Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pemilu legislatif, pemilihan presiden putaran pertama dan kedua, telah berlangsung aman, tertib, dan damai. Presiden dan wakil presiden terpilih pun sudah dilantik dan mulai bekerja. Sebuah kerja demokrasi terlaksana secara mengagumkan, dan Indonesia tiba-tiba menjadi raksasa demokrasi di antara India, Amerika, dan negara-negara Eropa. Sekarang orang tak bisa lagi mencibir bahwa demokrasi di Indonesia adalah "pesta demokrasi" ala Orde Baru yang direkayasa dengan rapi. Demokrasi kita sekarang ini adalah demokrasi yang sama dengan demokrasi universal di negara-negara lain tempat secara bebas suara rakyat menentukan masa depan mereka (vox populi vox dei).
Biaya yang dikeluarkan negara untuk pelaksanaan demokrasi ini jelas sangat besar. Tapi ini tak perlu kita persoalkan karena mengelola tiga kali pemilu tidaklah murah. Hanya, biaya pemilu tentu bukan saja datang dari negara, tetapi justru datang pula dari partai politik, calon anggota legislatif, calon presiden-wakil presiden, dan pada pemilihan kepala daerah nantinya juga calon gubernur dan calon bupati. Masyarakat, dunia usaha, ataupun perorangan turut juga menyumbang. Saya kira tak ada yang tahu berapa banyak dana yang tertumpahkan untuk tiga pemilu kita tahun ini. Yang pasti, pemilu kita adalah pemilu yang sangat mahal.
Demi transparansi dan akuntabilitas, kita semua perlu tahu berapa besar biaya demokrasi yang kita laksanakan ini. Sayangnya, kita tak akan bisa memperoleh gambaran lengkap dan akurat dari laporan keuangan yang disampaikan ke Komisi Pemilihan Umum (KPU) karena tak semua penerimaan dan pengeluaran dilaporkan. Sedangkan audit yang dilakukan juga sangat terbatas pada data-data yang sifatnya juga terbatas. Saya mengatakan ini karena memang perangkat perundangan politik kita—UU No. 31/2002 tentang Partai Politik, UU No. 12/2003 tentang Pemilu, dan UU No. 23/2003 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden—mengandung banyak sekali lubang hukum.
Dalam UU No. 31/2002 tentang Partai Politik, misalnya, dikatakan bahwa keuangan partai diperoleh dari iuran anggota, sumbangan sah menurut hukum, dan bantuan dari anggaran negara. Dalam sumbangan tersebut termasuk pula barang, fasilitas, peralatan, dan atau jasa (in kind). Khusus untuk uang disebut bahwa batas sumbangan perorangan adalah Rp 200 juta per tahun, sementara untuk perusahaan atau badan usaha adalah Rp 800 juta per tahun. Ketentuan ini mengandung kelemahan karena dari laporan keuangan partai yang disampaikan ke KPU, kita sering tak mengetahui data sumbangan yang sifatnya in kind itu. Belum lagi kalau melihat betapa tidak rapinya manajemen keuangan partai, yang membuat banyak akuntan merasa kewalahan.
Dalam UU No. 12/2003 tentang Partai Politik kita pun menemukan hal yang sama, yaitu kurang rapinya pencatatan keuangan partai maupun calon anggota legislatif, DPR maupun DPD. Memang UU No. 12/2003 mengatur batas sumbangan perorangan maupun badan usaha, yaitu Rp 100 juta untuk perorangan dan Rp 750 juta untuk perusahaan atau badan usaha. Selain itu ditentukan pula bahwa sumbangan di atas Rp 5 juta wajib dicatat dan dilaporkan ke KPU.
Di sini kita mendengar, misalnya, bahwa banyak sekali rekayasa karena sering nama-nama dan alamat penyumbang tak dapat diverifikasi. Beberapa pengecekan oleh pemantau pemilu menunjukkan bahwa banyak nama dan alamat yang sengaja diciptakan sehingga ketika dicek tak pernah ada. Pertanyaannya: siapa yang menyumbang? Jadi, sumbangan politik ini sepertinya banyak yang gelap sehingga banyak isu mencuat ke permukaan, sampai-sampai mengaitkannya dengan dugaan pencucian uang dari konglomerat hitam atau uang haram lainnya.
Kalau kita membaca UU No. 23/2003 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden, kita akan melihat lubang besar yang di luar jangkauan KPU, yaitu dana kampanye yang diperoleh dari pasangan calon dan partai politik yang mencalonkan. Di sini tak ada sama sekali batas dana kampanye (batas yang ada hanya pada penyumbang perorangan dan perusahaan atau badan usaha yang jumlahnya sama dengan batasan pada UU No. 12/2003, yaitu Rp 100 juta untuk perorangan dan Rp 750 juta untuk perusahaan atau badan usaha).
Jadi, pasangan calon dan partai yang mencalonkan bisa saja mengeluarkan dana tanpa batas, seolah sky is the limit. Di sinilah letak soalnya karena matematika sederhana atas biaya kampanye tampaknya tak sama dengan apa yang dilaporkan ke KPU. Sayangnya, akuntan yang mengaudit laporan keuangan tersebut tak mempunyai kewenangan dan akses terhadap data keuangan. KPU pun tampaknya menyerah karena tak berdaya akibat kelemahan rumusan pasal perundangan pemilihan umum maupun pemilihan presiden kita. Alhasil, kita hanya bisa mereka-reka tentang betapa besar biaya demokrasi yang telah kita habiskan sekarang ini.
Kelemahan rumusan perundangan tak boleh membuat kita menyerah karena persoalan dana kampanye ini adalah persoalan yang teramat penting untuk dibiarkan begitu saja. Kalau aturan dana kampanye ini tak diperjelas, nantinya hanya warga negara yang kaya yang punya kesempatan menjadi presiden. Atau lebih jelek lagi, yang bisa jadi presiden adalah orang-orang yang mampu memperoleh uang haram dan mencucinya untuk dana kampanye.
Atau sang calon presiden akan menjadi "alat" dari special interest groups yang bisa jadi datang dari kelompok konglomerat hitam, mafia, atau kepanjangan tangan asing. Bayangkan, mau dibawa ke mana negeri ini kalau presidennya kelak adalah "sandera" dari kelompok-kelompok kepentingan yang ingin terus menjarah kekayaan negeri ini. Bayangkan bahwa semua janji kampanye hanyalah retorika politik yang penuh dengan kebohongan publik.
Kita semua mesti mempelajari teknik-teknik licik partai, calon legislator, dan calon presiden-wakil presiden, yang memang bukan barang baru dalam sejarah demokrasi di dunia ini. Lihat apa yang terjadi di Australia ketika pada 1998 Partai Liberal me-manfaatkan kelemahan hukum dengan mendirikan Greenfields Foundation yang menyalurkan pinjaman tanpa bunga kepada Partai Liberal. Praktek ini dianggap sebagai pelanggaran hukum sehingga akhirnya harus dihentikan.
Di Jerman pada tahun 2000 kita menyaksikan bekas Kanselir Helmut Kohl mundur sebagai Ketua Kehormatan Christian Democrat Union (CDU) karena terbongkarnya sumbangan-sumbangan ilegal terhadap CDU ketika Helmut Kohl menjadi kanselir. Sumbangan ilegal berjumlah US$ 3,5 juta tersebut tidak saja menghancurkan Kohl tetapi juga Kepala Keuangan CDU, Wolfgang Huellen, yang meninggal karena menggantung diri.
Jadi sumbangan ilegal ini memang terjadi di mana-mana. Di India, Perdana Menteri Rajiv Gandhi dikaitkan dengan kickbacks yang berkaitan dengan kontrak pembelian senjata FH-778 dari Swedia. Di Korea Selatan, misalnya, mantan presiden mereka, Roh Tae-woo dan Chun Doo-hwan, dihukum masing-masing 17 tahun penjara dan seumur hidup serta denda US$ 600 juta. Angka US$ 600 juta ini adalah sumbangan ilegal yang konon dua pertiganya masuk ke rekening pribadi.
Cerita mengenai hal ini akan kita temui di banyak negara walaupun tidak mudah diungkapkan. Di Ukraina, misalnya, George Gongadze yang memimpin sebuah penerbitan, Ukrainska Pravda, hilang karena memberitakan soal korupsi dan sumbangan ilegal yang melibatkan Presiden Leonid Kuchma. Pemberitaan itu telah membuat wartawan George Gongadze mati mengenaskan tanpa kepala pada pertengahan September 2000.
Kita tak tahu apa yang terjadi pada pemilihan presiden yang kita lakukan baru-baru ini walau banyak cerita yang bertebaran. Ada yang mengatakan, sebagian dari abuse of power itu terjadi pada tubuh badan usaha milik negara yang ditengarai telah menyumbangkan dana, langsung atau tidak langsung, kepada salah satu pasangan calon presiden-wakil presiden. Ada pula cerita tentang dana sumbangan yang datang dari para konglomerat yang disetorkan langsung ke para calon presiden dan wakilnya. Selain itu ada pula cerita mengenai masuknya dana asing ke pundi-pundi salah satu calon presiden dan wakil presiden. Dalam sistem keuangan kampanye yang kurang transparan dan akuntabel ini memang tidak mungkin untuk mengetahui dana-dana tersebut, sehingga kita tampaknya hanya bisa gigit jari.
Sebagian dari persoalan ini kita bisa selesaikan dengan melakukan amendemen terhadap UU No. 31/2002 tentang Partai Politik, UU No. 12/2003 tentang Pemilu, dan UU No. 23/2003 tentang Pemilu Presiden dan Wakil Presiden. Di dalam tubuh DPR mesti ada semangat untuk melakukan pembaruan sistem dana kampanye (campaign finance reform) yang mencakup bukan saja masalah batas sumbangan tetapi juga dana yang masuk dan keluar dari partai dan calon presiden-wakil presiden.
Bagaimana transparansi dan akuntabilitas dari dana-dana tersebut? Pihak KPU juga harus lebih tegas dan seyogianya berani membuat terobosan peraturan yang membuat partai dan calon presiden-wakil presiden lebih berhati-hati. Jangan seperti sekarang ini, bahwa pihak KPU sepertinya sudah menyerah pada kendala keterbatasan hukum yang dimilikinya.
Peran LSM dan media tentunya menjadi sangat penting, dan diharapkan agar kontrol kepada partai, calon presiden-wakil presiden, serta KPU harus terus ditingkatkan. Kita semua tentu tidak ingin rakyat negeri ini dibohongi oleh para "pemimpin" yang kelihatannya tulus ingin memperjuangkan nasib rakyat tetapi di balik itu semua tersimpan agenda lain yaitu membayar kembali utang-utangnya kepada para penyumbang uang haram yang mengangkatnya ke kursi presiden. Di sinilah korupsi, kolusi, dan nepotisme akan merajalela kembali. Akan halnya rakyat? Kasihan, deh lu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo