ANCAMAN hukuman berat bagi pelaku kejahatan senjata api gelap
lagl-lagi kandas dl persidangan. "Kami memang tidak menerapkan
undang-undang itu secara mutlak kepada Gepeng," ujar Hakim Setyo
Harsoyo. Alasannya, ancaman hukuman mati atau seumur hidup atau
20 tahun penjara seperti tertera dalam Undang-Undang Darurat
1951 itu tidak pas lagi dengan keadaan. "Kini situasi dan
kondisi negara kita tenang darl damai," ujar hakim itu. Arti
nya, katanya, ancaman senjata gelap itu sendiri tidak perlu
ditakutkan.
Sebelum Gepeng, sudah puluhan tertuduh disidangkan gara-gara
menguasai atau mempergunakan senjata api secara tidak sah. Tapi,
hampir semua selamat dari ancaman hukuman berat, kecuali mereka
yang menggunakannya untuk merampok.
Ketua Umum Pemuda Pancasila, Yapto, dua tahun lalu, ditangkap
Operasi Sapujagat karena terbukti menyimpan senjata api. Tapi
kemudian ia bebas. Senjata itu ternyata "pernah ada izinnya."
Hanya saja yang bersangkutan tidak sempat menyerahkan senjatanya
itu ketika Sapujagat dilancarkan.
Pelaku yang sampai menembak orang pun, bahkan, bisa luput dari
ancaman hukuman mati undang-undang itu. Enam tahun lalu, seorang
mahasiswa UKI, Iwan Maulana Setiawan, terbukti menembak Bambang
Heru. Penyebabnya hanya soal kebut-kebutan di jalan. Tapi hakim
T.M. Abdullah hanya menghukum anak perwira tinggi Angkatan Laut
itu dengan hukuman 5 tahun penjara (TEMPO, 2 April 1977).
Setahun kemudian justru T.M. Abdullah kena perkara: hakim itu
terbukti menembak mati Robert Glen Jerry. Tapi, seperti juga
Iwan, Abdullah hanya kena 4 tahun 6 bulan penjara (TEMPO, 4
Maret 1978).
Perkara lain menyangkut Harris bin Ali Murtopo. Pemuda itu
terbukti menembak Rudy Chaidir. Tapi ia dilepaskan hakim dari
tuntutan hukum. Soalnya Pembela Albert Hasibuan berhasil
membuktikan bahwa perbuatan Harris, sejak mengambil pistol
sampai menembak, tak lain sebagai upaya membela diri (TEMPO, 17
Desember 1977).
"Hukuman percobaan" sering pula dijatuhkan hakim untuk kasus
serupa. Agus Aditono, putra Kadapol Metro Jaya Widodo Budidarmo,
waktu itu, terbukti menembak sopirnya, Sutjianto. Tapi pelajar
SMP itu hanya dihukum 1 tahun dengan masa percobaan 2 tahun.
Sebabnya, menurut hakim, anak itu masih di bawah umur (TEMPO, 11
Desember 1973).
Sedangkan bekas Ketua Mahkamah Agung, Frof Oemar Seno Adji,
membenarkan bahwa di negara tetangga, seperti Singapura dan
Malaysia, ancaman hukuman mati untuk kasus serupa sering
dilaksanakan. Kenapa di negara kita tidak? "Saya tidak mau
mempersoalkan. Itu kebebasan hakim," ujar guru besar Pidana
FH-UI itu. Hakim, menurut Oemar, dalam kebebasannya harus
mempertimbangkan jenis kejahatan, pribadi pelaku, serta keadaan
masyarakat.
Pembela Albert Hasibuan, yang sukses dalam membela Harris dan
Yapto, sependapat dengan Oemar. Tapi, seperti diakuinya, selama
ini hakim lebih condong mempertimbangkan pribadi pelaku
ketimbang kebutuhan masyarakat. "Seharusnya ada keseimbangan
antara kedua pertimbangan itu," ujar Wakil Ketua Komisi III DPR
itu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini