SEKALIPUN sebagian besar skandal korupsi reboisasi terjadi di
luar Pulau Jawa, tidak berarti tanah ini luput dari ancaman
tandus. Mengapa reboisasi dan penghijauan tak digalakkan?
"Percuma," tukas Direktur Lembaga Ekologi Unpad, Prof. Dr. Otto
Sumarwoto. Ia menambahkan reboisasi di Pulau Jawa cuma akan
menyembuhkan gejala-gejalanya saja selama penyakit sebenarnya
belum bisa diobati.
Penyakitnya? "Petani kita lapar lahan," kata Sumarwoto.
Dilampauinya daya dukung lingkungan oleh kepadatan penduduk
menjadi penyebab utama rusaknya hutan.
Lembaga Ekologi Unpad, sepuluh tahun lalu mengadakan penelitian
tentang pemilihan lahan di Desa Sriharja, Kabupaten Bantul,
Yogya. Hasilnya: tiap orang di sana cuma punya 0,043 ha. Di
Kecamatan Gununghalu, yang termasuk areal dam Saguling, 1980,
pemilikan tanah di sana 0,073 ha per kepala. Dengan pertambahan
penduduk dan membesarnya pengangguran di desa, "lapar lahan" itu
semakin dahsyat. "Hebat sekali," kata Sumarwoto. Ia tak
menurunkan angka-angka baru, tapi "pasti lebih kecil dari
perhitungan lama".
Presiden Soeharto ketika meresmikan pabrik slab baja PT Krakatau
Steel, Februari lalu, mengungkapkan daftar petani lapar lahan di
Jawa: 11 juta orang memiliki lahan kurang dari 0,5 ha, 6 juta
lagi cuma punya lahan kurang dari 0,25 ha, dan 8 juta petani
bahkan tidak punya lahan sama sekali. Tidak heran bila
penyerobotan hutan untuk dijadikan lahan tetap tak
tertanggulangi.
Betapa kritisnya Pulau Jawa sekarang bisa dilihat dari rekaman
satelit Landsat tentang kerusakan hutan. "Pokoknya, sepanjang
teknologi dan cara pendekatan penduduk tidak tepat," kata Dr.
R.E. Soeriaatmadja dari Kependudukan & Lingkungan Hidup, "usaha
reboisasi dan penghijauan tak mungkin berhasil".
Ia juga menambahkan tanah kritis di Jawaada sekitar 30 juta ha.
Setiap tahunnya bertambah sekitar 150 ribu ha. Meskipun Pulau
Jawa sudah mulai dihijaukan sejak 1963, masalah ketandusan masih
tak teratasi. Sebabnya, antara lain, menurut Soeriaatmadja, kita
masih lemah dalam memotivasi rakyat.
Program penghijauan, misalnya, mengharuskan penduduk menanam
pohon lamtoro. Sedang mereka ingin menanam ubi jalar kedelai,
dan sebagainya. Tetapi karena menanam lamtoro wajib hukumnya,
mereka, pada hari upacara menanam pohon itu, tetap melakukannya.
Cuma yang mereka lakukan setelah itu yang bikin dongkol.
"Rakyat mencabuti lamtoro yang baru ditanam itu begitu pejabat
meninggalkan tempat upacara," kata Soeriaatmadja.
Dr. Ahmad Soemitro, dosen Jurusan Kehutanan UGM, Yogya, yang
kini dikontrak oleh USAID, melontarkan kritik pula: "Selama ini
yang kita pentingkan hanya pengawetan alam saja," katanya.
"Kurang mempertimbangkan soal penghidupan penduduk".
Soemitro menambahkan, hutan itu mempunyai tiga komponen
vegetasi: pohon sebagai tanaman atas, perlu sebagai tanaman
tengah, dan semak sebagai tanaman bawah. Untuk perdu, menurut
Soemitro, bisa ditanam pohon buah-buahan yang mempunyai nilau
ekonomis, dan semak bisa diganti rumput yang berguna untuk
ternak. "Berdasarkan pengalaman selama ini komponen untuk ternak
adalah yang terlemah," kau Soemitro.
"Reboisasi di Jawa tidak memecahkan masalah," kata Sumarwoto.
Ini akibat lapar lahan dan aparat pemerintah tidak mungkin
menjaga hutan yang begitu luas.
Lantas Sumarwoto mengeluarkan resepnya. Pertama, transmigrasi.
Meskipun jumlah transmigran jauh di bawah pertambahan penduduk,
menurut Sumarwoto, untuk jangka panjang okelah. Kedua,
pengurangan kepadatan petani. Ini, katanya, hanya bisa diatasi
dengan digalakkannya lapangan kerja sektor nonpertanian seperti
industri dan jasa. Ketiga, pendidikan penduduk pedesaan. Ini
yang belum ada.
Kalau usaha nonpemerintah semakin banyak, kata Sumarwoto, ini
bisa mengurangi nilai lahan sebagai simbol status. Dan lapar
lahan bisa ditiadakan.
Sumarwoto menambahkan, rehabilitasi hutan jangan dipandang dari
masalah kehutanan semata. "Hendaknya jadi masalah pembangunan
pedesaan," katanya. Strategi reboisasi yang tadinya mengarah ke
investasi modal dan tenaga dalam penanaman pohon, harus diubah
ke penanaman modal dalam pembangunan pedesaan. "Ini berarti
menciptakan lapangan kerja nonpertanian di desa," tambah
Sumarwoto.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini