SEJAK kecil ia sudah merasa sebagai anak Indonesia. Apalagi di
kalangan masyarakat Palembang, tempat ia lahir dan dibesarkan,
hubungan antara kerurunan Cina dan Indonesia asli cukup baik.
"Di masa kecil saya biasa bergaul, bermain, tidur dan makan
bersama anak-anak sekampung," tutur Daud Budiman, 73 tahun, yang
lahir dengan nama Kwee Thiam-hong.
Suatu hari di masa tuanya, Daud pernah bertanya kepada salah
seorang cucunya. "Kamu ini orang Cina atau Indonesia?" Dengan
pasti anak kecil itu menjawab: "Saya orang Indonesia, lahir di
Indonesia, dcngan nama Indonesia." Daud Budiman, bapak dari lima
anak dan kakek dari 12 cucu itu, bangga. Sebab hal itu memang
cocok dengan pendiriannya. Kepada seluruh anggota keluarganya
sejak dulu Daud selalu menanamkan perasaan kebangsaan.
Daud sesungguhnya tidak setuju dengan penggantian nama bagi para
warganegara keturunan Cina. "Nama itu kan pemberian orang tua
yang sudah dipikirkan masak-masak waktu lahir," katanya.
Penggantian namanya sendiri, pada 1965, karena terpaksa. "Ketika
itu saya mendapat kesulitan mendaftarkan anak saya yang keempat
masuk perguruan tinggi, gara-gara nama asli saya saja,"
tuturnya. "Tapi sesungguhnya buat apa pakai nama Indonesia kalau
jiwanya bukan Indonesia? Yang penting kan ininya," katanya lagi
sambil menunjuk dadanya sendiri.
Sikap seperti itu bisa dimengerti. Sebab sejak remaja--ketika
masih duduk di bangku MULO di Jakarta, Thiamhong yang waktu itu
merasa dirinya "anak Sumatera", menjadi salah seorang "komandan
peleton" Pandu Pemuda Sumatera (PPS), yang berada di bawah
organisasi pemuda kedaerahan Jong Soematranen Bond. Sebagai
pandu, ia juga dikenal pintar menabuh genderang. Ketika itu
banyak tumbuh berbagai organisasi pemuda kedaerahan
sepertiJongJava, Jong Celebes, JongAmbon dan
sebagainya--masing-masing biasanya memiliki gerakan kepanduan
sendiri.
Dalam usia 17 tahun Thiam-hong sering menghadiri pertemuan yang
diselenggarakan organisasi pemuda. Di sanalah ia mendengarkan
ceramah-ceramah politik dari H.O.S. Tjokroaminoto, Haji Agus
Salim atau Bung Karno. "Ketika itu kami sudah menghendaki
Indonesia merdeka. Hanya waktunya belum dapat dipastikan,"
tuturnya.
Dalam Kongres Pemuda 11 di Jakarta 27-28 Oktober 1928 yang
melahirkan Sumpah Pemuda itu, Thiam-hong juga hadir. Ia bahkan
sempat mengajak tiga temannya yang lain Oei Kay-siang, John
Liauw Tjoan-hok dan Tjio Dinkwie, yang semuanya kini sudah
almarhum. Boleh dikata merekalah yang mewakili para pemuda
"nonpribumi" dalam Kongres Pemuda itu, meskipun mereka hadir
sebagai anggota Jong soe?na tranen Bond.
Menurut Daud Budiman yang kini tinggal di Taman Sari, Jakarta
Birar, kongres yang diselenggarakan di Indonesische Clubgebow
(kini Gedung Sumpah Pemuda di Jalan Kramat Raya 106) itu
dihadiri sekitar 500 orang. "Selain para undangan, banyak pula
tanpa undangan karena memang terbuka untuk umum," tutur Daud
lagi. Bahkan seperti biasanya, kaki-tangan Belanda pun datang.
"Sehingga selain kami semua gembira karena bertemu dengan para
pemuda dan pandu dari berbagai organisasi, juga was-was
kalau-kalau rapat dibubarkan atau kami ditangkap," tambahnya.
Ketika itu, Daud Budiman juga sempat mengucapkan sumpah pemuda
bersama-sama para hadirin. "Cara mengucapkannya sambil berdiri
tegap," katanya lagi.
DAUD juga sempat menyaksikan ketika lagu kebangsaan Indonesia
Raya pertama kali dinyanyikan dalam kongres tersebut. "Saya
masih ingat yang menyanyikan adalah gadis kecil Dolly, putri
Haji Agus Salim," ujar Daud. Mendengarkan lagu itu dengan
spontan para hadirin pun berdiri ikut menyanyikannya. Kini
Dolly, alias Theodora Athia, anak sulung dari delapan anak Haji
Agus Salim tersebut sudah berusia 69 tahun. "Ketika itu saya
datang sendiri ke kongres karena memang tidak diundang. Saya
baru berusia 15 tahun," katanya. Ia datang sebagai pandu putri
anggota Natipij (Nationaal Islamitische Padvinderij) di bawah
organisasi pemuda Islam Jong Islamieten Bond.
"Para hadirin dalam kongres itu tidak ditentukan tempat
duduknya. Siapa yang datang duluan mendapat tempat di depan.
Kebetulan saya duduk di kursi depan, " tutur Dolly, kini istri
Rektor Universitas Islam Jakarta, Sardjono. Ketika tiba acara
memperkenalkan lagu Indonesia Raya, seseorang menunjuk gadis
kecil Dolly untuk menyanyikannya dengan iringan biola W.R.
Soepratman, sang komponis. Karena tidak ada panggung, Dolly
menyanyi di atas kursi.
Tapi Dolly sendiri sangsi, benarkah ia yang pertama kali
menyanyikan lagu Indonesia Raya. Sebab, katanya mungkin
sebelumnya sudah ada orang lain atau suatu kelompok yang
menyanyikannya. Tapi ketika ia bertanya kepada beberapa rekannya
yang juga menghadiri Kongres Pemuda, misalnya Nyonya Jos
Masdani, hal itu dibenarkannya. Bekas Menlu Sunarjo yang waktu
mudanya juga hadir dalam kongres tersebut juga mengakuinya.
"Inilah orangnya yang pertama kali menyanyikan lagu Indonesia
Raya di depan umum," kata Sunarjo menunjuk Dolly.
Thiam-hong sendiri mengaku amat dekat dengan keluarga Agus
Salim. "Haji Agus Salim saya anggap sebagai ayah angkat saya,
sedang anak-anaknya sebagai saudara saya," katanya. Mula-mula ia
memang bersahabat dengan Dohan Shahruzah (kini almarhum) salah
seorang menantu Salim. Istri Djohan, Violet Hanifah adalah adik
Dolly. Ketika masih belajar di MULO Jakarta, Thiamhong tinggal
sekamar denan Djohan.
Meskipun Thiam-hong alias Daud Budiman beragama Protestan
sementara Djohan Shahruzah beragama Islam, pada bulan puasa
Thiam-hong ikut bangun pada dini hari menyiapkan makanan sahur.
"Saya ikut masak, juga ikut makan," katanya sambil tertawa.
Rupanya soal perbedaan agama ketika itu tidak menjadi masalah.
Bahkan kedua sahabat itu sering bantu-membantu dalam hal
keuangan. Orang tua Thiam-hong pedagan besar di Palembang,
sementara orang tuaDjohan seorang geolog yang lebih sering di
lapangan.
Menjelang kemerdekaan Thiam-hong sering menghadiri
diskusi-diskusi politik yang diselenggarakan kelompok Sutan
Sjahrir alias Bung Kecil. Mengagumi pikiran-pikiran
sosialismenya Sjahrir, di belakang hari Thiam-hong menjadi
anggota Partai Sosialis Indonesia. Pada 1947, ketika Belanda
melancarkan agresi pertama, Thiam-hong mendengar bahwa Djohan
Shahruzah, sahabatnya itu, ditahan Belanda.
Thiam-hong segera menghubungi Haji Agus Salim. Dan atas
pertolongan mertuanya yang memang disegani lawan dan kawan
itulah Djohan selamat. Thiamhong sendiri ketika itu secara tidak
resmi diangkat oleh Perdana Menteri Sjahrir menjadi semacam
intel. "Soalnya Belanda kanselalubersikap lunak menghadapi
orang-orang keturunan Tionghoa daripada terhadap orang Indonesia
asli," kata Daud Budiman.
Di masa tuanya kini, Daud Budiman lebih banyak tinggal di rumah
bersama istrinya. Penglihatannya sudah banyak berkurang setelah
kedua belah matanya dioperasi beberapa waktu lalu. Orang tua ini
juga menderita rematik, hingga jalannya agak tertatih tatih.
Untuk membiayai hidupnya ia dibantu anak-anaknya dan sedikit
keuntungan dari sahamnya di sebuah bank swasta di Jakarta.
Sebagai warganegara yang secara kebetulan berdarah Cina, Daud
Budiman setuju pada ide pembauran. "Tapi tidak sekedar melalui
perkawinan campuran. Sebab soal kawin erat hubungannya dengan
cinta. Kalau antara keduanya tidak saling mencintai, apa lantas
dipaksa kawin?" katanya. Menurut Daud, usaha pembauran yang
paling tepat ialah melalui pendidikan. "Usaha pembauran tidak
bisa dilaksanakan dengan cepat, memang harus melalui proses
yang lama,"katanya.
Ia sedih menyaksikan kenyataan di masyarakat yang
mengkotak-kotakkan sesama warganegara Indonesia sendiri dalam
kategori "pribumi" dan "non-pribumi". "Kalaupun mau
mengkotak-kotakkan juga, haruslah dengan seleksi," katanya.
Sebab, menurut Daud, orang-orang Cina warganegara Indonesia
terbagi dalam dua golongan. Yaitu yang sudah turun-temurun
tinggal di Indonesia dan pendatang baru.
Golongan perrama, yang nenek-moyangnya sudah lama tinggal di
sini, sudah tidak lagi bisa membaca, menulis dan berbicara
bahasa Cina. Di masyarakat, mereka bisa membaur dan di rumah
berbicara dalam bahasa Indonesia. "Nah, orang-orang seperti itu
lantas mau ke mana kalau tidak berkiblat ke Indonesia? Mau ke
Tingkok, toh mereka tak punya lagi sanak-saudara di sana.
Ngomongnya juga sudah lain," kata Daud sedih.
Golongan kedua, biasanya kakek dan neneknya masih totok, masih
lekat dengan kebudayaan negeri leluhur dan di rumah tak pernah
menggunakan bahasa Indonesia. "Kalaupun mereka mengganti nama
dengan nama Indonesia dan sedikit bisa berbahasa Indonesia,
perasaan Cinanya lebih kuat daripada rasa Indonesianya. Nah,
golongan inilah yang sering menimbulkan persoalan negatif di
masyarakat," kata Daud Budiman dengan lancar.
Di kalangan warga keturunan Cina, Daud alias Thiam hong pernah
dianggap "lebih Indonesia daripada orang Indonesia asli
sendiri." Hanya karena ia sangat mendukung ekonomi koperasi
seperti diajarkan Bung Hatta.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini