Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Lingkungan

Lapar Lahan Di Swarnadwipa

Lahan kritis di P. Jawa makin meluas, akibat gagalnya reboisasi dan penghijauan, dan dilampuinya daya dukungan lingkungan oleh kepadatan penduduk yang menjadi penyebab rusaknya hutan. (ling)

7 Mei 1983 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SEKALIPUN sebagian besar skandal korupsi reboisasi terjadi di luar Pulau Jawa, tidak berarti tanah ini luput dari ancaman tandus. Mengapa reboisasi dan penghijauan tak digalakkan? "Percuma," tukas Direktur Lembaga Ekologi Unpad, Prof. Dr. Otto Sumarwoto. Ia menambahkan reboisasi di Pulau Jawa cuma akan menyembuhkan gejala-gejalanya saja selama penyakit sebenarnya belum bisa diobati. Penyakitnya? "Petani kita lapar lahan," kata Sumarwoto. Dilampauinya daya dukung lingkungan oleh kepadatan penduduk menjadi penyebab utama rusaknya hutan. Lembaga Ekologi Unpad, sepuluh tahun lalu mengadakan penelitian tentang pemilihan lahan di Desa Sriharja, Kabupaten Bantul, Yogya. Hasilnya: tiap orang di sana cuma punya 0,043 ha. Di Kecamatan Gununghalu, yang termasuk areal dam Saguling, 1980, pemilikan tanah di sana 0,073 ha per kepala. Dengan pertambahan penduduk dan membesarnya pengangguran di desa, "lapar lahan" itu semakin dahsyat. "Hebat sekali," kata Sumarwoto. Ia tak menurunkan angka-angka baru, tapi "pasti lebih kecil dari perhitungan lama". Presiden Soeharto ketika meresmikan pabrik slab baja PT Krakatau Steel, Februari lalu, mengungkapkan daftar petani lapar lahan di Jawa: 11 juta orang memiliki lahan kurang dari 0,5 ha, 6 juta lagi cuma punya lahan kurang dari 0,25 ha, dan 8 juta petani bahkan tidak punya lahan sama sekali. Tidak heran bila penyerobotan hutan untuk dijadikan lahan tetap tak tertanggulangi. Betapa kritisnya Pulau Jawa sekarang bisa dilihat dari rekaman satelit Landsat tentang kerusakan hutan. "Pokoknya, sepanjang teknologi dan cara pendekatan penduduk tidak tepat," kata Dr. R.E. Soeriaatmadja dari Kependudukan & Lingkungan Hidup, "usaha reboisasi dan penghijauan tak mungkin berhasil". Ia juga menambahkan tanah kritis di Jawaada sekitar 30 juta ha. Setiap tahunnya bertambah sekitar 150 ribu ha. Meskipun Pulau Jawa sudah mulai dihijaukan sejak 1963, masalah ketandusan masih tak teratasi. Sebabnya, antara lain, menurut Soeriaatmadja, kita masih lemah dalam memotivasi rakyat. Program penghijauan, misalnya, mengharuskan penduduk menanam pohon lamtoro. Sedang mereka ingin menanam ubi jalar kedelai, dan sebagainya. Tetapi karena menanam lamtoro wajib hukumnya, mereka, pada hari upacara menanam pohon itu, tetap melakukannya. Cuma yang mereka lakukan setelah itu yang bikin dongkol. "Rakyat mencabuti lamtoro yang baru ditanam itu begitu pejabat meninggalkan tempat upacara," kata Soeriaatmadja. Dr. Ahmad Soemitro, dosen Jurusan Kehutanan UGM, Yogya, yang kini dikontrak oleh USAID, melontarkan kritik pula: "Selama ini yang kita pentingkan hanya pengawetan alam saja," katanya. "Kurang mempertimbangkan soal penghidupan penduduk". Soemitro menambahkan, hutan itu mempunyai tiga komponen vegetasi: pohon sebagai tanaman atas, perlu sebagai tanaman tengah, dan semak sebagai tanaman bawah. Untuk perdu, menurut Soemitro, bisa ditanam pohon buah-buahan yang mempunyai nilau ekonomis, dan semak bisa diganti rumput yang berguna untuk ternak. "Berdasarkan pengalaman selama ini komponen untuk ternak adalah yang terlemah," kau Soemitro. "Reboisasi di Jawa tidak memecahkan masalah," kata Sumarwoto. Ini akibat lapar lahan dan aparat pemerintah tidak mungkin menjaga hutan yang begitu luas. Lantas Sumarwoto mengeluarkan resepnya. Pertama, transmigrasi. Meskipun jumlah transmigran jauh di bawah pertambahan penduduk, menurut Sumarwoto, untuk jangka panjang okelah. Kedua, pengurangan kepadatan petani. Ini, katanya, hanya bisa diatasi dengan digalakkannya lapangan kerja sektor nonpertanian seperti industri dan jasa. Ketiga, pendidikan penduduk pedesaan. Ini yang belum ada. Kalau usaha nonpemerintah semakin banyak, kata Sumarwoto, ini bisa mengurangi nilai lahan sebagai simbol status. Dan lapar lahan bisa ditiadakan. Sumarwoto menambahkan, rehabilitasi hutan jangan dipandang dari masalah kehutanan semata. "Hendaknya jadi masalah pembangunan pedesaan," katanya. Strategi reboisasi yang tadinya mengarah ke investasi modal dan tenaga dalam penanaman pohon, harus diubah ke penanaman modal dalam pembangunan pedesaan. "Ini berarti menciptakan lapangan kerja nonpertanian di desa," tambah Sumarwoto.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus