Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sosok

Anak sumatra itu mengucapkan...

Daud Budiman (kwee thiam kong), salah satu dari empat pemuda keturunan cina yang turut mengucapkan sumpah pemuda pada 1920 sebagai anggota jong sumatranen bond, akrab dengan keluarga H. Agus Salim. (tk)

6 November 1982 | 00.00 WIB

Anak sumatra itu mengucapkan...
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
SEJAK kecil ia sudah merasa sebagai anak Indonesia. Apalagi di kalangan masyarakat Palembang, tempat ia lahir dan dibesarkan, hubungan antara kerurunan Cina dan Indonesia asli cukup baik. "Di masa kecil saya biasa bergaul, bermain, tidur dan makan bersama anak-anak sekampung," tutur Daud Budiman, 73 tahun, yang lahir dengan nama Kwee Thiam-hong. Suatu hari di masa tuanya, Daud pernah bertanya kepada salah seorang cucunya. "Kamu ini orang Cina atau Indonesia?" Dengan pasti anak kecil itu menjawab: "Saya orang Indonesia, lahir di Indonesia, dcngan nama Indonesia." Daud Budiman, bapak dari lima anak dan kakek dari 12 cucu itu, bangga. Sebab hal itu memang cocok dengan pendiriannya. Kepada seluruh anggota keluarganya sejak dulu Daud selalu menanamkan perasaan kebangsaan. Daud sesungguhnya tidak setuju dengan penggantian nama bagi para warganegara keturunan Cina. "Nama itu kan pemberian orang tua yang sudah dipikirkan masak-masak waktu lahir," katanya. Penggantian namanya sendiri, pada 1965, karena terpaksa. "Ketika itu saya mendapat kesulitan mendaftarkan anak saya yang keempat masuk perguruan tinggi, gara-gara nama asli saya saja," tuturnya. "Tapi sesungguhnya buat apa pakai nama Indonesia kalau jiwanya bukan Indonesia? Yang penting kan ininya," katanya lagi sambil menunjuk dadanya sendiri. Sikap seperti itu bisa dimengerti. Sebab sejak remaja--ketika masih duduk di bangku MULO di Jakarta, Thiamhong yang waktu itu merasa dirinya "anak Sumatera", menjadi salah seorang "komandan peleton" Pandu Pemuda Sumatera (PPS), yang berada di bawah organisasi pemuda kedaerahan Jong Soematranen Bond. Sebagai pandu, ia juga dikenal pintar menabuh genderang. Ketika itu banyak tumbuh berbagai organisasi pemuda kedaerahan sepertiJongJava, Jong Celebes, JongAmbon dan sebagainya--masing-masing biasanya memiliki gerakan kepanduan sendiri. Dalam usia 17 tahun Thiam-hong sering menghadiri pertemuan yang diselenggarakan organisasi pemuda. Di sanalah ia mendengarkan ceramah-ceramah politik dari H.O.S. Tjokroaminoto, Haji Agus Salim atau Bung Karno. "Ketika itu kami sudah menghendaki Indonesia merdeka. Hanya waktunya belum dapat dipastikan," tuturnya. Dalam Kongres Pemuda 11 di Jakarta 27-28 Oktober 1928 yang melahirkan Sumpah Pemuda itu, Thiam-hong juga hadir. Ia bahkan sempat mengajak tiga temannya yang lain Oei Kay-siang, John Liauw Tjoan-hok dan Tjio Dinkwie, yang semuanya kini sudah almarhum. Boleh dikata merekalah yang mewakili para pemuda "nonpribumi" dalam Kongres Pemuda itu, meskipun mereka hadir sebagai anggota Jong soe?na tranen Bond. Menurut Daud Budiman yang kini tinggal di Taman Sari, Jakarta Birar, kongres yang diselenggarakan di Indonesische Clubgebow (kini Gedung Sumpah Pemuda di Jalan Kramat Raya 106) itu dihadiri sekitar 500 orang. "Selain para undangan, banyak pula tanpa undangan karena memang terbuka untuk umum," tutur Daud lagi. Bahkan seperti biasanya, kaki-tangan Belanda pun datang. "Sehingga selain kami semua gembira karena bertemu dengan para pemuda dan pandu dari berbagai organisasi, juga was-was kalau-kalau rapat dibubarkan atau kami ditangkap," tambahnya. Ketika itu, Daud Budiman juga sempat mengucapkan sumpah pemuda bersama-sama para hadirin. "Cara mengucapkannya sambil berdiri tegap," katanya lagi. DAUD juga sempat menyaksikan ketika lagu kebangsaan Indonesia Raya pertama kali dinyanyikan dalam kongres tersebut. "Saya masih ingat yang menyanyikan adalah gadis kecil Dolly, putri Haji Agus Salim," ujar Daud. Mendengarkan lagu itu dengan spontan para hadirin pun berdiri ikut menyanyikannya. Kini Dolly, alias Theodora Athia, anak sulung dari delapan anak Haji Agus Salim tersebut sudah berusia 69 tahun. "Ketika itu saya datang sendiri ke kongres karena memang tidak diundang. Saya baru berusia 15 tahun," katanya. Ia datang sebagai pandu putri anggota Natipij (Nationaal Islamitische Padvinderij) di bawah organisasi pemuda Islam Jong Islamieten Bond. "Para hadirin dalam kongres itu tidak ditentukan tempat duduknya. Siapa yang datang duluan mendapat tempat di depan. Kebetulan saya duduk di kursi depan, " tutur Dolly, kini istri Rektor Universitas Islam Jakarta, Sardjono. Ketika tiba acara memperkenalkan lagu Indonesia Raya, seseorang menunjuk gadis kecil Dolly untuk menyanyikannya dengan iringan biola W.R. Soepratman, sang komponis. Karena tidak ada panggung, Dolly menyanyi di atas kursi. Tapi Dolly sendiri sangsi, benarkah ia yang pertama kali menyanyikan lagu Indonesia Raya. Sebab, katanya mungkin sebelumnya sudah ada orang lain atau suatu kelompok yang menyanyikannya. Tapi ketika ia bertanya kepada beberapa rekannya yang juga menghadiri Kongres Pemuda, misalnya Nyonya Jos Masdani, hal itu dibenarkannya. Bekas Menlu Sunarjo yang waktu mudanya juga hadir dalam kongres tersebut juga mengakuinya. "Inilah orangnya yang pertama kali menyanyikan lagu Indonesia Raya di depan umum," kata Sunarjo menunjuk Dolly. Thiam-hong sendiri mengaku amat dekat dengan keluarga Agus Salim. "Haji Agus Salim saya anggap sebagai ayah angkat saya, sedang anak-anaknya sebagai saudara saya," katanya. Mula-mula ia memang bersahabat dengan Dohan Shahruzah (kini almarhum) salah seorang menantu Salim. Istri Djohan, Violet Hanifah adalah adik Dolly. Ketika masih belajar di MULO Jakarta, Thiamhong tinggal sekamar denan Djohan. Meskipun Thiam-hong alias Daud Budiman beragama Protestan sementara Djohan Shahruzah beragama Islam, pada bulan puasa Thiam-hong ikut bangun pada dini hari menyiapkan makanan sahur. "Saya ikut masak, juga ikut makan," katanya sambil tertawa. Rupanya soal perbedaan agama ketika itu tidak menjadi masalah. Bahkan kedua sahabat itu sering bantu-membantu dalam hal keuangan. Orang tua Thiam-hong pedagan besar di Palembang, sementara orang tuaDjohan seorang geolog yang lebih sering di lapangan. Menjelang kemerdekaan Thiam-hong sering menghadiri diskusi-diskusi politik yang diselenggarakan kelompok Sutan Sjahrir alias Bung Kecil. Mengagumi pikiran-pikiran sosialismenya Sjahrir, di belakang hari Thiam-hong menjadi anggota Partai Sosialis Indonesia. Pada 1947, ketika Belanda melancarkan agresi pertama, Thiam-hong mendengar bahwa Djohan Shahruzah, sahabatnya itu, ditahan Belanda. Thiam-hong segera menghubungi Haji Agus Salim. Dan atas pertolongan mertuanya yang memang disegani lawan dan kawan itulah Djohan selamat. Thiamhong sendiri ketika itu secara tidak resmi diangkat oleh Perdana Menteri Sjahrir menjadi semacam intel. "Soalnya Belanda kanselalubersikap lunak menghadapi orang-orang keturunan Tionghoa daripada terhadap orang Indonesia asli," kata Daud Budiman. Di masa tuanya kini, Daud Budiman lebih banyak tinggal di rumah bersama istrinya. Penglihatannya sudah banyak berkurang setelah kedua belah matanya dioperasi beberapa waktu lalu. Orang tua ini juga menderita rematik, hingga jalannya agak tertatih tatih. Untuk membiayai hidupnya ia dibantu anak-anaknya dan sedikit keuntungan dari sahamnya di sebuah bank swasta di Jakarta. Sebagai warganegara yang secara kebetulan berdarah Cina, Daud Budiman setuju pada ide pembauran. "Tapi tidak sekedar melalui perkawinan campuran. Sebab soal kawin erat hubungannya dengan cinta. Kalau antara keduanya tidak saling mencintai, apa lantas dipaksa kawin?" katanya. Menurut Daud, usaha pembauran yang paling tepat ialah melalui pendidikan. "Usaha pembauran tidak bisa dilaksanakan dengan cepat, memang harus melalui proses yang lama,"katanya. Ia sedih menyaksikan kenyataan di masyarakat yang mengkotak-kotakkan sesama warganegara Indonesia sendiri dalam kategori "pribumi" dan "non-pribumi". "Kalaupun mau mengkotak-kotakkan juga, haruslah dengan seleksi," katanya. Sebab, menurut Daud, orang-orang Cina warganegara Indonesia terbagi dalam dua golongan. Yaitu yang sudah turun-temurun tinggal di Indonesia dan pendatang baru. Golongan perrama, yang nenek-moyangnya sudah lama tinggal di sini, sudah tidak lagi bisa membaca, menulis dan berbicara bahasa Cina. Di masyarakat, mereka bisa membaur dan di rumah berbicara dalam bahasa Indonesia. "Nah, orang-orang seperti itu lantas mau ke mana kalau tidak berkiblat ke Indonesia? Mau ke Tingkok, toh mereka tak punya lagi sanak-saudara di sana. Ngomongnya juga sudah lain," kata Daud sedih. Golongan kedua, biasanya kakek dan neneknya masih totok, masih lekat dengan kebudayaan negeri leluhur dan di rumah tak pernah menggunakan bahasa Indonesia. "Kalaupun mereka mengganti nama dengan nama Indonesia dan sedikit bisa berbahasa Indonesia, perasaan Cinanya lebih kuat daripada rasa Indonesianya. Nah, golongan inilah yang sering menimbulkan persoalan negatif di masyarakat," kata Daud Budiman dengan lancar. Di kalangan warga keturunan Cina, Daud alias Thiam hong pernah dianggap "lebih Indonesia daripada orang Indonesia asli sendiri." Hanya karena ia sangat mendukung ekonomi koperasi seperti diajarkan Bung Hatta.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus