SERATUS ekor bibit ikan piranha berwarna perak itu tidak tampak menyeramkan. Apalagi besarnya hanya 3 sentimeter. Tapi Sabtu pekan lalu, petugas Stasiun Karantina Ikan di Bandara Soekarno-Hatta, Jakarta, membunuhnya dengan zat pengawet formalin. Itulah tindakan yang ditunggu-tunggu banyak pihak. Awal September lalu seratus bibit piranha itu diselundupkan oleh M. Shiraishi, seorang warga Jepang. Shiraisi kabarnya akan membawanya ke Bandung untuk diserahkan kepada pihak pemesan. Untunglah petugas bandara berhasil menyitanya dan menyerah kannya kepada Stasiun Karantina Ikan. Mengapa harus dimusnahkan? Piranha merupakan maut di dalam air. Ia akan melahap makhluk air lainnya, bahkan juga makhluk darat, termasuk manusia, yang kebetulan bernasib sial. Di negeri asalnya yakni di Amerika Selatan -- Sungai Amazon, misalnya, ia amat ditakuti. Dalam bahasa teknis, piranha dikenal dengan istilah serrasalmo natterari. Adakalanya disebut caribe atau piraya. Ia termasuk famili serrasalmidae. Hidup di daerah tropis bersuhu 23-30 derajat Celsius. Selain tergolong hewan pemangsa daging (cornivora), piranha mampu berkembang biak dengan cepat. Pertumbuhannya pun cepat. "Sewaktu disita sebulan lalu, piranha yang diselundupkan Shiraishi hanya berukuran sekitar 1,5 sentimeter. Sekarang sudah 3 sentimeter," tutur Agus Priono, Kepala Stasiun Karantina Ikan. Nah, apa jadinya bila ada orang iseng melepas ikan ganas itu ke sungai atau danau di Indonesia? Makanya, bibit selundupan itu harus dimusnahkan. Menurut Zulkifli Djangkaru, peneliti senior di Balai Penelitian Perikanan Darat, Bogor, ada sekitar 20 spesies piranha. Dan yang diimpor Shiraishi termasuk jenis ser rasalmus rhombeus atau silver dollar karena warnanya putih keperakan. Sosoknya seperti ikan tawes, tapi rupanya buruk. Yang paling besar berukuran 60 sentimeter. Namun gigi-gigi di mulutnya kuat bagaikan baja. Bila deretan gigi di rahang atas dan bawah dikatupkan, maka daging sekeras apa pun akan koyak. Itu sebabnya orang Indian di pedalaman benua Amerika Selatan konon memanfaatkannya sebagai mata anak panah. Keganasannya pernah dilukiskan lewat film Piranha, yang ditayangkan di sini tahun 1982. Film ini memperlihatkan dua pemuda terjun ke kolam berisi piranha. Tibatiba terdengar jeritan mereka. Air kolam yang semula biru berubah menjadi merah. Dan dua anak muda itu koyak-moyak. Bukan cerita bohong bila seekor kuda yang jatuh ke tengah gerombolan piranha akan menjadi tulang-belulang dalam beberapa detik saja. Itu kata Zulkifli Djangkaru. Kaki bangau yang lengah bisa buntung dibuatnya, ini menurut literatur. Sebelas tahun lalu Lembaga Penelitian Perikanan Darat Bogor pernah menguji kehebatan empat piranha yang dimasukkan ke akuarium. Ketika ikan dicemplungkan, sekejap saja tinggal durinya. Tatkala ayam disodorkan, nasibnya pun sama. Banyak negara melarang masuknya ikan pranha. Indonesia sejak 1973 pun sudah melarangnya melalui Peraturan Dirjen Perikanan yang diperkuat Surat Keputusan Menteri Pertanian tahun 1982. Di situ juga disebutkan larangan memelihara piranha. Di berbagai pelabuhan udara internasional dibentuk karantina untuk menyeleksi ikan-ikan yang tak boleh masuk atau keluar. Namun usaha penyelundupan masih saja ada. Contohnya, empat ekor piranha yang dites keganasannya oleh Lembaga Penelitian Perikanan Darat tadi. Keempatnya termasuk kelompok sepuluh piranha selundupan yang disita di Bandara Halim Perdanakusumah pada tahun 1981. Ada juga penduduk yang diamdiam memperdagangkan atau memeliharanya. Polisi Malang sebelas tahun silam memergoki seorang penjual ikan hias yang menyembunyikan piranha di akuariumnya. Seorang pengusaha di Medan baru-baru ini mengaku pernah melihat kawannya memelihara piranha di rumahnya. Itu yang ketahuan. Yang lolos dari bandara atau tersembunyi di rumah-rumah atau di akuarium penjual ikan mungkin masih banyak. Penyebabnya, menurut Iman Sardjono -- ia bicara tahun 1982 ketika masih menjabat Dirjen Perikanan -- sanksi hukum terhadap penyelundupan ikan itu belum ada (setidaknya hingga tahun 1982). Sepanjang dekade 1980-an, bisnis ikan piranha memang ramai. Di Jalan Thamrin, Medan, umpamanya, berderet akuarium berisi piranha yang dijajakan. Kabarnya, itu piranha selundupan dari Singapura. Tapi sekarang, kata seorang pedagang ikan hias di sana, yang ada hanya "ikan kayu-kayu" yang bentuknya mirip piranha. Di Jakarta, 1982, harian Kompas mengungkap adanya seorang pedagang ikan hias yang pernah membawa 100.000 (seratus ribu) piranha dari Singapura -- ketika itu negeri ini memang tak melarang penjualan piranha secara bebas. Bila dijual ratarata Rp 20 ribu (harga pasaran waktu itu), keuntungan jelas lumayan karena harga beli di Singapura hanya Rp 10 ribu. Itu dulu. Sekarang ada Undang-Undang Nomor 16 Tahun 1992 tentang karantina hewan, ikan, dan tumbuhan. Di situ disebutkan, siapa yang melanggar akan dikenai sanksi pidana maksimal tiga tahun penjara atau denda Rp 150 juta. Tugas Balai Karantina pun bertambah. Dulu cuma menyita keluar-masuknya ikan tertentu, sekarang berhak melakukan penyidikan tindak pidana terhadap pelakunya. Bila berpegang pada undang-undang tadi, M. Shiraishi mestinya ditahan lantas diajukan ke pengadilan. Tapi, menurut Agus Priono, ia boleh bebas berkeliaran. Ada yang tak beres? "Kami belum bisa melaksanakan undang-undang tersebut karena belum ada petunjuk pelaksanaannya," kata Agus. Waduh! Priyono B. Sumbogo, Bambang Sujatmoko, dan Taufik Abriansyah
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini