SEPERTI apakah wayang orang 20 tahun yang akan datang seandainya masih hidup? Mungkin kostumnya berubah, cara perang disesuaikan dengan zaman, dan panggung pertunjukan didesain seperti dalam film Star Trek. Siapa tahu. Yang jelas, seni pertunjukan tradisional itu berubah. Kemungkinan yang lain punah. Apa pun yang terjadi, bila orang ingin melihat bentuk aslinya diperlukan satu konservasi. Konservasi itulah yang belakangan ini dilakukan oleh UNESCO. Lembaga PBB yang bergerak di bidang pendidikan, ilmu, dan kebudayaan ini tentu saja tak cuma ingin menyimpan wayang orang, tapi semua seni pertunjukan tradisional di dunia yang diancam kepunahan, atau setidaknya mengalami perubahan bentuk yang menyebabkan akan sulit dilacak lagi aslinya. Maka Divisi Seni dan Kebudayaan UNESCO, bagian dari lembaga PBB itu, mengadakan pertemuan di Yogyakarta, berakhir 26 September lalu. Hadir dalam Pertemuan Internasional Pembentukan Koleksi Video UNESCO tentang Seni Pertunjukan Tradisional itu sekitar 30 orang dari berbagai bidang yang berkaitan dengan upaya itu: pakar seni pertunjukan tradisional, produser TV, dan wakil berbagai lembaga kebudayaan. Perubahan atau kepunahan seni pertunjukan tradisional itu, kata Madeleine Gobeil, Direktur Divisi Seni dan Kebudayaan UNESCO, memang sebuah keniscayaan. Sebabnya antara lain penetrasi teknologi komunikasi massa audio visual yang kini bisa mencapai mana pun sampai ke pelosok desa. Siaran televisi, sebagai contoh, yang susunan acaranya sangat diarahkan pada selera kota -- dan demikianlah umumnya siaran televisi di mana pun -- lambat atau cepat mengubah standarisasi sikap, cara hidup, cara berpakaian, dan penilaian estetik penontonnya. Maka tak cuma orang di kota lebih ingin menonton film silat Saur Sepuh daripada pertunjukan ketoprak. Kemasan kebudayaan massa, film itu, memang lebih agresif dan mudah ditelannya. Perang dalam film itu lebih seru, bukan saja realistis tapi fantastis: hantaman tenaga dalam yang merobohkan pohon-pohon dan kelitan sang jagoan menghindari puluhan anak panah yang menyerangya. Sementara itu diperlukan suatu daya imajinasi untuk merasakan serunya perang tanding antara Panembahan Senapati dan Aryo Penangsang di panggng ketoprak. Hal yang juga diperlukan untuk merasakan kedigdayaan Gatotkaca yang menyambar-nyambar musuh, sedangkan wayang kulit itu tetap saja cuma digoyang goyang oleh ki dalang di geber (layar wayang). Profesor Soedarsono, Gurubesar Tari Institut Seni Indonesia Yogyakarta, yang ikut dalam pertemuan itu punya data menarik. Pada tahun 1960-an ia masih mencatat adanya 30 tempat pertunjukan wayang orang yang setiap malam dipenuhi penonton. Kini, tahun 1992, ia hanya tahu tiga gedung wayang orang yang masih melakukan aktivitasnya dengan jumlah penonton yang memprihatinkan. Yakni Wayang Orang Sriwedari di Surakarta, Wayang Orang Ngesti Pandawa di Semarang, dan Wayang Orang Bharata di Jakarta. "Mereka sudah cukup senang kalau tempat duduk terisi lima puluh orang," katanya. Sebenarnya UNESCO sudah membuat model untuk proyek ini, yakni rekaman Langen Mandra Wanara dan sendra tari Ramayana. Langen Mandra Wanara atau Wenaran merupakan opera Jawa yang diciptakan di Keraton Yogyakarta di akhir abad ke-19, terakhir kali dipertunjukkan sesuai dengan aslinya pada tahun 1930. Opera Jawa yang bercerita tentang kisah Ramayana ini di tahun 1970-an pernah pula digelar di Pusat Kesenian Taman Ismail Mar zuki, Jakarta, oleh mahasiswa dan dosen Akademi Seni Tari Yogyakarta. Tapi itu pun sudah tak lagi mencerminkan Wenaran yang asli. Misalnya, tempo pertunjukan sudah dikemas sesuai dengan penonton masa kini yang tak lagi punya banyak waktu. Pihak UNESCO merekam Langen Mandra Wanara di Prancis pada tahun 1990 dengan melakukan pergelaran yang diusahakan seautentik mungkin. "Rekaman Langen Mandra Wanara dan Ramayana inilah yang menjadi inspirasi bagi UNESCO untuk mengoleksi seni pertunjukan tradisional," ujar Gobeil. Lalu apa saja yang layak dikonservasikan? Itulah yang dibicarakan dalam pertemuan empat hari itu. Akhirnya diputuskan bahwa seni tradisional yang diprioritaskan adalah seni pertunjukan tradisional yang masih bisa dipergelarkan dalam bentuk aslinya, dan yang sudah hampir punah. Profesor Soedarsono mengusulkan 22 seni pertunjukan tradisional yang perlu diprioritaskan untuk direkam, yang terdiri dari 14 seni pertunjukan tradisional Jawa-Bali, dan 8 dari daerah lainnya. Tapi hingga pertemuan berakhir, forum ini belum bisa memutuskan seni pertunjukan tradisional mana saja yang akan direkam. Masalah ini akan diselesaikan oleh Konsorsium dan Komisi Teknik. Tentu saja rekaman seni pertunjukan tradisional itu dimaksudkan sebagai dokumentasi sejarah kebudayaan. Yang direkam dalam film 16 mm bukan hanya pertunjukannya. Akan dimasukkan juga aspek sejarah, sosial, dan budayanya, entah berupa narasi, atau rekaman hidup sehari-harinya seorang dalang wayang kulit, misalnya, lengkap dengan suasana lingkungan tempat tinggalnya. Kaset video rekaman direncanakan dilengkapi dengan buku yang berisi penjelasan aspek-aspek pertunjukan itu. Yaitu aspek musiknya, koreografinya, dramanya, dan lain sebagainya. Pihak UNESCO optimistis bahwa hasil rekaman akan bisa dipasarkan, hingga upaya ini tak tergantung sponsor sama sekali. Lembaga PBB ini kabarnya menyediakan dana hanya US$ 50.000, biaya produksi selebihnya akan diminta dari sponsor. Soal hak cipta, pembagian keuntungan, dan lain-lain masih akan dibicarakan. Tampaknya itu memang bukan proyek "uang hilang". Sudah ada contoh bagai mana rekaman seperti itu bisa laris. Japan Victor Company, sebuah perusahaan elektronik besar di Jepang, sudah terlebih dulu membuat rekaman video seni pertunjukan tradisional. Memang belum selengkap dan seselektif seperti yang direncanakan oleh UNESCO, tapi hasil rekamannya ternyata banyak diminati. Dalam empat tahun JVC membuat 500 rekaman seni pertunjukan berbagai bangsa, antara lain 14 seni pertunjukan dari Indonesia. Per kaset, terdiri dari 30 seni per tunjukan, dijual US$ 1.200 dan ternyata cukup laris. Pembelinya adalah kalangan universitas, perpustakaan, museum, dan lembaga kebudayaan di Jepang, karena sebagian besar masih edisi bahasa Jepang. Belum semuanya dibikin dalam versi Inggris. Bila UNESCO sukses dengan proyek ini, tampaknya tak cuma lalu seni pertunjukan tradisional terawetkan dalam rekaman. Siapa tahu, karena yang asli sudah di rekam, ini memberanikan grup-grup itu mencoba yang baru untuk menarik peminat. Selama ini di satu pihak orang menduga grup-grup itu tak punya kemampuan mencoba hal baru, di pihak lain ada keengganan pada mereka yang ingin menyumbangkan ide pada seni pertunjukan tradisional. Mereka khawatir dicap merusakkan tradisi. R. Fadjri & Bambang Bujono
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini