya mendapat
hadiah dari Badan Musyawarah Kebudayaan Nasional. Kemudian
novelnya Gairah untuk Hidup dan Gairah untuk Mati menyebabkannya
menerima Anugerah Seni dari Pemerintah pada 1970. Dan meski
beberapa bukunya telah terbit, ia baru berpameran tunggal dua
kali. Pertama tahun 1970, dan yang kedua 1-6 Agustus ini di
Ruang Pameran TIM.
Seni lukis Indonesia bagi Nasjah, diwakili oleh karya-karya
mulus Basuki Abdullah. Itu pendapatnya tahun 1946, ketika ia
pertama kali menginjak Jakarta bersama Sam Suharto almarhum
(bekas wartawan Indonesia Raya) dan Daoed Joesoef (Menteri P&K
kini). Itulah kenapa ia kecewa ketika melihat cara mlukis
Affandi yang "benar-benar sebagai orang yang tengah membersihkan
kecomberan." (baca Affandi 70 Tahun, Dewan Kesenian Jakarta,
1978).
Meski sekarang orang tidak memasukkan Nasjah sekandang dengan
Basuki Abdullah, karya-karya lukisnya tetap bersih, rapi dan
bukannya "jorok" macam karya Affandi. Dan meskipun yang
digambarnya adalah potret desa (Bakul Pulang, Cikar, Pasir
Parang Tritis dan sebagainya) semuanya nampak bersih dan rapi.
Jalan kampung seakan jalan yang baru dibikin dan baru disapu,
kain dan kebaya mbok-mbok bakul baru dibeli dari toko,
sungai-sungai bebas dari polusi dan seterusnya. Bukan mustahil
karya Nasjah dipengaruhi lukisan klasik Jepang. Ia pernah
kira-kira tiga tahun (1961-64) belajar tata pentas teater, film
dan televisi di sana.
Karya piktorial klasik Jepang (terutama cukilan kayu atau lino)
memang bersih warna bidangnya, rapi dan datar. Hanya saja,
kontur yang membuat bentuk begitu kuatnya -- sehingga
plastisitas tetap saja hadir. Atau tepatnya garis-garis yang
membuat bentuk itulah yang terutama, sedang warna hanya
pelengkap. Ini tentu saja tidak mutlak. Ada juga satu dua karya
yang warnanya memang memberikan satu kekuatan sendiri.
Itulah saya rasa yang kurang pada Nasjah. Garis-garis Nasjah
begitu tegar, kaku, tidak hidup. Apabila warna telah (sengaja)
dipadamkan, dan kemudian garis ternyata tidak berhasil tampil,
lalu apa yang bisa dinikmati? Dalam Tari Perang misalnya.
Garis-garis yang membentuk gambar orang serta komposisi
bentuk-bentuk sama sekali tidak "berperang". Yang menonjol di
situ adalah gambar seorang perempuan yang molek, dan itu pun
terlepas dari suasana keseluruhan bidang.
Satu dua karya Nasjah memang ada menyuguhkan kejutan -- dalam
komposisi. Misalnya Perabu di Pasir dan Menyeberang di Kali.
Dengan bidang-bidang luas --yang memang telah terasa
kecenderungannya dalam karya-karya lain -- Nasjah mencoba
mengekspresikan sesuatu. Mungkin itu kesunyian, kekosongan atau
semacamnya. Dan rasanya memang berhasil -- dalam arti
lukisan-lukisan itu menyuguhkan bidang kosong.
Sayangnya kekosongan di situ tidak berperan sebagai subyek atau
pokok lukisan. Kekosongan di situ ternyata baru sebagai awal.
Karenanya terasa membutuhkan sesuatu sebagai isian. Sebab yang
tampil pada saya bukanlah bidang yang luas itu, melainkan kanvas
yang kosong. Dengan kata lain, sapuan luas Nasjah masih terasa
sebagai materi, dan belum menjelma sebagai elemen. Dicari lebih
jauh lagi, dari sudut komposisi jelas terasa kalau bidang-bidang
luas itu tidak begitu menyatu.
Satu hal positif yang saya tangkap dari Nasjah ialah rekamannya
tentang desa cara berpakaian para bakul, potret jalan kampung,
atau gerobak sapi yang lagi berbaris. Mungkin bisa dipakai
sebagai informasi kesejarahan. Itu pun baru positif, kalau yang
mengerjakan hal itu hanya Nasjah sendiri. Sayang agaknya tidak.
Bambang Bujono
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini