Pelebaran jalan dengan mengikis bukit batu cadas dilakukan oleh para pemahat. Lebih murah dan tidak merusak lingkungan. PEMAHAT ternyata tak hanya mampu menghasilkan patung, tapi juga jalan. Merekalah yang mengerjakan sebagian ruas jalan di Silaing, kawasan cagar alam Lembah Anai, Sumatera Barat. Jalan yang semula jadi biang kerok kemacetan dan kecelakaan itu kini lebarnya 13 meter. Dua kali lebih lebar dibandingkan sebelum para pemahat itu beraksi. Kerja yang dilakukan pemahat ini memang bukan di jalan, tapi di dinding yang membatasi jalan. Dinding dari batu cadas selama ini jadi halangan pelebaran jalan yang panjangnya hanya 500 meter. Akibatnya, jalan sempit dan berliku-liku naik turun ini merupakan kawasan leher botol yang menjengkelkan para pengemudi. Semula, kalau kendaraan umum lewat sana, sang kernet terpaksa turun untuk memberi aba-aba datangnya kendaraan dari atas dan bawah agar tak terjadi senggolan di tikungan. Karena sempitnya jalan, penumpang dipersilakan bersabar sebab kendaraan harus lewat bergantian di tanjakan. Padahal, jalan itu merupakan lintas terpadat di Sumatera Barat. Diperkirakan, sekitar 12 ribu kendaraan dari Padang ke Bukittinggi dan sebaliknya lalu-lalang tiap harinya. Masalah ini bukannya tidak mendapat perhatian pemda. Sudah lama mereka memikirkan pelbagai upaya memperlebar jalan itu, tapi masalah ini tidak gampang. Selain bukit batu menghadang di sebelah kiri, jurang sedalam 40 meter menganga di sisi lainnya. Di dasar jurang menanti sungai dan rel kereta api untuk pengangkutan tebu, lengkap dengan terowongannya. Bukit batu cadas bisa saja segera meruntuhkan dengan meledakkannya memakai dinamit, tapi risikonya sungguh besar. Getaran- nya bisa meruntuhkan juga terowongan kereta tebu. Yang lebih gawat, tanah di jurang ikut luruh. Maka, rel kereta api dan sungai yang mengalir bisa tersumbat dan menghantam apa saja. Pemecahan masalah lain adalah dengan membangun jalan layang atau setengah layang. Namun, dengan konstruksi baja dan beton, jalan seperti ini membutuhkan biaya sampai Rp 3 milyar. Jelas, usul ini ditolak oleh Menteri Pekerjaan Umum karena tidak feasible untuk jalan yang panjangnya hanya setengah kilometer itu. Gubernur Azwar Anas- kini Menteri Perhubungan- juga pernah mengundang beberapa eksekutif sebuah perusahaan permobilan ke sana, tapi masalah ruwet ini tak bisa juga mereka pecahkan. Jawaban ternyata datang dari pejabat pemda sendiri. Itu terjadi setelah Kakanwil PU Sum-Bar Sabri Zakaria, yang dilantik akhir 1989, langsung merasakan masalah itu ketika sebulan setelah dilantik meninjau lokasi dan terperangkap di sana. Hujan lebat yang turun membuat kendaraannya harus merayap hampir tiga jam di jalur sempit itu. Masalah serupa pernah dialaminya ketika ia bertugas di Bengkulu. Untuk membangun saluran irigasi Majunto, Air Lais, dan Air Nokan, ada bagian yang harus melewati bukit batu cadas. Bukit keras ini ternyata menyerah di tangan para pemahat. Mereka sengaja didatangkan dari Jawa Barat dan Yogya. Sebagian yang dari Yogya adalah pemahat di sekitar Candi Borobudur. Para pemahat ini pulalah yang dipanggil untuk menaklukkan batu cadas di Lembah Anai. Munasrip, misalnya, adalah keturunan pemahat Candi Borobudur, tapi keahlian tersebut tak dikuasainya. Malah, ilmu membelah batu yang kini dipahaminya benar. Berbekal ilmu itu, sejak muda ia hijrah dari Yogya ke Lampung, Bengkulu, dan kini di Padang. Pengalaman bertahun-tahun bergaul dengan batu membuat para pemahat itu bisa mengenal serat-serat batu. Peralatan yang mereka butuhkan tidak mahal. Hanya pahat, baji (besi baja tajam untuk membelah batu), linggis, dan martil. Namun, selain itu, juga dibutuhkan keberanian. Sifat ini dibutuhkan karena untuk memahat batu cadas di Lembah Anai yang kemiringannya sampai 60-70 derajat, mereka harus menggantungkan hidupnya pada seutas tali. Pahat dan baji sepanjang 10 sentimeter yang ditetakkan pada serat batu akan mudah membelah batu tersebut. Hanya dengan beberapa kali pukulan martil seberat dua kilogram, dinding batu cadas rengkah dan bisa dijatuhkan. Mulai April tahun lalu, kawasan Silaing digarap oleh 20 pemahat. Enam bulan lamanya mereka berkutat dan berhasil mengikis 3.000 m3 dinding batu cadas. Dinding batu sekarang tampak terpangkas rapi. Ruas jalan sempit itu terbebas dari kecelakaan dan kemacetan. Pos khusus polantas, yang empat tahun lalu dibangun untuk mengatasi mobil yang kerap mogok atau masuk jurang di sana, kini tak diperlukan. "Memang pengerjaannya agak lama, tapi biaya dan risikonya kecil sekali. Selama pekerjaan berlangsung pun lalu lintas hampir tak terganggu," ujar Sabri Zakaria. Biaya yang dihabiskan untuk pelebaran jalan ini Rp 390 juta, yaitu Rp 250 juta untuk upah para pemahat dan sisanya untuk biaya pengaspalan. Setelah sukses melebarkan tikungan Silaing, Kanwil PU Sumatera Barat kini beralih ke jalan raya Padang-Painan sepanjang 70 kilometer. Sebagian ruas jalan itu, yaitu Padang-Bungus yang panjangnya 16 kilometer, mempunyai kondisi serupa dengan Silaing. Padahal, ruas jalan ini penting untuk menunjang arus wisata ke Pantai Bungus, Pantai Carolina, dan Sungai Pisang. Belum lagi adanya depot Pertamina di ruas jalan ini, yang membuat banyak truk lalu-lalang di sana. Saat ini, ruas jalan tersebut sedang digarap oleh 20 pemahat. Lima puluh pemahat lainnya akan menyusul. Tampaknya, pemangkasan bukit cadas ini merupakan lapangan kerja baru untuk para pemahat itu. Sepinya pesanan menyebabkan mereka belakangan membuat juga batu gilingan cabai, lesung batu, dan batu nisan, dengan upah kecil. Kini keahlian ini bisa memberinya Rp 15 ribu dari semeter kubik batu yang bisa dipangkas. Tampaknya, masih banyak pekerjaan menanti mereka di sepanjang pantai barat Sumatera yang dilalui Bukit Barisan ini. Fachrul Rasyid H.F. dan Diah Purnomowati
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini