Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Cuma berat di pasal

Beberapa kasus kejahatan menyimpan senjata api dengan hukumannya. gepeng divonis 3 bulan. (hk)

24 September 1983 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

ANCAMAN hukuman berat bagi pelaku kejahatan senjata api gelap lagl-lagi kandas dl persidangan. "Kami memang tidak menerapkan undang-undang itu secara mutlak kepada Gepeng," ujar Hakim Setyo Harsoyo. Alasannya, ancaman hukuman mati atau seumur hidup atau 20 tahun penjara seperti tertera dalam Undang-Undang Darurat 1951 itu tidak pas lagi dengan keadaan. "Kini situasi dan kondisi negara kita tenang darl damai," ujar hakim itu. Arti nya, katanya, ancaman senjata gelap itu sendiri tidak perlu ditakutkan. Sebelum Gepeng, sudah puluhan tertuduh disidangkan gara-gara menguasai atau mempergunakan senjata api secara tidak sah. Tapi, hampir semua selamat dari ancaman hukuman berat, kecuali mereka yang menggunakannya untuk merampok. Ketua Umum Pemuda Pancasila, Yapto, dua tahun lalu, ditangkap Operasi Sapujagat karena terbukti menyimpan senjata api. Tapi kemudian ia bebas. Senjata itu ternyata "pernah ada izinnya." Hanya saja yang bersangkutan tidak sempat menyerahkan senjatanya itu ketika Sapujagat dilancarkan. Pelaku yang sampai menembak orang pun, bahkan, bisa luput dari ancaman hukuman mati undang-undang itu. Enam tahun lalu, seorang mahasiswa UKI, Iwan Maulana Setiawan, terbukti menembak Bambang Heru. Penyebabnya hanya soal kebut-kebutan di jalan. Tapi hakim T.M. Abdullah hanya menghukum anak perwira tinggi Angkatan Laut itu dengan hukuman 5 tahun penjara (TEMPO, 2 April 1977). Setahun kemudian justru T.M. Abdullah kena perkara: hakim itu terbukti menembak mati Robert Glen Jerry. Tapi, seperti juga Iwan, Abdullah hanya kena 4 tahun 6 bulan penjara (TEMPO, 4 Maret 1978). Perkara lain menyangkut Harris bin Ali Murtopo. Pemuda itu terbukti menembak Rudy Chaidir. Tapi ia dilepaskan hakim dari tuntutan hukum. Soalnya Pembela Albert Hasibuan berhasil membuktikan bahwa perbuatan Harris, sejak mengambil pistol sampai menembak, tak lain sebagai upaya membela diri (TEMPO, 17 Desember 1977). "Hukuman percobaan" sering pula dijatuhkan hakim untuk kasus serupa. Agus Aditono, putra Kadapol Metro Jaya Widodo Budidarmo, waktu itu, terbukti menembak sopirnya, Sutjianto. Tapi pelajar SMP itu hanya dihukum 1 tahun dengan masa percobaan 2 tahun. Sebabnya, menurut hakim, anak itu masih di bawah umur (TEMPO, 11 Desember 1973). Sedangkan bekas Ketua Mahkamah Agung, Frof Oemar Seno Adji, membenarkan bahwa di negara tetangga, seperti Singapura dan Malaysia, ancaman hukuman mati untuk kasus serupa sering dilaksanakan. Kenapa di negara kita tidak? "Saya tidak mau mempersoalkan. Itu kebebasan hakim," ujar guru besar Pidana FH-UI itu. Hakim, menurut Oemar, dalam kebebasannya harus mempertimbangkan jenis kejahatan, pribadi pelaku, serta keadaan masyarakat. Pembela Albert Hasibuan, yang sukses dalam membela Harris dan Yapto, sependapat dengan Oemar. Tapi, seperti diakuinya, selama ini hakim lebih condong mempertimbangkan pribadi pelaku ketimbang kebutuhan masyarakat. "Seharusnya ada keseimbangan antara kedua pertimbangan itu," ujar Wakil Ketua Komisi III DPR itu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus