Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Karawang – Sejumlah pria berjalan beriringan membawa gerobak berisi sesajen. Dirah, yang berjalan paling depan memimpin iring-iringan itu. Deburan ombak laut membuat suara pria itu tak terdengar jelas. Namun ucapan amin dari sejumlah pria di belakangnya menunjukkan jika Dirah sedang berdoa.
Gerobak itu nampak sederhana untuk sebuah ritual tolak bala. Tak banyak sayuran, buah dan ikan yang ada di atasnya. Namun di dalam gerobak yang dihias seadanya itu, terdapat dua kepala hewan, yaitu satu kepala kerbau dan satu kepala kambing. Sebuah tumpeng kecil, satu buah kelapa, satu tempayan dan dua batang dupa disusun sedemikian rupa dalam ayakan bambu.
Saat iring-iringan tiba di depan Kantor Desa Cemarajaya, Kecamatan Cibuaya, Dirah memimpin orang-orang menurunkan muatan dalam gerobak. Ia membawa bungkusan kain putih berisi kepala kerbau dan kambing mendekat ke lubang di tanah yang sudah dipersiapkan sebelumnya. Doa-doa pun dipanjatkan. Tak lama kemudian, kepala kerbau dan kambing itu dikubur di depan kantor desa, yang hanya dipisahkan jalan kecil dengan Pantai Pisangan.
Ritual tolak bala itu dilakukan pada Selasa, 3 September 2019. Saat itu, Pantai Pisangan dan pesisir Karawang lainnya sedang ditimpa musibah. Bau seperti minyak tanah menyeruak dari lautan. Sudah sebulan lebih, para nelayan tak ada yang menangkap ikan. Mereka sibuk di darat, hilir mudik mengangkut karung berisi pasir pantai yang tercampur oil spill yang kental.
Musibah diperparah dengan banjir rob beberapa hari sebelumnya, rumah-rumah yang sudah dibersihkan dari ceceran minyak kembali dimasuki ombak yang turut membawa gumpalan oil spill. “Ritual itu diharapkan bisa menjadi tolak bala dari segala musibah saat itu. Sekaligus menebus dosa kepada alam dan laut,” kata Yonglim Supardi, yang saat itu menjadi Kepala Desa. Bagi masyarakat pesisir, laut dianggap bisa mengamuk.
***
Sama seperti warga pesisir, ada yang meyakini, laut bisa bisa marah jika dicemari bahkan tersinggung saat dikotori. Seakan tidak terima diperlakukan begitu, laut sanggup mengembalikan apa saja ke daratan, misalnya sampah hingga minyak mentah. Entah benar atau tidak laut bisa tersinggung, namun faktanya, di pesisir kerap ditemui sampah -terutama plastik- tercecer dibawa arus.
"Laut tersinggung tak dikenal dalam sains," kata Noir Purba, peneliti dari Departemen Kelautan Universitas Padjadjaran kepada Tempo, pekan lalu.
Menurut Noir, fakta soal sampah yang dikembalikan ke daratan oleh laut merupakan hukum alam dalam sebuah sistem oseanografi. Noir menjelaskan, saat sampah di sungai terbawa ke tengah laut, secara alamiah, gerakan arus, angin, dan ombak turut membawa sampah-sampah itu kembali ke daratan.
“Sampah yang dibuang di suatu tempat dapat kembali ke daratan di wilayah lain melalui arus dan angin yang berlangsung alamiah,” kata Noir. Imbasnya, daerah pesisir kerap menjadi tempat akhir sampah yang dibuang manusia.
Hal itu terlihat di beberapa wilayah pantai utara Karawang. Pemandangan berbagai sampah plastik di pantai hingga dermaga kapal dan desa nelayan lazim ditemui. Ada bungkus mi instan, botol air kemasan, hingga popok dan bekas pembalut wanita. Sampah semacam itu juga nampak tersangkut di antara akar-akar pohon mangrove.
Kondisi tersebut menurut Noir akan terus terjadi selama manusia membuang sampah plastik sembarangan. “Persoalan marine debris atau sampah laut adalah salah satu dosa besar manusia,” ujar Noir.
Menurut Noir, sejak revolusi industri tahun 1820, peradaban manusia telah menghasilkan sampah yang melebihi ambang batas. “Dan masyarakat percaya bahwa alam itu mampu menyelesaikan masalah manusia. Ternyata terbukti tidak benar. Alam tidak dilihat sebagai satu kesatuan dengan manusia, itu fatal,” kata Noir.
Penggunaan plastik sekali pakai yang tidak bertanggung jawab telah membuat laut semakin krisis. Parid Ridwanuddin, Manajer Kampanye Pesisir dan Laut, Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Nasional mengungkapkan, setiap tahun, tak kurang dari 1,29 juta ton sampah plastik masuk ke perairan. “Dan itu berkontribusi terhadap akumulasi sampah global,” ujar Parid kepada Tempo, pekan lalu.
Berdasarkan pendataan WALHI, saat ini terdapat sekira 150 juta ton sampah plastik di perairan. Jumlah itu bertambah 8 ton setiap tahun, dan kebanyakan berasal dari daratan. Menurut catatan Tim Koordinasi Nasional Penanganan Sampah Laut, sampah plastik mendominasi komposisi permasalahan pencemaran di laut. Rasionya mencapai sekira 60 hingga 80 persen limbah di laut. “Hal ini menyedihkan karena situasi laut menjadi semacam tong sampah raksasa,” ujar Parid.
Pemerintah sebenarnya memiliki target pengurangan 70 persen sampah di lautan tapi sampai tahun ini, sepertinya masih di kisaran 40 persen. “Sampah yang ada di laut Indonesia juga ada yang berasal dari negara lain,” katanya.
Sampah plastik tersebut, kata Parid telah membahayakan lebih dari 800 spesies. Hampir setengahnya adalah mamalia laut, dan sebagian lainnya adalah burung laut. Pada tahun 2022, ungkap Parid, seekor paus yang mati terdampar di Wakatobi ditemukan menelan banyak sampah. Saluran pencernaan paus itu dipenuhi sampah seberat 5,9 kilogram. Mayoritas sampah plastik.
Pembedahan elang laut menujukkan jumlah sampah plastik yang dicerna oleh binatang tersebut. Polusi plastik menyebabkan kematian jutaan spesies burung laut setiap tahun.
Menurut Parid, sudah banyak bukti dampak buruk sampah plastik kepada biota laut. Namun situasi pencemaran tak banyak berubah. “Penggunaan plastik sekali pakai telah membahayakan laut sebagai sumber pangan dan merusak bagian penting dari planet bumi. Alhasil kami pernah mengusulkan sampah plastik sebagai limbah B3 karena dampaknya sangat berbahaya,” kata Parid.
Berbagai pihak telah memperingati manusia untuk lebih menyayangi lautan. Dalam agama Kristen Katolik misalnya, Paus Fransiskus telah mengajak manusia untuk melakukan pertobatan ekologis. Hal itu termuat dalam ensiklik Laudato Si (LS) dan Laudato Deum (LD), sebuah surat amanat Paus untuk seluruh umat Katolik. Dalam ensiklik tersebut, Paus banyak menyinggung soal laut yang harus diselamatkan.
Dalam Laudato Si (LS 24), Paus menyebut eksistensi laut sebagai entitas ekologis terbesar di planet bumi, dengan seperempat penduduk dunia tinggal di pesisir atau pantai telah terancam. Dalam suatu pidatonya, Paus juga pernah menyatakan jika membuang sampah plastik ke laut adalah perbuatan kriminal, karena bisa membunuh keanekaragaman hayati bahkan membunuh bumi.
Perintah menjaga bumi juga ada dalam agama Islam. Dalam sebuah hadis, Nabi Muhammad SAW pernah menyeru manusia untuk menjaga bumi. “Hati-hatilah kalian terhadap bumi, karena sesungguhnya bumi itu adalah ibu kalian. (Hadis riwayat Ibnu Lahiah dalam kitab Mujam karya Imam Thabarani)
Usaha berbagai pihak untuk membangun kepedulian terhadap sampah plastik terus dilakukan. Misalnya berbagai seremoni bersih-bersih pantai setiap peringatan hari laut sedunia. Namun, ada juga yang melakukannya setiap hari. Salah satunya kelompok nelayan di Dusun Pasirputih, Desa Sukajaya, Kabupaten Karawang.
Setiap pagi, setidaknya 3 orang nelayan menyusuri pesisir Pasirputih. Mereka memunguti beragam sampah plastik yang tersangkut dalam alat pemecah ombak (APO), sebuah perangkat sederhana yang terbuat dari rangkaian ban bekas. Perangkat itu dipasang berderet di sepanjang pantai yang labil.
Alat yang dikembangkan masyarakat di bawah pendampingan Pertamina Hulu Energi Offshore North West Jawa (PHE-ONWJ) itu awalnya dibuat untuk merekayasa lanskap. Digunakan sedemikian rupa, alat tersebut telah menjauhkan garis pantai yang semakin mendekat ke pemukiman. Rupanya, tak hanya bisa membentengi desa dari teror abrasi. Saat dipasang, alat itu ternyata bisa menjebak sampah yang dikembalikan laut ke daratan. Sampah yang terbawa arus ke pesisir tersangkut dalam rangkaian APO strap yang berongga-rongga, sehingga tidak kembali ke laut.
“Sampah-sampah itu kami kumpulkan setiap hari. Yang bernilai ekonomis kami jual, sedangkan sampah plastik lainnya kami olah menjadi asap cair,” ujar Sahari, Ketua Kelompok Kerja Pemberdayaan Masyarakat Pesisir, Desa Sukajaya, Kabupaten Karawang kepada Tempo, Jumat, 13 September 2024.
Seorang nelayan Karawang merangkai alat pemecah ombak dari ban bekas. TEMPO / Hisyam Luthfiana
Dalam sehari, para nelayan Pasirputih bisa mengumpulkan rata-rata satu kuintal sampah. “Mayoritas sampah plastik dan botol minuman kemasan,” kata Sahari. Setelah dipilah, sampah plastik seperti kresek dan aneka kemasan makanan dibakar ke dalam mesin incinerator, sebuah alat khusus pembakaran sampah.
Namun di Pasirputih, mesin incinerator dimodifikasi dengan alat penyulingan khusus untuk mengubah asap pembakaran sampah mencadi cairan. “Cairan itu kami kumpulkan karena bisa menjadi alternatif insektisida,” kata Sahari.
Asap cair adalah hasil dari proses pirolisis, ketika sampah plastik dipanaskan dalam kondisi tanpa oksigen atau dengan oksigen sangat terbatas. Proses ini memecah sampah menjadi tiga bentuk, yakni cairan, gas, dan padat.
Asap cair yang dihasilkan dari pirolisis tersebut memiliki berbagai komponen kimia bergantung pada bahan yang diproses. Menurut penelitian yang diterbitkan dalam Fullrene Journal of Chemistry, pirolisis 200 gram sampah plastik menghasilkan fraksi bensin sebesar 36,20 persen dalam bentuk asap cair. Kandungan kimianya mencakup 45 senyawa yang termasuk alkana, alkena, sikloalkana, dan alkohol.
Seorang nelayan hendak memasukkan sampah plastik ke dalam mesin incinerator untuk diubah jadi asap cair. TEMPO/ Hisyam Luthfiana
Teknologi priolisis juga telah diuji di Institut Pertanian Bogor (IPB). Dilansir dari ipb.ac.id, tim mahasiswa IPB mampu mengolah sampah plastik dan sampah pertanian menjadi energi terbarukan.
Iman Teguh, Community Development Officer, PHE ONWJ menuturkan penanggulangan sampah di pesisir dan abrasi menjadi dua isu penting di wilayah pantura Karawang. Adapun keduanya mengandalkan APO strap sebagai upaya praktisnya. “APO strap yang multifungsi itu sekaligus menjadi media penerapan ekonomi sirkular di wilayah tersebut,” kata Iman.
Yang tak kalah penting, kata Iman, APO strap tersebut mempermudah niat masyarakat untuk membersihkan sampah di laut. “Sebab, para nelayan tersebut tidak ingin wilayah pesisir menjadi keranjang sampah,".
Pilihan Editor: BRIN: Potensi Kerugian Akibat Kebocoran Sampah Plastik ke Laut Hingga Rp 225 Triliun Per Tahun
Catatan redaksi: Artikel ini mengalami perubahan pada pukul 21.17. Penyesuaian terjadi di badan berita dengan menambahkan penjelasan soal ritual tolak bala di pesisir pantai.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini