TAK ada salahnya bila pengusaha real estate dan pemilik tambak udang di pantai utara Jawa mencoba belajar dari pengalaman seorang awam, seperti Fadil Rachman. Mungkin dengan sedikit belajar nafsu mereka membabat hutan bakau -- hingga timbul masalah, seperti kasus Pantai Indah Kapuk dan Teluk Naga -- bisa diredam. Tapi siapa Fadil Rachman? Dia adalah kakek berusia 73 tahun yang tinggal di kampung Dahari Selebar, Asahan, Sumatera Utara. Dengan modal dan tenaga sendiri, kakek yang tampak bugar ini berhasil menumbuhkan hutan bakau yang sudah punah. Berkat jerih payah yang dirintisnya sejak 18 tahun silam, kampungnya tak sampai ditelan ombak. Hutan bakau 50 hektare yang dikembangkan Fadil -- seluas hutan lindung di Pantai Indah Kapuk yang harus dipertahankan PT Mandara Permai -- telah melindungi Dahari Selebar dari abrasi pantai. Dan penduduk seharusnya berterima kasih kepada Fadil. Usaha membakaukan pantai juga pernah dilakukan Dinas Kehutanan di Denpasar. Tapi membakaukan pantai seorang diri barulah dilakukan oleh Fadil yang pensiunan mantri pertanian itu. Ia mulai menanam bakau pada tahun 1974. Waktu itu hutan bakau sudah lenyap dan air laut sempat menggerus sebagian desa hingga penduduk terpaksa pindah. Air asin ini sedikit demi sedikit juga mematikan kehidupan penduduk. Air tawar sukar diperoleh sebab dikalahkan rembesan air asin. Penduduk juga tak dapat mengandalkan kebun kelapa lantaran tak ada lagi hasilnya. Namun mereka tak begitu saja menyerah, termasuk Fadil yang 1,5 hektare kebun kelapanya amblas. Lahan yang tersisa tetap mereka olah. Fadil sendiri menernakkan bandeng. Tapi air laut lebih perkasa. Gempuran ombak akhirnya membocorkan dasar tambak. Saat itu penduduk mulai putus asa. Hidup terasa semakin tak nyaman karena angin laut yang panas kerap menerbangkan atap rumah mereka. Fadil menyadari musibah itu bersumber dari pantai yang terkikis gara-gara hutan bakau punah. Kakek 10 cucu ini lalu mencoba menanam mata buaya (Sonneratia alba) yang tumbuh subur di pinggir Sungai Kiri. Lebih sering disebut bidara, mata buaya bersama bakau (Rhizopora) dan api-api (Avicennia), semuanya termasuk keluarga bakau. Untuk dijadikan bibit, Fadil mencabut 30 anakan mata buaya lalu ditanam di lahan bekas kebun kelapanya. Ternyata anakan mati semua. Fadil lalu mengubah teknik mengambil anakan. Kali ini tanaman tak dicabut, tapi dibongkar bersama tanah dan akar-akarnya, dimasukkan dalam plastik hitam, baru ditanam. Usaha ini pun belum membawa hasil. Berbekal ilmunya di pertanian, ia mencoba memperbanyak tanaman dengan biji. Dua ratus biji ditanam dalam empat baris dengan jarak tiga meter. Kali ini berhasil. Mata buaya itu tumbuh subur. Pohonnya mulai berbuah pada usia tiga tahun. Fadil yang sudah pensiun meluangkan waktunya untuk merawat tanaman keras tersebut. Yang tumbuh terlalu rapat dijarangkan dan dipotong dahannya. Tanpa usaha terlalu keras, mata buaya ini meluas sendiri. Untuk memperkaya ragam hutan bakau itu Fadil juga menanam jenis teruntun dan nereh. Lahan hijau 1,5 hektare itu kini meluas sepanjang pantai sampai 50 hektare. Tak pelak lagi, hutan buatan yang ditanam Fadil memperluas hutan bakau di pantai timur Sumatra Utara, yang kini diperkirakan 60 ribu hektare. Dengan rumpun bakau itu pula kampung Dahari Selebar berubah wajah. Tak ada lagi atap rumah yang terbang karena tiupan angin. Udara yang panas pun kembali sejuk. Abrasi pantai tak perlu lagi dikhawatirkan sebab ada tameng hijau. Keuntungan lain yang mungkin tidak diperhatikan penduduk adalah bahwa pantai mereka terbebas dari pencemaran. Soalnya, akar bakau mampu menyaring kotoran, bahkan sanggup menyerap unsur logam berat, seperti air raksa. Pohon-pohon tersebut lalu menciptakan habitat bagi satwa. Pelbagai jenis burung berdatangan ke sana, mulai dari punai, merbuk, ranggung, dan bangau. Dulu ketika bakau punah, satwa-satwa itu pun enyah. Kini mereka berbondong kembali dan kotorannya menyuburkan tanah, sehingga mengundang pertumbuhan plankton yang baik untuk makanan ikan dan udang. Keuntungan lain mengalir secara tak terduga ke kantong Fadil. Tahun 1988 sebuah perusahaan tambak udang, PT Bahari Perca Makmur, berminat membeli kayu mata buaya yang ber diameter 15 senti. Kayu yang kuat ini dipakai untuk menyangga pematang tambak yang baru dibangun. Dari 1.000 batang, Fadil bisa mengantongi Rp 1 juta. Dua tahun lalu sebuah perusahaan lain membeli 300 batang kayu. Itulah penjualan "skala besar" yang merupakan sukses komersial bagi Fadil. Selebihnya, penjualan kecil-kecilan kepada penduduk setempat membawa uang tambahan baginya. Tiap orang boleh membeli sebanyak-banyaknya sepuluh batang. Karena terbatas, penjualan bulanan ini tidak mengganggu laju pertumbuhan bakau yang tetap saja berkembang biak. Namun jerih payah Fadil selama 18 tahun kini terancam. Dua perusahaan tambak udang yang menguasai separuh lahan (100 hektare) kampung Dahari Selebar diduga akan memperluas tambaknya. Kalau itu sampai terjadi maka lahan di belakang rumah Fadil, yang rapat ditumbuhi pohon mata buaya, mungkin akan terbabat juga. Memang tameng hijau itu kini masih di sana, tapi sewaktu-waktu akan sirna kalau tak diamankan oleh pemerintah daerah. Diah Purnomowati dan Mukhlizardy Mukhtar (Medan)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini