Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Malang - Tim Program Kreativitas Mahasiswa Riset Eksakta (PKM-RE) Universitas Brawijaya di Malang meneliti pemanfaatan limbah bulu ayam sebagai penyerap sekaligus pengganti warna limbah industri.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Tim itu beranggotakan Muhammad Alfan Nurdin dan Ridho Pambudi dari Fakultas Peternakan, serta Sherina Yasmin Valeria, Kamila Rohadatul Aisy, dan Nancya Ayu Pratmaning Putri dari Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (MIPA).
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Lima sekawan itu membuat sebuah penelitian bertajuk “Potensi Keratin dari Bulu Ayam sebagai Adsorben Zat Warna Biru Metilena Berbasis Spektrofotometri FTIR”, dengan dosen pembimbing Mulia Winirsya Apriliyani.
“Penelitian kami bertujuan menemukan bahan adsorben yang berbahan dasar organik, dengan menggunakan prinsip waste for waste, seperti keratin dari limbah bulu ayam,” kata Ridho kepada Tempo, Kamis siang, 29 Juli 2021.
Program Kreativitas Mahasiswa Riset Eksakta (PKM-RE) Universitas Brawijaya di Malang meneliti pemanfaatan limbah bulu ayam sebagai penyerap sekaligus pengganti warna limbah industri. Kredit: Universitas Brawijaya
Menurut Ridho, sebagian besar limbah bersumber dari buangan air proses produksi, sisa-sisa pelumas dan minyak, bahan-bahan kimia sisa proses produksi, dan sampah potongan kain. Pengelolaan limbah cair tekstil pascaproduksi ditujukan untuk menghilangkan atau mereduksi kadar bahan pencemar sehingga limbah cair industri memenuhi syarat untuk dapat dibuang.
Ia menjelaskan, zat warna yang digunakan dalam industri tekstil merupakan pewarna sintetik. Umumnya limbah zat warna dari industri tekstil merupakan pewarna sintetik yang berupa senyawa organik non-biodegradable alias tidak dapat diurai secara hayati.
Limbah tekstil merupakan limbah cair berkadar warna tinggi dan pekat, yang sukar didegradasi di alam sehingga dapat menimbulkan penyakit karena bersifat karsinogenik (memicu kanker) dan mutagenik alias dapat menyebabkan mutasi genetik dan mempengaruhi reproduksi.
Limbah zat warna tekstil jadi perhatian khusus Ridho dan kawan-kawan lantaran struktur aromatik pada zat warna sulit terdegradasi di alam dan menghasilkan efek toksikologi (beracun). Selain itu, sebagian besar zat warna dibuat agar mempunyai resistensi terhadap pengaruh lingkungan seperti efek pH (derajat keasaman), suhu, dan mikroba.
Salah satu zat warna yang lazim dan paling banyak digunakan dalam industri tekstil adalah methylene blue atau metilen biru. Metilen biru pun galib digunakan dalam industri percetakan dan plastik, seperti untuk mewarnai kertas, pewarna rambut, kain katun, dan wol.
Kontaminasi oleh metilen biru dapat mengakibatkan iritasi pada saluran pencernaan manusia jika tertelan, menimbulkan sianosis (kulit membiru akibat sel darah merah kekurangan oksigen, terutama di area bibir dan jari tangan) jika terhirup, dan menimbulkan iritasi kulit jika bersentuhan dengan kulit. Senyawa ini juga dapat menyebabkan luka bakar pada mata hingga membutakan penglihatan manusia dan satwa.
“Karena itu kami berupaya menghilangkan bau dan kadar metilen biru dengan memakai pewarna alami dan ramah lingkungan. Teknik menghilangkannya pakai metode adsorpsi atau penyerapan. Cara ini lebih efisien, ekonomis, dan sederhana,” kata Ridho, mahasiswa semester 7.
Ridho dan kawan-kawan mempelajari bahwa pelbagai adsorben seperti tanah liat aktif dan karbon aktif, karbon nanotube (CNT), polimer dan zeolit sudah banyak digunakan menyerap dan menggantikan metilen biru. Masalahnya, bahan adsorben ini berharga mahal dan sukar diperoleh.
Maka, tim Ridho memilih limbah bulu ayam sebagai bahan penyerap pewarna metilen biru. “Bahan penyerap dari bulu ayam bisa digunakan bertahun-tahun dan bahan bakunya sangat gampang didapat dengan harga murah, malah bisa dapat gratisan,” ujar Ridho.
Penggunaan limbah bulu ayam juga ditujukan untuk mengurangi volume sampah. Berdasarkan data BPS 2019 diketahui limbah bulu ayam jenis broiler lebih dari 200 juta ton. Limbah bulu ayam biasanya berbau busuk dan jadi sumber penyebaran penyakit.
Padahal limbah bulu mengandung protein 60-80 persen, dengan protein kasar sebanyak 80-91 persen dari bahan kering, lemak kasar 7,79 persen, dan serat kasar 0,88 persen. Protein bulu ayam juga mengandung keratin, yaitu protein alami yang dapat ditemukan pada bulu, rambut, kulit, kuku, dan tanduk. Kadar keratin pada protein bulu ayam mencapai 85-95 persen. Nah, keratin inilah yang dimanfaatkan sebagai adsorben.
Ridho dan kawan-kawan mulai meriset penggunaan limbah bulu ayam yang sudah diekstraksi sejak Juni lalu. Semua tahapan riset dipusatkan di Laboratorium Kimia Fisik MIPA Universitas Brawijaya.
Peralatan yang dipakai antara lain beberapa peralatan kaca, pH meter, neraca analitik, oven, termometer, corong buchner, shaker, magnetic stirrer, tapisan 100 mesh, Spektrofotometer Uv-Vis dan spektrofotometer FTIR. Spektrofotometer FTIR merupakan sebuah teknik yang didasarkan pada penentuan dari interaksi antara radiasi sinar inframerah dan sampel yang dapat berupa padatan, cair, atau gas. Alat ini mengukur frekuensi di mana sampel melakukan penyerapan dan intensitas penyerapannya.
Selain bulu ayam, bahan lain yang dibutuhkan antara lain larutan hydrochloric acid (Hcl) alias asam klorida, akuades, aseton, dan zat warna biru metilena.
“Bulu ayam yang kami aplikasikan ternyata mampu menyerap zat warna metilen biru pada limbah industri tekstil. Keberhasilan ini tampak pada perubahan air yang tadinya berwarna biru karena kandungan metilen biru berubah menjadi sedikit jernih,” kata Ridho.
Ridho dan kawan-kawan bertekad menyempurnakan hasil penelitian untuk dapat diaplikasikan secara komersial, bekerja sama dengan industri tekstil. Saat ini tim Ridho ingin mengajukan hasil riset mereka ke sebuah jurnal ilmiah.