Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Lingkungan

Konferensi Bali: Diplomasi Pokoknya

17 Desember 2007 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hendro Sangkoyo

  • Peserta Konferensi Perubahan Iklim di Nusa Dua, Bali. Alumnus dan dosen tamu Perubahan Sosial Ekologis pada Program Pascasarjana Cornell University.

    Konferensi Perubahan Iklim ke-13 di Nusa Dua, Bali, telah usai pada 14 Desember. Begitu pula hiruk-pikuk pertemuan antarpihak. Juru runding negara maju dan negara bekas jajahan sibuk bersalaman. Mereka saling tepuk bahu setelah dua pekan bersitegang. Aktivis puluhan organisasi lingkungan baik yang moderat ataupun garis keras, dalam serta luar negeri, pulang satu per satu.

    Konferensi dibuka dengan euforia saat Australia melalui perdana menteri baru Kevin Rudd meratifikasi Protokol Kyoto. Tapi penutupan konferensi adalah antiklimaks. Amerika Serikat berhasil mengawal kepentingan negara maju demi menolak target penurunan emisi lebih besar, 25–40 persen dari tingkat emisi 1990. Alih-alih mengukuhkan komitmen terukur di atas kertas, mereka justru mengajukan syarat macam-macam. Intinya, mega-industri harus tetap ngebul agar pertumbuhan ekonomi tidak terganggu.

    Bagaimana membaca diplomasi ”pokoknya” seperti itu? Apakah sikap Amerika sendiri yang ”berani beda”? Atau, jangan-jangan, demikian pula sikap lebih dari 40 negara maju yang telah lebih dulu menandatangani Konvensi Perubahan Iklim, walau sebagian berlindung di balik batu?

    Di balik berbagai jargon dan akronim dalam dokumen Konferensi Perubahan Iklim, yang sudah 15 tahun berlangsung, tujuan akhirnya jelas, agar konsentrasi gas rumah kaca di atmosfer stabil sehingga iklim tidak berubah. Ekosistem Bumi punya waktu untuk beradaptasi. Pembangunan ekonomi berpindah dari energi fosil menjadi energi ramah lingkungan. Produksi pangan tak boleh terganggu. Singkatnya, menjamin keberlangsungan peradaban manusia.

    Biang kerok pembuang emisi terbesar justru negara-negara yang paling maju. Tapi, hingga 13 kali konferensi berjalan, para penebar polusi yang kaya-raya itu emoh menyalurkan dana bagi sesama penghuni planet Bumi yang tidak beruntung, termasuk Indonesia. Untuk makan saja kurang, apalagi untuk mempertahankan keselamatan rakyat dan produksi pangan dari bencana iklim. Jangan pula bicara tentang teknologi konversi, produksi, dan konsumsi energi rendah karbon.

    Tanpa aliran dana dan transfer teknologi besar-besaran dari negara-negara industri maju yang kaya, amat kecil reduksi emisi yang dapat dilakukan negara berkembang. Ironisnya, mereka hanya mau mengucurkan uang kalau kepentingan industri (alias pembuang emisi) mereka diakomodasi. Sungguh sulit untuk mengabaikan, apalagi membalik, logika keunggulan kompetitif di balik relokasi industri pada 1980-an dan 1990-an.

    Protokol Kyoto, sesungguhnya, memberi jalan bagi negara maju untuk mengkompensasi emisi dengan harga jauh lebih murah daripada melaksanakan kewajibannya menurunkan emisi. Setelah Mekanisme Pembangunan Bersih, kini muncul mekanisme Pengurangan Emisi dari Deforestasi (REDD) di negara berkembang. Yang ini masih kontroversial karena dampaknya bagi para pemangku hutan di pedalaman belum lagi selesai dikaji.

    Lucunya, banyak yang telanjur keblinger menghitung jutaan dolar uang segar yang bisa diraup. Perkiraan paling mutakhir Panel Antarpemerintah untuk Perubahan Iklim (IPCC) menunjukkan bahwa untuk mencegah kengerian di masa depan, dibutuhkan pengurangan emisi global sebesar 50–85 persen dari tingkat emisi global tahun 2000. Namun, sampai hari ini kesediaan negara maju masih jauh dari target konvensi.

    Kengerian kian bertambah ketika Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) memperkirakan sampai 2030 bahan bakar fosil masih akan menjadi sumber energi utama atau empat perlima dari jumlah keseluruhan kebutuhan energi. Dua sisi Atlantik antara Uni Eropa dan Amerika Serikat akan terus bersaing dengan sengit atas nama pertumbuhan ekonomi. Dari belahan bumi seberang, mesin-mesin raksasa di Cina, India, dan Jepang tak mau kalah.

    Boleh jadi, nasib Konferensi Perubahan Iklim akan serupa dengan konvensi made in PBB lainnya: ompong melawan mereka yang ngotot ”pokoknya-pokoknya”. Lalu tentang krisis ekologis yang dihadapi Bumi? Lupakan saja!

  • Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Image of Tempo
    Image of Tempo
    Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
    • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
    • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
    • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
    • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
    • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
    Lihat Benefit Lainnya

    Image of Tempo

    Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Image of Tempo
    >
    Logo Tempo
    Unduh aplikasi Tempo
    download tempo from appstoredownload tempo from playstore
    Ikuti Media Sosial Kami
    © 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
    Beranda Harian Mingguan Tempo Plus