HUTAN lindung di Cagar Alam Gunung Tilu, Jawa Barat, berubah wajah. Pohon rasamala, jamuju dan pakis telah ditebangi dan kayunya teronggok di beberapa tempat. Di sela tanggul kayu, beberapa petani sibuk mencangkul. "Kami hendak menanam kenung," kata Eddy Suparman sambil senyum. Kegembiraannya beralasan sebab satu kilogram kentang yang ditanam bisa menghasilkan 35 kg. Dataran pada ketinggian 1.600 m itu cukup subur. Suparman dan petani lainnya tak merasa bersalah walaupun telah membabat hutan itu, 65 km arah selatan Bandung. Untuk menggarapnya -- tahap pcrtama seluas 10 ha--ia sudah teken kontrak dengan PT Chakra, pengelola perkebunan teh Dewata. Mempunyai areal 612 ha, perkebunan itu memang terletak di daerah enclave (tanah sisipan) dalam Cagar Alam Gunung Tilu yang luasnya 8.000 ha. Pemda Jawa sarat menilai PT Chakra sebagai perkebunan teh swasta yang berhasil. Tahun 1979, Direktorat Jenderal Perkebunan, Departemen Pertanian, ikut menyatakan PT Chakra, "perkebunan swasta kelas satu dalam manajemen dan produksi." Menurut Direktur Utama H. Badruddin, perkebunannya tahun lalu menghasilkan 621 ton lebih teh kering. Ketika dibeli dari Tiedernan, orang selanda, tahun 1956 seharga Rp 1,2 juta, hasilnya hanya 186,5 ton setahun. Waktu serah terima, dari areal 612 ha itu kebun leh hanya 442 ha. Yang produktif bhkan hanya 200 ha. Areal sisanya, 170 ha, berupa hutan cadangan. Hutan ini masih lebat dan dihuni berbagai binatang buas dan burung. Penduduk setempat menyebutnya, "kebun binatang". Untuk mengembangkan sayapnya PT Chakra, memerlukan areal tambahan. Bank Dunia menentukan, perkebunan yang meminta kredit minimal harus memiliki areal produksi 500 ha. Kebetulan di Cagar Alam Gunung Tilu ada dataran seluas 36 ha dikenal sebagai Blok Kebun. Badruddin sejak lama mengincarnya. "Tanahnya landai. Kami tertarik menanam teh di sana," katanya. Dalam sepucuk surat ke alamat Direktur Jenderal Kehutanan, Maret 1979, ia meminta agar Blok Kebun bisa ditukar dengan hutan cadangan miliknya di Gunung Maud. Pihak PPA (Perlindungan dan Pelestarian Alam) memberi rekomendasi. "Flora fauna di hutan cadangan itu masih asli. Kami untung sebab tak perlu menanaminya lagi," kata Ahmad Siradjuddin, Kepala PPA Kabupaten Bandung. Yon Wind, seorang konsultan PPA menambahkan, "tanpa hutan itu satwa tak bisa menyeberang dengan aman." Gunung Maud menghubungkan dua bukit berhutan lebat yang merupakan bagian dari Cagar Alam Gunung Tilu. Februari 1981, Dirjen Kehutanan Sudjarwo menyetujui tukar menukar hutan itu. Syaratnya 1 : 1,5. Jelasnya, Badruddin menyerahkan 50 ha di Gunung Maud dan mendapat ganti sekitar 3 ha di slok Kebun. BADRUDDIN Juni lalu mengirim surat lagi ke Dirjen Sudjarwo, meinta izin menggarap areal yang telah dipertukarkan. Soalnya, musim tanam (Oktober-November-Desember) kian mendekat. "Kami sudah menyediakan satu juta bibit teh yang siap tanam." Ia disokong oleh Direktur Bina Program Kehutanan, Armana Darsidi. "Sambil menanti penyelesaian Berita Acara Tata Batas yang memerlukan waktu agak lama," kata Darsidi dalam surat rekomendasi kepada Dirjen Kehutanan, "permohonan PT Chakra kiranya dapat disetujui." Mulai Agustus, Badruddin menggarap slok Kebun. Menghemat biaya, ia bekerja sama dengan para petani kentang. "Membuka hutan sendiri bisa mencapai Rp 2 juta per hektar," katanya. Ia berani melakukan itu, katanya, karena PPA Jawa Barat pun telah mengizinkan secara lisan. Kontan Perum Perhutani Wilayah III Jawa Barat, menjadi berang. "Kami tak pernah diberitahu soal tukar menukar. Padahal soal pengamanan dan penebangan kayu di hutan, harus seizin kami," kata Kepala Humas, Karsono. Dan Tjardana, Kepala Seksi Keamanan Perhutani, menunjukkan SK Menteri Pertanian No. 1024/1980 yang menyebutkan kawasan hutan lindung dan suaka alam tak boleh dipergunakan, walau untuk kepentingan umum. Ada lagi SK No. 68/1981 yang menetapkan kompleks hutan Gunung Tilu (meliputi Gunung Tilu, Gunung Waringin, Gunung Kawah Ciwidey dan Gunung Riunggunung) sebagai kawasan konservasi dalam bentuk cagar alam. Sasaran utamanya melindungi berbagai jenis kehidupan dan mempertahankan ekosistem, sesuai dengan prinsip konservasi modern. Cagar Alam Gunung Tilu, berdasar penelitian PPA Jawa Barat, dinyatakan sebagai. "salah satu perwakilan tipe hutan hujan tropis." Juga ia berfungsi sebagai pengatur tanah dan air untuk Bandung dan sekitarnya. Menteri PPLH Emil Salim konon tertarik mendengar ribut-ribut soal penukaran hutan cagar alam itu, lantas pernah mengirim teleks kepada PPA Jawa Barat. Sementara itu Eddy Suparman tak menghentikan penebangan. "Saya tak punya urusan dengan Perhutani. Kalau ada perintah pihak perkebunan, baru saya mau berhenti," katanya tenang.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini