DI luar pesantren, pendidikan Islam menghadapi tuntutan
perubahan. Dan sekolahsekolah Muhamrnadiyah (sejak 1912) dan
Diniyah Putri di Padang Panjang (sejak 1923), misalnya, mencoba
tetap bertahan.
Adakah "erosi" di sekolah Muhammadiyah? Tak begitu jelas. Hanya,
"sekarang ini murid sekolah Muhammadiyah tidak hanya dari
keluarga santri," kata H.S. Prodjokusumo, Ketua Majelis
Pendidikan Pengajaran dan Kebudayaan (MPPK Muhammadiyah kepada
TEMPO. Dulu, "99 persen anak didik kami datang dari keluarga
muslim, dan 60 persen di antaranya dari keluarga Muhammadiyah"
Karena itulah sekolah Muhammadiyah perlu mengintensifkan
pelajaran agamanya.
Ini menyangkut jenis sekolah yang kurikulumnya berpedoman pada
sekolah negeri (SD sampai SMTA). Pada dua jenis pendidikan
Muhammadiyah yang lain pendidikan guru agama (kurikulum
Departemen Agama) dan Mu'allimin dan Mu'allimat (sekolah
pendidikan guru khas Muhammadiyah), masalah pelajaran agama itu
tentu berbeda.
Pada 1980, diputuskan untuk memberikan pelajaran agama di
semua SD, SMTP, dan SMTA Muhammadiyah 6 jam per minggu. Dan
Munas kemarin menambahnya lagi dengan 3 jam. "Bahkan di SPG
Muhammadiyah Yogya pelajaran agamanya 12 jam seminggu," tambah
ketua MPPK itu. Tujuannya, biar calon guru SD Muhammadiyah
itu bisa pula memberikan pelajaran agama bila kebetulan guru
agama lagi absen.
Prodjokusumo memang tidak menyebut-nyebut adanya penurunan
kualitas 'kepribadian muslim' dari anak didik Muhammadiyah. Tapi
langkah-langkah yang diambil akhir-akhir ini--termasuk beberapa
keputusan Munas kemarin yang telah dicabut--bisa memberi kesan
dinyalakannya lampu kuning. Di Universitas Muhammadiyah
Surakarta kini lagi dicoba membuka jurusan Pendidikan Guru di
Fakultas Ilmu Agamanya. Ini merupakan kelanjutan dari
Mu'allimin dan Mu'allimat yang memang belum ada kelanjutannya di
tingkat perguruan tinggi. Dari situ diharapkan muncul guru-guru
agama untuk tingkat SMTA Muhammadiyah, yang siap menghadapi anak
didik. "Ada gejala anak-anak didik kami kini tidak lagi
mendalami pelajaran agama," sambung Prodjo .
Padahal dari segi pelajaran umum, beberapa sekolah Muhammadiyah
-- dari dua ribu lebih di seluruh Indonesia itu - boleh
diandalkan. Bahkan terbilang sekolah favorit, misalnya SMA
Muhammadiyah di Jalan Kramat, Jakarta, yang selalu kebanjiran
murid. Juga SPG Muhammadiyah di Yogya yang tetap kelebihan
peminat.
STM Muhanmladiyah di Bukittinggi Sumatera Barat, lebih menonjol
dibanding STM negeri di kota itu. Beberapa waktu lalu STM
Muhammadiyah itu diserahi tugas oleh Gubernur Sum-Bar
melaksanakan proyek listrik masuk desa. Juga STM Muhammadiyah
Pakanbaru, yang siswanya mendapat prioritas bekerja di Stanvac.
Tapi, di segi lain, dikeluarkan himbauan tentang "pengadaan
sarana ibadat yang memadai serta diiringi dengan pembinaan
situasi keislaman dan kemuhammadiyahan yang mantap"--dalam Munas
kemarin. Bentuknya yang nyata, pakaian seragam "secara muslim,
baik untuk guru maupun siswa," dimintakan perhatian
sungguh-sungguh. Dan dari Ketua MPPK-nya bisa dicatat
pernyataannya, babwa "membentuk kepribadian muslim di zaman
modern ini memang cukup berat."
Contohnya sudah ada. Ialah Diniyah Putri di Padang Panjang.
Pendidikan khusus bagi kaum putri yang didirikan oleh H. Rahmah
El-Yunusiah pada 1923 ini, 65% kurikulum merupakan pelajaran
agama dan bahasa Arab.
Hasilnya memang ada. Menurut pengamatan koresponden TEMPO di
Sumatera Barat, siswi-siswi Diniyah Putri cepat dapat dikenali
dengan selendangnya yang lebar, dan baju kurungnya yang khas
--yang tetap dibawanya meski mereka telah duduk di IAIN atau di
IKIP, misalnya. Dalam suatu pertemuan, misalnya ketika ada
kursus jurnalistik di IAIN Padang, sekitar dua bulan yang lalu,
siswi-siswi lulusan Diniyah Putri yang ikut serta (sekitar 20
orang) paling menonjol keberaniannya bertanya.
Di perpustakaan Diniyah Putri itu majalah-majalah Kartini,
Femina, Gadis -- yang kurang lebih menawarkan gaya hidup "masa
kini" yang gemerlapan. Toh Martini, siswa asal Lampung, tetap
pulang ke kampung dalam pakaian mudawarah dan baju kurung. "Mode
'kan cuma kulit. Yang penting bagaimana pribadi kita." Dan
seperti Martini inilah rata-rata sikap siswi Diniyah Putri itu.
Yang juga penting, menurut Dra. Isnaniah Saleh, 54 tahun,
pemimpin sekolah dari 600-an putri--anak-anak asuhannya selalu
kembali ke kampung menjadi guru atau berwiraswasta. Hampir tak
ada yang jadi pegawai dan kebanyakan tidak tergiur menetap di
kota--kecuali bila mereka lebih dulu meneruskan ke perguruan
tinggi.
Toh Diniyah menghadapi problem. "Sejak empat tahun belakangan
ini calon siswi kami menurun jumlahnya," tutur Isnaniah. Dulu
selalu ada empat sampai lima lokal siswi baru tiap tahun. Kini
maksimal hanya tiga lokal. Maka bila tiga tahun lalu ada 1.000
siswi, kini hanya 600. "Yang masuk ke sini betul-berul yang
menyadari pentingnya pendidikan berdasar agama Islam," kata
Isnaniah pula.
Itulah masalah -- terutama setelah di Sumatera Barat berdiri
pula sejumlah madrasah negeri.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini