Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sosial

Ikhtiar, sambil bertahan

Tentang sekolah-sekolah muhammadiyah dan perguruan putri di luar pesantren. adanya erosi makin kecil jumlah siswa dari keluarga santri, jam pelajaran agama ditambah. (ag)

6 November 1982 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DI luar pesantren, pendidikan Islam menghadapi tuntutan perubahan. Dan sekolahsekolah Muhamrnadiyah (sejak 1912) dan Diniyah Putri di Padang Panjang (sejak 1923), misalnya, mencoba tetap bertahan. Adakah "erosi" di sekolah Muhammadiyah? Tak begitu jelas. Hanya, "sekarang ini murid sekolah Muhammadiyah tidak hanya dari keluarga santri," kata H.S. Prodjokusumo, Ketua Majelis Pendidikan Pengajaran dan Kebudayaan (MPPK Muhammadiyah kepada TEMPO. Dulu, "99 persen anak didik kami datang dari keluarga muslim, dan 60 persen di antaranya dari keluarga Muhammadiyah" Karena itulah sekolah Muhammadiyah perlu mengintensifkan pelajaran agamanya. Ini menyangkut jenis sekolah yang kurikulumnya berpedoman pada sekolah negeri (SD sampai SMTA). Pada dua jenis pendidikan Muhammadiyah yang lain pendidikan guru agama (kurikulum Departemen Agama) dan Mu'allimin dan Mu'allimat (sekolah pendidikan guru khas Muhammadiyah), masalah pelajaran agama itu tentu berbeda. Pada 1980, diputuskan untuk memberikan pelajaran agama di semua SD, SMTP, dan SMTA Muhammadiyah 6 jam per minggu. Dan Munas kemarin menambahnya lagi dengan 3 jam. "Bahkan di SPG Muhammadiyah Yogya pelajaran agamanya 12 jam seminggu," tambah ketua MPPK itu. Tujuannya, biar calon guru SD Muhammadiyah itu bisa pula memberikan pelajaran agama bila kebetulan guru agama lagi absen. Prodjokusumo memang tidak menyebut-nyebut adanya penurunan kualitas 'kepribadian muslim' dari anak didik Muhammadiyah. Tapi langkah-langkah yang diambil akhir-akhir ini--termasuk beberapa keputusan Munas kemarin yang telah dicabut--bisa memberi kesan dinyalakannya lampu kuning. Di Universitas Muhammadiyah Surakarta kini lagi dicoba membuka jurusan Pendidikan Guru di Fakultas Ilmu Agamanya. Ini merupakan kelanjutan dari Mu'allimin dan Mu'allimat yang memang belum ada kelanjutannya di tingkat perguruan tinggi. Dari situ diharapkan muncul guru-guru agama untuk tingkat SMTA Muhammadiyah, yang siap menghadapi anak didik. "Ada gejala anak-anak didik kami kini tidak lagi mendalami pelajaran agama," sambung Prodjo . Padahal dari segi pelajaran umum, beberapa sekolah Muhammadiyah -- dari dua ribu lebih di seluruh Indonesia itu - boleh diandalkan. Bahkan terbilang sekolah favorit, misalnya SMA Muhammadiyah di Jalan Kramat, Jakarta, yang selalu kebanjiran murid. Juga SPG Muhammadiyah di Yogya yang tetap kelebihan peminat. STM Muhanmladiyah di Bukittinggi Sumatera Barat, lebih menonjol dibanding STM negeri di kota itu. Beberapa waktu lalu STM Muhammadiyah itu diserahi tugas oleh Gubernur Sum-Bar melaksanakan proyek listrik masuk desa. Juga STM Muhammadiyah Pakanbaru, yang siswanya mendapat prioritas bekerja di Stanvac. Tapi, di segi lain, dikeluarkan himbauan tentang "pengadaan sarana ibadat yang memadai serta diiringi dengan pembinaan situasi keislaman dan kemuhammadiyahan yang mantap"--dalam Munas kemarin. Bentuknya yang nyata, pakaian seragam "secara muslim, baik untuk guru maupun siswa," dimintakan perhatian sungguh-sungguh. Dan dari Ketua MPPK-nya bisa dicatat pernyataannya, babwa "membentuk kepribadian muslim di zaman modern ini memang cukup berat." Contohnya sudah ada. Ialah Diniyah Putri di Padang Panjang. Pendidikan khusus bagi kaum putri yang didirikan oleh H. Rahmah El-Yunusiah pada 1923 ini, 65% kurikulum merupakan pelajaran agama dan bahasa Arab. Hasilnya memang ada. Menurut pengamatan koresponden TEMPO di Sumatera Barat, siswi-siswi Diniyah Putri cepat dapat dikenali dengan selendangnya yang lebar, dan baju kurungnya yang khas --yang tetap dibawanya meski mereka telah duduk di IAIN atau di IKIP, misalnya. Dalam suatu pertemuan, misalnya ketika ada kursus jurnalistik di IAIN Padang, sekitar dua bulan yang lalu, siswi-siswi lulusan Diniyah Putri yang ikut serta (sekitar 20 orang) paling menonjol keberaniannya bertanya. Di perpustakaan Diniyah Putri itu majalah-majalah Kartini, Femina, Gadis -- yang kurang lebih menawarkan gaya hidup "masa kini" yang gemerlapan. Toh Martini, siswa asal Lampung, tetap pulang ke kampung dalam pakaian mudawarah dan baju kurung. "Mode 'kan cuma kulit. Yang penting bagaimana pribadi kita." Dan seperti Martini inilah rata-rata sikap siswi Diniyah Putri itu. Yang juga penting, menurut Dra. Isnaniah Saleh, 54 tahun, pemimpin sekolah dari 600-an putri--anak-anak asuhannya selalu kembali ke kampung menjadi guru atau berwiraswasta. Hampir tak ada yang jadi pegawai dan kebanyakan tidak tergiur menetap di kota--kecuali bila mereka lebih dulu meneruskan ke perguruan tinggi. Toh Diniyah menghadapi problem. "Sejak empat tahun belakangan ini calon siswi kami menurun jumlahnya," tutur Isnaniah. Dulu selalu ada empat sampai lima lokal siswi baru tiap tahun. Kini maksimal hanya tiga lokal. Maka bila tiga tahun lalu ada 1.000 siswi, kini hanya 600. "Yang masuk ke sini betul-berul yang menyadari pentingnya pendidikan berdasar agama Islam," kata Isnaniah pula. Itulah masalah -- terutama setelah di Sumatera Barat berdiri pula sejumlah madrasah negeri.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus