Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Olahraga

Bajak Atlet Demi gengsi Medali

Perpindahan dan perebutan atlet kembali marak menjelang Pekan Olahraga Nasional. Mencederai semangat fair play.

5 September 2016 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sepulang dari Olimpiade 2016 dengan membawa medali perak, Eko Yuli Irawan tak bisa lama berleha-leha. Lifter 27 tahun itu kembali memacu diri untuk bersiap tampil di arena Pekan Olahraga Nasional, yang akan berlangsung di Jawa Barat pada 17-29 September. Ia sedikit lega karena daerah yang akan dibelanya, Jawa Timur, membolehkannya berlatih sendiri di rumahnya di Bekasi, Jawa Barat. ”Saya tak ikut pemusatan latihan Jawa Timur di Batu, tapi nanti langsung bertemu di tempat pelaksanaan PON di Jawa Barat,” ujarnya, Selasa pekan lalu.

Dari Olimpiade langsung tampil di PON tentu bukan langkah ideal. Bahkan bisa dikatakan terbalik-balik. Dalam urutan pembinaan, atlet biasanya berkompetisi secara berjenjang dari PON, SEA Games, Asian ­Games, hingga akhirnya Olimpiade. Eko pun menyadari hal itu. Ia juga sadar soal suara miring yang muncul, yang menganggap kiprahnya telah menghilangkan kesempatan atlet nasional lain, terutama yang masih muda, untuk meraih prestasi di arena empat tahunan itu. ”Ya, saya sempat mendengar pendapat yang menyatakan seharusnya atlet olimpiade seperti saya tak bertanding lagi di PON. Tapi mau bagaimana lagi?” katanya.

Eko mengatakan ia membutuhkan PON demi peningkatan kualitas hidupnya. Bergabung dengan tim pemusatan latihan daerah (pelatda) sebuah provinsi membuatnya berhak mendapatkan uang saku alias gaji. Duit ini, di samping uang saku yang ia terima dari pemerintah sebagai anggota tim nasional, bisa digunakan untuk menghidupi keluarganya serta membeli kebutuhan penunjang latihan, seperti suplemen.

Urusan duit itu pula yang akhirnya mendorong Eko memilih pindah daerah. Tiga tahun lalu, dia meninggalkan Kalimantan Timur karena tergiur fasilitas lebih yang ditawarkan Jawa Timur. Apalagi, selepas PON 2008, ia merasa fasilitas yang diberikan Komite Olahraga Nasional Indonesia (KONI) Kalimantan Timur tak lagi mencukupi. ”Uang saku yang biasa saya terima per bulan saya terima menjadi enam bulan sekali,” tutur Eko. Dia meminta nominal uang sakunya tak ditulis.

Sebenarnya Eko sudah berniat pindah sebelum PON 2012. Namun saat itu terhambat aturan yang menyebutkan bahwa kepindahan atlet ke daerah lain harus dilakukan dua tahun menjelang PON. Niatnya itu baru terlaksana pada 2013 dengan menandatangani nota kesepahaman dengan KONI Jawa Timur, antara lain berisi kesepakatan mengenai besaran uang saku. Saat itu tak ada negosiasi yang rumit. Uang saku yang ia ajukan langsung disetujui. ”Sebulan sesudah menandatangani perjanjian kerja sama, uang saku itu sudah turun,” ­katanya.

Masalah justru datang dari KONI Kalimantan Timur, yang sempat menolak memberikan surat mutasi. Ketua Umum KONI Kalimantan Timur Zuhdi Yahya bertutur pihaknya berusaha menahan Eko dengan menawarkan berbagai fasilitas. ”Kalau hanya masalah materi, kami bisa berikan semuanya. Gubernur Kalimantan Timur Awang Fa­roek Ishak pernah menawarkan fasilitas rumah, mobil, dan pekerjaan asalkan Eko tetap di Kalimantan Timur, tapi dia menolak,” kata Zuhdi. Baginya, keputusan Eko itu terasa menyakitkan. ”Kami yang membina sejak awal, lalu sekarang sudah berada di puncak kok memilih pindah.”

Karena KONI Kalimantan Timur tak menerbitkan surat keputusan mutasi, Eko membawa masalah ini ke Badan Arbitrase Olahraga Republik Indonesia. Wakil Ketua KONI Jawa Timur Dhimam Abror Djuraid mengatakan badan arbitrase memang berwenang menentukan apakah seorang atlet bisa pindah ke daerah lain. KONI Jawa Timur akhirnya berhak atas Eko setelah membayar uang pembinaan ke Kalimantan Timur. ”Itu sudah ada standarnya dan resmi,” kata Abror. Zuhdi Yahya mengatakan badan tersebut memutuskan KONI Jawa Timur harus membayar Rp 300 juta.

Kompensasi untuk Eko itu diambil dari belanja PON yang didapat Jawa Timur dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah. Jumlahnya lumayan besar. Pada 2015, dana itu mencapai Rp 200 miliar dan tahun ini naik menjadi Rp 350 miliar. Dana itu dikucurkan pemerintah daerah demi mengejar ambisi menjadi juara umum, yang diraih pada PON 2008 tapi lepas pada PON 2012—Jawa Timur hanya berada di urutan ketiga di bawah DKI Jakarta dan Jawa Barat.

Eko bukan satu-satunya atlet yang ”dibajak” Jawa Timur untuk menghadapi PON 2016 ini. Menurut Dhimam, dalam dua tahun terakhir 15 atlet pindah ke Jawa Timur. Di antara mereka ada lima atlet boling dari Jawa Barat, yakni Oscar, Billy Muhammad Islam, Fachry Askar, Putri Astari, dan Tannya Roumimper. Beberapa dari mereka menjadi andalan Indonesia di Asian Games 2014.

Seperti Eko, perpindahan atlet boling juga tak mulus. ”Kami menolak permohonan mutasi mereka. Dalam surat, alasan keberatan kami adalah mereka sedang dipersiapkan untuk PON 2016,” kata Manajer Tim Boling Pelatda Jawa Barat Dhanny Suryana. Namun Dhanny akhirnya tak bisa berbuat apa-apa ketika badan arbitrase mengesahkan perpindahan itu.

Meski mendapatkan 15 atlet baru, Jawa Timur juga harus rela kehilangan beberapa atlet andalannya, seperti Gilang Maulana dan Dahlan Haruri dari cabang olahraga tenis meja. Ada juga Terry Kusumawardani dari cabang olahraga judo, Jatmiko dari cabang layar, Timotius Avent Jordan dari cabang senam, dan beberapa atlet lain. ”Ada delapan atlet yang pindah ke Jawa Barat,” kata Dhimam.

Sekretaris Umum KONI Jawa Barat M.Q. Iswara mengatakan perpindahan empat atlet ke Jawa Barat juga mendapat protes dari daerah lain. Keempatnya adalah perenang Glen Victor Sutanto dan Resa Kania Dewi, karateka Imam Tauhid Ragananda, serta atlet biliar Herowanto.

Perpindahan dan perebutan atlet memang sudah menjadi hal rutin setiap kali menjelang PON. Kementerian Pemuda dan Olahraga pun menganggap kondisi itu telah mencederai semangat fair play. ”Ini tidak adil bagi daerah yang sudah mengeluarkan biaya banyak untuk mencetak atlet tapi begitu sudah berprestasi 'dibeli' daerah lain,” kata Deputi Bidang Peningkatan Prestasi Olahraga Kementerian Pemuda dan Olahraga Gatot S. Dewa Broto.

Kementerian Olahraga berharap ada perubahan. Setelah PON 2016, kementerian ini akan berkomunikasi dengan KONI pusat untuk mengkaji ulang Surat Keputusan KONI Nomor 56 Tahun 2010 tentang Peraturan Mutasi Atlet dalam Rangka PON. ”Aturan itu harus diperketat. Untuk PON 2016, biarkan berjalan dulu karena ajang itu sudah di depan mata,” ujarnya.

Eko Yuli memilih tak terpengaruh soal suara miring tentang keikutsertaannya di PON. Namun ia juga berharap kesejahteraan atlet olimpiade dari berbagai cabang olahraga bisa lebih merata. ”Seperti atlet bulu tangkis. Mereka sudah mendapatkan kontrak Rp 1 miliar setahun. Nah, kalau sudah begitu, mereka tak perlu lagi turun di PON,” kata atlet kelahiran Lampung ini.

Eko berpendapat kepindahannya ke Jawa Timur justru berdampak pada prestasinya di Olimpiade. ”Buktinya, begitu pindah menjadi atlet Jawa Timur, prestasi Olimpiade saya naik,” ujarnya. ”Di Olimpiade 2012, saya mendapatkan perunggu. Di Rio tahun ini, perak. Di Tokyo 2020 nanti, saya ingin mendapatkan medali emas.”

Setelah meraih medali perak Olimpiade di nomor 62 kilogram putra, Eko dipastikan mendapat bonus Rp 2 miliar dari pemerintah serta bonus rumah dari Persatuan Angkat Berat, Binaraga, dan Angkat Besi Seluruh Indonesia. Di PON nanti, bila ia bisa mempertahankan emas yang diraihnya pada 2012, bonus lumayan juga menantinya. Jawa Timur mengiming-imingi Rp 250 juta untuk setiap peraih emas, terpaut cukup jauh dibanding DKI, yang menjanjikan Rp 1 miliar per keping emas. Gadi Makitan, Mohammad Syarrafah (Surabaya), Aminuddin A.S. (Bandung), Firman Hidayat (Samarinda)

Prosedur Mutasi Atlet PON(Berdasarkan Surat Keputusan KONI Nomor 56 Tahun 2010)

1. Atlet mengajukan surat permohonan mutasi ke klub atau pengurus kabupaten/kota federasi olahraga yang bersangkutan dengan tembusan ke KONI kabupaten/kota, pengurus provinsi federasi olahraga yang bersangkutan, dan KONI provinsi, dengan menyertakan surat keterangan pindah domisili dan fotokopi surat bukti alasan mutasi. Pengajuan mutasi ini harus diajukan selambat-lambatnya dua tahun sebelum PON.

2. Klub/pengurus kabupaten/kota federasi olahraga mengeluarkan surat rekomendasi prinsip mutasi.

3. Pengurus provinsi federasi olahraga yang bersangkutan mengeluarkan surat rekomendasi mutasi.

4. KONI provinsi menerbitkan surat keputusan mutasi.

5. Jika KONI provinsi menyetujui: atlet bermutasi.

6. Jika klub/pengurus kabupaten/kota atau KONI provinsi menolak atau tidak menerbitkan surat keputusan mutasi dalam jangka waktu 30 hari: atlet bisa mengajukan permohonan banding ke Badan Arbitrase Olahraga Republik Indonesia (BAORI).

7. BAORI memutuskan apakah atlet bisa pindah atau tidak. Jika tidak ada kesepakatan soal kompensasi yang harus dibayar KONI tujuan kepada KONI asal, BAORI juga bisa memutuskannya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus