Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SELESAI mandi, gajah jantan dewasa bernama Berry mengangkat tinggi belalainya. Suara melengking yang dikeluarkan memecah suasana pagi pada pertengahan Agustus lalu. Gajah asli Sumatera berumur 27 tahun ini kemudian melenggang keluar dari kolam menuju bak minum di Pusat Konservasi Gajah Taman Nasional Way Kambas, Kabupaten Lampung Timur, Lampung.
Berry merupakan salah satu gajah anggota elephant responsibility unit di Pusat Konservasi Gajah Way Kambas, tempat pelatihan sekaligus pelestarian gajah di luar habitat. Setiap pagi, mahout (pawang gajah) membawa Berry dan puluhan gajah lain ke hutan untuk mencari makan, berbaur dengan gajah liar, dan menghalau mereka agar tak keluar dari hutan.
”Sore menjelang magrib, hewan cerdas ini akan kembali sendiri ke pusat konservasi,” kata Kempet, salah satu mahout yang ditemui Tempo di lokasi konservasi pekan lalu. Pria 35 tahun ini sangat mengenal karakter gajah asuhannya lantaran sudah sepuluh tahun lebih bekerja sebagai pawang mamalia bertubuh tambun dengan nama Latin Elephas maximus sumatranus itu.
Pembauran antara gajah dari pusat konservasi dan gajah liar dilakukan sebagai salah satu bentuk konservasi berbasis genetika gajah. Menurut International Union for Conservation of Nature, hewan yang dapat hidup hingga 80 tahun ini terancam masuk daftar merah alias punah.
Setiap tahun populasi gajah Sumatera menurun sekitar 100 individu. Data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan menyebutkan populasi gajah Sumatera kini tinggal 1.724 ekor dari 2.700 ekor pada 2007.
Hasil studi World Wildlife Fund (WWF) Indonesia dan Eijkman Institute for Molecular Biology, yang dirilis pada pertengahan Agustus lalu, menyebutkan salah satu faktor pemicu penurunan itu adalah perkawinan sedarah (inbreeding). Perkawinan ini berimbas pada menurunnya variasi genetika dan kualitas hidup gajah yang mudah terserang penyakit.
Gajah termasuk mamalia besar dengan siklus kehamilan cukup panjang, 4-5 tahun sekali. Masa kehamilannya 18-22 bulan. ”Karena itu, butuh pembauran seperti di Way Kambas agar keanekaragaman hayati genetika gajah tetap terjaga,” ujar Sunarto, ekolog satwa liar dari WWF Indonesia yang juga anggota penelitian.
Studi WWF Indonesia dan Eijkman Institute tersebut disampaikan dalam simposium yang digelar di gedung Eijkman Institute, Jakarta Pusat, pekan lalu, untuk memperingati Hari Gajah Sedunia, yang jatuh pada 15 Agustus.
Gajah di pusat konservasi memiliki keanekaragaman genetika cukup tinggi. Sunarto pun berharap langkah itu dapat memperkaya genetika gajah liar Sumatera di Way Kambas. Cara ini dikenal dengan istilah konservasi penanda deoxyribonucleic acid (DNA) atau cetak biru makhluk hidup. Konservasi penanda DNA tergolong teknik baru dalam upaya pelestarian satwa liar di Indonesia.
Herawati Sudoyo, Deputi Direktur Eijkman Institute Bidang Penelitian Fundamental—juga anggota penelitian—mengatakan ada lima hal yang dapat diungkap dengan pendekatan penanda DNA: ukuran populasi, profil genetik tiap individu, rasio jenis kelamin, pola pergerakan satwa, serta keragaman genetik dalam dan antarpopulasi. Metode yang digunakan adalah mengumpulkan materi genetika, seperti darah, organ tubuh, dan feses.
Darah merupakan bagian ideal untuk memetakan DNA. Hanya, lantaran sulit membius hewan sebesar gajah, Herawati dan timnya memilih feses sebagai alternatif. Pemilihan feses, kata Herawati, ”Tidak menyebabkan stres pada hewan. Juga potensi adanya korban terhindarkan.”
Langkah selanjutnya adalah mengisolasi dan menganalisis DNA dari 377 sampel kotoran gajah yang dikumpulkan dari Taman Nasional Tesso Nilo, Riau, selama tiga tahun. Semua sampel itu diekstraksi dan diurutkan berdasarkan DNA mitokondria, yang diwariskan secara maternal. Hasilnya, ada 148 individu dengan variasi genetika.
Studi juga mendapati populasi gajah di Tesso Nilo terdiri atas tiga garis haplogroup (leluhur). Adapun di Way Kambas, Lampung, dan Taman Nasional Bukit Tigapuluh, Jambi, masing-masing berasal dari satu dan dua garis leluhur. ”Semakin ke selatan, keragaman genetika gajah Sumatera kian rendah,” kata Herawati. ”Ini tentu mimpi buruk bagi konservasi.”
Studi konservasi ini juga mengungkap adanya pergerakan beberapa individu di sekitar hutan tanaman industri. Pergerakan mereka terkonfirmasi dari data kalung global positioning system yang dipasang di beberapa ekor gajah. Sunarto menduga pergerakan itu akibat tingginya aktivitas manusia, khususnya perambah hutan di habitat gajah. ”Gajah semakin terdesak,” ujar Sunarto.
Konservasi berbasis penanda DNA bisa pula digunakan untuk membantu penanganan kasus kejahatan hewan. Sunarto menyinggung kasus pembunuhan gajah jantan dewasa bernama Yongki di Lampung pada September 2015. Saat ini Eijkman Institute sudah memiliki spesimen DNA gajah Yongki. Maka, kata Herawati, bila ada temuan barang bukti gading gajah, peneliti bisa mencocokkan gading dengan pemiliknya. ”Informasi tersebut kemudian bisa digunakan untuk melacak dan menindak pemilik, pedagang gading, ataupun pelaku yang membunuh Yongki,” ucapnya.
Penggunaan teknik genetika molekuler untuk konservasi satwa di Indonesia baru dilakukan untuk gajah Sumatera pada bentang alam Tesso Nilo, Bukit Tigapuluh, Way Kambas, dan Bukit Barisan Selatan. Lembaga selain WWF Indonesia yang aktif menerapkan teknik ini dan bekerja sama dengan Eijkman adalah Wildlife Conservation Society-Indonesia Program (WCS).
Studi Eijkman dan WCS yang dilakukan sepanjang Oktober 2010-Januari 2014 itu menggunakan penghitungan statistik mark-recapture, yakni untuk penaksiran ukuran populasi. Berdasarkan analisis dari 310 sampel kotoran gajah dari Way Kambas, terungkap rentang populasi gajah sebanyak 220-278 individu.
Universitas Negeri Lampung juga melakukan studi konservasi. Mereka memetakan DNA individu gajah yang ada di Pusat Konservasi Way Kambas. ”Tujuannya menelusuri garis haplogroup mereka,” ujar Elly L. Rustiati, peneliti ekologi sekaligus koordinator riset.
Meski metode ini terbilang baru, konservasi berbasis penanda DNA cukup efektif, baik untuk memperkaya keanekaragaman genetika satwa langka dan keamanan satwa. Melalui pendekatan ini, misalnya, beberapa kali jaringan perdagangan gading ilegal gajah Afrika (Loxodonta africana) digagalkan. Perdagangan kulit harimau Benggala (Panthera tigris tigris) di India dan gorila punggung perak di Taman Nasional Virunga, Kongo, juga bisa dibongkar.
Setelah minum, Berry kembali mengeluarkan suara lengkingan. Kali ini diikuti gajah jantan bernama Denis, 27 tahun, di belakangnya. Dituntun mahout, keduanya berjalan tegap beriringan memasuki hutan Taman Nasional Way Kambas, bersiap untuk berbaur dengan gajah liar di sana. AMRI MAHBUB
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo