Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Bidang Luas, Kosong

Pameran lukisan karya nasjah djamin di tim. karya-karyanya dipengaruhi lukisan klasik jepang tapi tegar, kaku & tidak hidup. lukisan-likisannya menyuguhkan bidang kosong. (sr)

12 Agustus 1978 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

NASJAH Djamin, 54 tahun, pelukis yang juga menulis sajak, cerpen, novel dan drama, rasanya lebih punya nama dalam dunia kesusastraan daripada dunia seni rupa. Naskah dramanya mendapat hadiah dari Badan Musyawarah Kebudayaan Nasional. Kemudian novelnya Gairah untuk Hidup dan Gairah untuk Mati menyebabkannya menerima Anugerah Seni dari Pemerintah pada 1970. Dan meski beberapa bukunya telah terbit, ia baru berpameran tunggal dua kali. Pertama tahun 1970, dan yang kedua 1-6 Agustus ini di Ruang Pameran TIM. Seni lukis Indonesia bagi Nasjah, diwakili oleh karya-karya mulus Basuki Abdullah. Itu pendapatnya tahun 1946, ketika ia pertama kali menginjak Jakarta bersama Sam Suharto almarhum (bekas wartawan Indonesia Raya) dan Daoed Joesoef (Menteri P&K kini). Itulah kenapa ia kecewa ketika melihat cara mlukis Affandi yang "benar-benar sebagai orang yang tengah membersihkan kecomberan." (baca Affandi 70 Tahun, Dewan Kesenian Jakarta, 1978). Meski sekarang orang tidak memasukkan Nasjah sekandang dengan Basuki Abdullah, karya-karya lukisnya tetap bersih, rapi dan bukannya "jorok" macam karya Affandi. Dan meskipun yang digambarnya adalah potret desa (Bakul Pulang, Cikar, Pasir Parang Tritis dan sebagainya) semuanya nampak bersih dan rapi. Jalan kampung seakan jalan yang baru dibikin dan baru disapu, kain dan kebaya mbok-mbok bakul baru dibeli dari toko, sungai-sungai bebas dari polusi dan seterusnya. Bukan mustahil karya Nasjah dipengaruhi lukisan klasik Jepang. Ia pernah kira-kira tiga tahun (1961-64) belajar tata pentas teater, film dan televisi di sana. Karya piktorial klasik Jepang (terutama cukilan kayu atau lino) memang bersih warna bidangnya, rapi dan datar. Hanya saja, kontur yang membuat bentuk begitu kuatnya -- sehingga plastisitas tetap saja hadir. Atau tepatnya garis-garis yang membuat bentuk itulah yang terutama, sedang warna hanya pelengkap. Ini tentu saja tidak mutlak. Ada juga satu dua karya yang warnanya memang memberikan satu kekuatan sendiri. Itulah saya rasa yang kurang pada Nasjah. Garis-garis Nasjah begitu tegar, kaku, tidak hidup. Apabila warna telah (sengaja) dipadamkan, dan kemudian garis ternyata tidak berhasil tampil, lalu apa yang bisa dinikmati? Dalam Tari Perang misalnya. Garis-garis yang membentuk gambar orang serta komposisi bentuk-bentuk sama sekali tidak "berperang". Yang menonjol di situ adalah gambar seorang perempuan yang molek, dan itu pun terlepas dari suasana keseluruhan bidang. Satu dua karya Nasjah memang ada menyuguhkan kejutan -- dalam komposisi. Misalnya Perabu di Pasir dan Menyeberang di Kali. Dengan bidang-bidang luas --yang memang telah terasa kecenderungannya dalam karya-karya lain -- Nasjah mencoba mengekspresikan sesuatu. Mungkin itu kesunyian, kekosongan atau semacamnya. Dan rasanya memang berhasil -- dalam arti lukisan-lukisan itu menyuguhkan bidang kosong. Sayangnya kekosongan di situ tidak berperan sebagai subyek atau pokok lukisan. Kekosongan di situ ternyata baru sebagai awal. Karenanya terasa membutuhkan sesuatu sebagai isian. Sebab yang tampil pada saya bukanlah bidang yang luas itu, melainkan kanvas yang kosong. Dengan kata lain, sapuan luas Nasjah masih terasa sebagai materi, dan belum menjelma sebagai elemen. Dicari lebih jauh lagi, dari sudut komposisi jelas terasa kalau bidang-bidang luas itu tidak begitu menyatu. Satu hal positif yang saya tangkap dari Nasjah ialah rekamannya tentang desa cara berpakaian para bakul, potret jalan kampung, atau gerobak sapi yang lagi berbaris. Mungkin bisa dipakai sebagai informasi kesejarahan. Itu pun baru positif, kalau yang mengerjakan hal itu hanya Nasjah sendiri. Sayang agaknya tidak. Bambang Bujono

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus