Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Film

Selamat Datang Buku Sastra Anak Indonesia!

18 Juli 1999 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Adakah karya Indonesia masa kini yang layak dibaca? Inilah dua karya sastra anak Indonesia yang terbit tanpa ribut-ribut, tanpa promosi yang gencar sehingga tak dikenal banyak orang. Siti danAisah, Pergi ke Istana Dewi Lanjar sesungguhnya adalah dua dari 20 judul buku yang ditulisnya. Tetapi, seperti diutarakannya, dua buku inilah karya asli tulisannya, sementara buku-buku lainnya adalah cerita rakyat yang diceritakan kembali.

Siti dan Aisah adalah dua karya Rahmah Asa yang layak untuk dibaca dan dibahas dengan serius sebagaimana halnya karya sastra karena kedalaman cerita dan penggalian tema yang dipilihnya. Setelah era Arswendo Atmowiloto, C.M. Nas, dan Soekanto S.A. pada 1970-an, pada 1990-an telah lahir (hanya) seorang penerus: Rahmah Asa.

SITI
Penulis: Rahmah Asa
Penerbit: PT Lazuardi
Ilustrasi: Nugroho Anggoro
Penerbit: Lazuardi

Kebahagian tidak harus kasatmata. Siti berakhir dengan telanjang, basah, dan mati. Tetapi ia bahagia karena berkumpul kembali dengan ayah dan ibunya di akhirat.

Terlalu muramkah kisah kematian untuk anak-anak?

Bagi Rahmah Asa, "dengan kematian Siti, 'hidup' menjadi bahagia".

Inilah cerita sastra anak (Indonesia) yang terbaik yang pernah saya baca sejak dua dasawarsa lalu. Ditulis dengan bahasa yang sederhana tapi toh terampil dan dengan ilustrasi yang penuh warna dan simbolis, Siti, yang cuma setebal 22 halaman itu, adalah buku yang menggetarkan.

Syahdan, Siti diperkenalkan Rahmah Asa sebagai anak yatim piatu yang sangat miskin. Dia ditampilkan sebagai anak perempuan yang hanya memiliki baju kebaya dan sepasang sandal di kakinya. Tetapi, dengan milik yang minim itu, Siti adalah anak yang periang dan pantang mengeluh. Ia bahkan tak meratap ketika rumahnya digusur dan melihat perubahan itu sebagai sebuah "keindahan yang menggantikan keburukan". Saat ia berjalan menyusuri pinggir kota, bertutur-turut sandal-bajunya diminta oleh anak-anak gelandangan di jalan. Ia tak juga mengeluh. Dan tibalah saat ia disiram hujan deras dalam keadaan telanjang hingga akhirnya ia mengembuskan napasnya. Siti akhirnya berbahagia di pelukan ibu dan ayahnya di akhirat.

Kisah yang agak mengingatkan kita pada Si Gadis Korek Api karya klasik Hans Christian Andersen ini memperlihatkan kematian sebagai sesuatu yang alamiah dan tak perlu diratapi. Kematian adalah sebuah "karunia" karena roh orang tercinta itu akan dekat di sisi-Nya.

Puisi-puisi tentang bola, burung, dan alam sekitarnya yang sederhana itu memberi rangsangan estetika kepada pembaca anak-anak karena buku sastra anak bukan sekadar mencoba memberi petuah. Siti memberikan sebuah makna tentang alam semesta dan isinya, tentang keberadaan Tuhan, secara implisit dan tanpa khotbah.

Ilustrasi Nugroho Anggoro, yang penuh warna—bergantian dengan halaman dengan ilustrasi hitam-putih—juga dikerjakan dengan serius dan simbolis. Ia cukup melukis seorang anak gelandangan yang mengenakan sepatu Siti dan sepotong kaki Siti yang telanjang untuk menunjukkan sebuah adegan welas asih sang anak.

Siti adalah karya sastra anak-anak yang patut dibaca anak-anak kita.

AISAH, PERGI KE ISTANA DEWI LANJAR
Penulis : Rahmah Asa
Ilustrasi : Doni

Nun di Laut Utara adalah Dewi Lanjar, sang penguasa. Ke sanalah Aisah kecil mengembara mencari Nenek Dasri, pengasuh tua yang hampir seperti pengganti ibunda yang telah meninggal. Aisah mencari dan menyusuri hidup karena ia tak bisa mengerti mengapa sejak ia dipelihara keluarga bibinya, Nek Dasri "dikembalikan" ke kampungnya di kaki Gunung Slamet.

Di jalan-jalan, di pinggir laut, ia mendengar suara-suara yang entah dari mana asalnya memanggil-manggil namanya. Ia tertarik ke sebuah pusaran, ia melihat "tangan-tangan manusia bertumpuk..., busuk, bersilang-silang, menggapai-gapai lemah ke arahnya". Tangan-tangan yang memiliki mata, kembang mawar yang berbentuk bibir tebal, dan wajah-wajah yang meleleh copot dari tubuhnya ganti-berganti menghalangi perjalanannya. Pengalaman demi pengalaman kelabu itu mengingatkan kita pada lukisan Salvador Dali, meski ilustrator Doni tampaknya tidak berpretensi ingin berkutat dalam dunia surealis. Namun, setiap adegan karyanya menyajikan gambar-gambar yang menampilkan kekuatan alam bawah sadar. Salah satu adegan yang mengharukan adalah saat pada akhir mimpi buruknya, Aisah menemukan Nek Dasri dalam situasi mengenaskan. Bersama beberapa orang lain, ia mengepel dengan kaki yang dirantai. Namun Aisah tak mampu menembus tembok kaca yang menghalanginya.

Mimpi memang sebuah fenomena umum yang sudah dikenal anak-anak, dan kepahitan kisah ini tentu saja menjadi sah karena mengisahkan sebuah mimpi buruk. Mungkin tak mudah menikmati buku ini sebagai hiburan belaka. Tetapi, bukankah fungsi utama buku, selain untuk menghibur, adalah untuk memperkaya batin?

Leila S. Chudori

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum