Gaji dan Rasa Kecukupan SOETJIPTO WIROSARDJONO MULAI tanggal satu bulan depan, gaji pegawai negeri, ABRI, dan pensiunan naik. Alhamdulillah. Siapa tidak senang. Tanpa menagih, tidak menuntut, gaji pun disesuaikan. Pemerintah pun memenuhi janjinya. Dulu, Presiden berkata, kalau keadaan keuangan negara memungkinkan, insya Allah gaji pegawai akan diperhatikan. Inilah enaknya jadi pegawai negeri. Tanpa mogok atau menuntut. Gaji, kersaning Allah, menyesuaikan diri sendiri. "Bagaimana perasaan Bapak selaku pegawai negeri, tatkala gaji naik?" tanya wartawan pada Mas Sugimin, segera setelah Pemerintah mengumumkan berita suka-cita itu. "Saya bersyukur. Biar gaji tak naik pun saya masih tetap merasa beruntung. Pemerintah memperhatikan pengabdian saya. Tiap pagi dan sore saya menyeruak di antara gelombang manusia berebut pintu bis kota. Sekadar meraih peluang. Mengejar waktu agar bisa datang di kantor dan pulang sampai di rumah, pada waktunya. Jerih payah itu tak sia-sia. Gusti Allah tidak buta." Mas Gimin mensyukuri nikmat hidupnya berlandasan ngelmu bejo. Ilmu untung. "Tetapi, Pak, kenaikan itu cuma 15%? Apa bisa menutup ketekoran kenaikan harga karena inflasi selama tiga tahun terakhir?" Wartawan itu mengejar dengan pertanyaan. Dalam perasaan Mas Gimin, anak muda ini bukan bertanya. Tetapi dia sedang mencari gara-gara. Seraya hendak menyangkut-nyangkutkan namanya. "Jangankan l5%. Sepuluh kali dari itu, kalau menurut maunya berita, saya seyogyanya menjawab tidak cukup. Tetapi nyatanya sebelum gaji naik pun, hidup saya rasanya biasa-biasa saja. Menderita? Saya dibesarkan dalam kebudayaan penderitaan. Tirakat. Ajaran agama saya pun menganjurkan hidup hemat dan prasaja. Buat saya, rumah satu cukup, biar nyicil. Motor satu pun sanggup, biar dekil. Baju Korpri atau seragam senam satu pun memadai. Malah rasanya mubazir. Karena jarang saya pakai." Mas Gimin jujur dengan falsafah hidupnya. "Sebaliknya, pembesar kenalan saya. Beliau memang lain. Rumah lima, belum cukup. Karena anaknya ada enam. Istri satu, kurang. Buktinya, di samping ada simpenan, ia suka nyabet kiri dan kanan. Mobilnya yang lima dirasa selalu ketinggalan zaman. Di kantor pun kerjanya rajin membuka-buka tawaran kendaraan keluaran terakhir dari merek-merek kesukaannya. Beliau memang penganut ngelmu kasampurnan. Perasaannya selalu diliputi serba ketidakcukupan. Jangankan gaji. Uang dinas pun, yang kadang kala beliau rasa bebas mengutip, rasanya masih kurang juga. Akibatnya, beliau sekarang dirongrong jantungan. Padahal, beliau juga abdi negara, seperti saya. Siapa yang lebih menderita? Allah Mahaadil dan Mahabijaksana. Itulah hikmah ngelmu bejo saya." Mas Gimin menggoda wartawan yang mewawancarainya. Ia pun tahu, jawaban yang begini tak bisa menjadi berita. "Tetapi dengan gaji senilai sekarang, apa Bapak sudah menganggap adil? Coba bayangkan. Orang dengan kecakapan dan kemampuan setara Bapak di perusahaan swasta dengan mudah mendapatkan imbalan sepuluh kalinya." Wartawan muda itu rupanya tidak putus asa. Ia merasa masih akan bisa membuat Mas Gimin mengutuk nasibnya. Kalau itu yang terjadi, baru bernilai sebuah berita. Karena good news is no news. "Pegawai negeri itu abdi negara dan abdi masyarakat. Tatkala bekerja, semangatnya bukan nagara abdi jeung masyarakat abdi. Karena itu, tatkala negara mengatakan hemat, abdi ya siap hemat. Bukan tatkala abdi merasa kurang, negara harus nombok. Ketika masyarakat mengharapkan sama-sama menenggang kekurangan mereka, abdi juga harus siap berkurang-kurang." Mas Gimin masih tetap menjawab dengan semangat patriotik seorang birokrat. "Apa semua abdi negara seperti Bapak semangatnya? Apa Pak Sugimin makan kemenyan dan berumah di awang-awang? Andaikan ya, apa kami bisa berharap semua pegawai negeri hanya cukup makan angin dan berselimut mega? Sehingga kenaikan gaji tak penting bagi mereka. Kalau begitu, 'duwit kurang doyan, kerja seperti kesetanan' apa mesti menjadi motto tambahan pegawai negeri?" Wartawan muda itu mulai tidak sabar. Mana ada pegawai negeri seperti Mas Gimin. Kalau begitu tak perlu ada waskat, wasnal, atau was-was yang lain. "Kenaikan gaji penting. Tetapi bukan segala-galanya. Karena seperti saya bilang. Biar naik 150%, misalnya, kalau semangat- nya kurang nrimo, ilmunya ngelmu sampurno, tetap saja akan nalongso. Tidak ada hubungan antara tingginya gaji dan rasa kecukupan. Buktinya, kejadian penyimpangan anggaran dan penyalahgunaan kekuasaan justru banyak dilakukan oleh orang yang sudah bergelimang uang. Di pemerintahan ataupun di luar pemerintahan. Bahkan kalau boleh, saya berani berspekulasi. Di kantor dan jabatan yang basah, kantor pemerintahan maupun swasta yang melimpah-ruah, tingkat penyimpangan keuangan malah menjadi lebih parah." Mas Sugimin berteori. Ia mengeluarkan rekapitulasi laporan kotak pos lima ribu. Di situ tercatat bahwa lebih banyak kasus yang ditemui justru di instansi-instansi yang mengelola dana khusus dan atau memiliki anggaran dalam jumlah yang bagus. Wartawan itu pun putus asa untuk mengorek berita. Akhirnya, ia minta Mas Sugimin menulis kolom saja.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini