Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Selama 22 detik, ada sepotong dangdut menyelip di album terbaru Adele, 25. Tak ada kendang, tak ada suling, pada 2 menit 28 detik, lagu Send My Love (To Your New Lover) mendadak hanya berisi petikan gitar dengan alur bas khas dangdut, yang sangat merangsang orang bergoyang.
Riff dangdut ini mengiringi Adele Adkins, MBE, 27 tahun, berdendang: No we ain't kids no more/I'm giving you up/I've forgiven it all/You set me free. Percayalah, penggemar dangdut pasti merasa bahwa cengkok ÂAdele pun sangat merasuk membuai. Setelah 2 menit 50 detik, perkusi elektronik kembali masuk membawa dominasi hip-hop menenggelamkan petikan dangdut, yang sebenarnya juga sudah ada sejak intro, tapi lamat-lamat saja di latar belakang.
Kepada The New York Times, Adele memberikan catatan menarik tentang riff itu, yang tentu saja tak dia sebut sebagai dangdut. "Saya sudah memakainya sejak umur 15 tahun," tuturnya. Adele merampungkan rekaman Send My Love dengan basis dangdut ini hanya dalam satu hari.
Itu sungguh cepat mengingat proses produksi25sempat tersendat. Seharusnya 25 meluncur ke pasar pada 2013, saat Adele berusia 25 tahun. Tapi bisa jadi penundaan itu lebih karena alasan komersial ketimbang kesulitan proses produksi. Penjualan album Adele sebelumnya, 21, masih sangat laris. Ribuan cakram digital ataupun unduhan masih terjual setiap pekan, total sudah 30 juta hingga sekarang.
Tak hanya secara komersial, 21 meraih pula begitu banyak apresiasi kualitas. Ada tujuh hadiah Grammy plus belasan penghargaan lain dari Inggris, Jerman, Polandia, Prancis, Kanada, hingga Meksiko. Daftar sukses ini juga harus menyebutkan Golden Globe dan Piala Oscar. Adele berhasil mendapatkan apresiasi tertinggi di dunia film ini karena lagu tema film James Bond, Skyfall.
Di tengah puncak gemerlap inilah Adele memilih rehat. Walhasil, kejelasan kapan 25 selesai turut menghilang. Yang jelas, Adele melahirkan Angelo pada 2012, setelah tinggal bersama dengan pacarnya, Simon Konecki. Semenjak itu, Adele praktis berhibernasi menjadi ibu. Ia menaruh tato nama Angelo di tangannya, belajar mengemudi, hingga mengurus cucian sendiri.
Ini tak lazim, seorang artis yang sedang berada di puncak keberhasilan karier ataupun perolehan komersial malah memilih menghilang. Atau bisa jadi Adele mengambil logika sebaliknya, setelah melesat begitu hebat, apa salahnya sedikit rebahan menikmati keberhasilan. Orang menaksir kekayaannya sudah lebih dari 50 juta pound sterling. "Banyak orang marah, tapi itu baik buat saya," katanya kepada The ÂGuardian tentang masa hibernasinya itu.
Selama mengambil cuti panjang itu, banyak musikus berupaya menyeret keluar Adele untuk kembali berkreasi, tanpa hasil. Phil Collins cuma bisa mengeluh, Adele seperti ikan kecil yang licin. Bob Geldof, yang ingin mengajaknya dalam konser Band Aid 30, bahkan tak berhasil menemuinya.
Maka, ketika 25 akhirnya beredar, 20 November lalu, banyak orang terperangah dan senang. Adele sudah kembali. Tak sekadar muncul lagi, Adele masuk ke pasar dengan gegap-gempita. Dalam tempo sepekan, 25 langsung menggebrak rekor penjualan. Di Amerika Serikat saja 25 terjual 3,38 juta keping CD dan kopi unduhan digital, menurut data Nielsen Music. Di Inggris, setidaknya penjualan 25 melampaui sejuta salinan.
Sukses ini begitu mencengangkan karena industri musik sedang bergelut melawan perubahan zaman. Belakangan ini, suka tak suka, musikus harus menjual kreasinya melalui jasa streaming, seperti Spotify atau iMusic milik Apple, jika ingin meraih basis penggemar yang luas. Spotify, misalnya, punya 75 juta pengguna dan 20 juta pelanggan. Maraknya streaming membuat penjualan musik secara fisik berupa cakram digital ataupun unduhan kopi digital anjlok luar biasa. Dalam setahun, pada 2000, sekitar 700 juta keping CD terjual. Tapi tahun lalu hanya 247 juta, itu pun sudah termasuk CD dan kopi unduhan digital.
Bagi musikus, perubahan teknologi dan kebiasaan konsumen ini merupakan musibah finansial. Jasa streaming membayar royalti sangat murah. Spotify, misalnya, hanya membayar royalti 10 sen per Âstreaming. Sebaliknya, penjualan CD maupun unduhan digital menghasilkan royalti lumayan. Misalnya, ongkos mengunduh 25 lewat iTunes di Amerika adalah US$ 10,99, sepertiganya akan menjadi royalti.
Adele berani mendobrak tekanan perubahan ini dengan menunda penjualan 25 melalui streaming, entah sampai kapan. Sejauh ini 25 hanya tersedia dalam bentuk CD atau unduhan digital. Analis dan kritikus musik mencibir strategi ini sebagai hal yang bodoh dan ketinggalan zaman.
Nyatanya, 25 mencapai hasil luar biasa. Sepanjang sejarah, hanya ada 20 album yang bisa laku lebih dari sejuta kopi dalam sepekan. Lebih dahsyat lagi, belum pernah ada album yang terjual lebih dari 3 juta salinan dalam sepekan seperti 25.
Jadi apa rahasia sukses itu? Yang jelas, Adele tak ingin 25 menjadi produk asal jadi dengan jurus mumpung lagi laris. Adele tak segan merombak ulang komposisinya ketika produser terkenal Rick Rubin memberi komentar buruk. Seperti di 21, Adele menulis setiap lagu secara kolaborasi dengan komposer lain. Ia mengajak musikus terkemuka, seperti Bruno Mars, hingga mitra yang relatif belum terkenal dan ia temukan setelah mencari di Internet, Tobias Jesso Jr.
Yang juga menonjol, 25 sangat berfokus menjual Adele dan kualitas vokalnya, kerap berupa teriakan serak dengan penjiwaan sangat dalam. Sampul album 25, hanya close-up penuh wajah Adele, seolah-olah menegaskan fokus itu.
Demikian pula komposisi, tata suara, dan aransemennya yang meletakkan vokal Adele di atas segalanya. Penata suara dengan cerdik meletakkan musik pengiring benar-benar di latar belakang. Tak ada perkusi, biola, cello, ataupun gitar yang tampil ke depan. Di hampir semua lagu, suara instrumen musik teredam dengan baik oleh efek gaung sehingga vokal Adele yang sangat seksi falsetonya kian dominan.
Tak ada pula interlude atau jeda tema di dalam lagu yang menampilkan solo salah satu alat musik. Kalau toh ada Âinterlude, itu pendek saja dan cuma progresi akor atau suara penyanyi latar yang mengisinya, lamat-lamat saja tak mengentak.
Tema lagu-lagu 25 juga tepat sasaran, umumnya wanita berusia 25-44 tahun yang mapan dan punya daya beli. Tak banyak beda dengan 21, Adele banyak bercerita tentang bagaimana mengatasi patah hati karena cinta. Namun, dalam 25, ÂAdele terasa lebih kuat bahkan mengolok-olok mantan pacar yang mencampakkannya seperti dalam lagu Send My Love yang bernuansa dangdut tadi.
Mengulang formula Someone Like You, salah satu lagu dalam 21 yang fenomenal, Adele juga banyak menyanyi dengan iringan piano semata, seperti All I Ask atau Remedy. Ada pula Love in the Dark yang mengandalkan dominasi piano dengan hiasan string section yang indah. Sedangkan di Hello, yang tampaknya menjadi jagoan utama, ada kompromi. Tetap piano yang dominan sejak intro, tapi kemudian berbagai instrumen lain masuk turut meramaikan.
Piano memang menjadi andalan di 25. Tapi, di Sweetest Devotion, Adele tampil meriah, dengan irama folk-rock Irlandia ala The Corrs. Cintanya yang luar biasa kepada Angelo sepertinya tercurah habis dalam lagu ini.
Mungkin kebetulan, pola aransemen When We Were Young di 25 mempunyai kesamaan dengan So Far Away di Tapestry, karya fenomenal Carole King pada 1971. Di sini akor piano bergelut dengan alur bas yang melodik, dengan warna suara khas ala Fender Jazz Bass yang bulat utuh.
Apakah 25 karya Adele Adkins akan sama dahsyatnya dengan Tapestry milik Carole King? Di luar urusan komersial, rasanya 25 belum sehebat itu. Yang jelas, para musikus sungguh bergembira menyambut keberhasilan Adele, sang pembawa rezeki ke tengah industri yang sedang dalam nestapa melawan perubahan zaman.
Yopie Hidayat
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo