Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

teroka

Tantangan Kesinambungan Claire Holt

Gagasan Claire Holt mengenai kesinambungan dalam perkembangan seni di Indonesia berlanjut di buku ini. Perlu kajian kiwari mengenai ide perubahannya.

19 Maret 2022 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Buku tentang estetika Nusantara yang bertolak dari gagasan Claire Holt.

  • Kumpulan tulisan dari sejumlah pakar dan pengamat berbagai disiplin ilmu.

  • Gagasan Claire Holt mengenai kesinambungan dalam perkembangan seni di Indonesia berlanjut di buku ini.

CLAIRE Holt (1901-1970) sungguh telah berjasa meletakkan dasar perbincangan kesenian di Indonesia melalui paradigma budaya dan akar-akar prasejarahnya hingga jauh ke masa kini. Pengantar buku ini menyebut secara eksplisit, Art in Indonesia: Continuities and Change (1967), karya besar Claire Holt, bisa disebut “salah satu buku yang berusaha memahami sejarah estetika di Nusantara tentang kontinuitas estetika Nusantara dari akar-akarnya di zaman prasejarah dan perubahan-perubahannya sepanjang zaman” (halaman 1).

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seperti arkeolog W.F. Stutterheim, pahatan di Borobudur atau candi-candi di Jawa Timur di mata Holt bukanlah “tiruan dari bentuk-bentuk yang sudah ada di India, tetapi pencapaian kreatif orang Jawa dan Bali menanggapi suasana kebudayaan mereka sendiri” (halaman 17). Tarian pada upacara di Bali dan pertunjukan wayang orang di Puri Mangkunegaran bagi sang “koreologis” ini adalah “tarian yang hidup”, yang memancarkan spiritualitas kebudayaan (halaman 34-35). Ia percaya pada konsep “rasa” dalam berbagai kehidupan sosial di Indonesia (halaman 26). Begitulah kita membaca Holt: kesinambungan sejarah, hubungan antar-budaya, dan intuisi yang menandai perkembangan seni di Indonesia. Claire Holt pernah mengutip sebuah naskah tua: “Menarilah, maka saya akan tahu dari mana asalmu.” Di mana perubahannya?

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Gagasan kesinambungan Holt berlanjut di buku ini. Kita menikmati bunga rampai hasil kerja para antropolog, arkeolog, filolog, dan epigraf yang terasa asyik dibaca. Sejarawan garca di masa kini menelisik sebaran ragam imaji—ideograph—artefak prasejarah yang sangat luas di kepulauan Nusantara, dari Sangkulirang, (Kalimatan Timur), Maros-Pangkep (Sulawesi Selatan), Sombori (Sulawesi Tengah), Maluku, hingga Papua dan Papua Barat. Tidak saja sebarannya, tapi juga keragaman cara (cap, tera, stensil, torehan, kuasan, cukilan, dan goresan), tata ungkap, dan arah lihat. Pindi Setiawan, Adhi Agus Oktaviana, dan Zubair Mas’ud menulis, “imaji cap tangan (manusia purba) bersifat citraan, mewakili sesuatu yang dikonsepkan atau dikhayalkan dalam pikiran” (halaman 53). 

Gambar cadas Nusantara melampaui temuan-temuan masyhur lain sebelumnya di kawasan benua lain. Garca tertua di dunia teridentifikasi berusia minimal 39.900 tahun (cap telapak tangan di Leang Timpuseng), 43.900 (adegan perburuan hewan di Leang Bulu Sipong 4), dan 45.500 tahun lalu (gambar babi di Leang Tedongnge). Garca berupa keragaman motif perahu ditemukan melimpah di Sulawesi, Kalimantan, dan Maluku, membayangkan jejak tradisi sangat panjang yang meneguhkan praktik budaya maritim di Indonesia yang kita dengungkan sampai kini. 

Claire Holt bersama penari Nias, 1939. Dok. Jean Pascal

Tradisi membuat gambar cap tangan yang mirip gestur “tari kecak” di Bali dalam imajinasi Holt dulu bahkan masih berlangsung hingga sekarang pada masyarakat suku Bugis-Makassar di wilayah sekitar Maros-Pangkep. Tradisi pembuatan cap tangan itu dikenal dalam upacara mabedda bola. Tradisi itu dilakukan sebagai bagian dari ritual menempati rumah baru, dengan cara mengecap telapak tangan pada rumah tradisional (halaman 82-84).

Cap telapak tangan yang terdapat pada gua-gua adalah “rumah” hunian manusia prasejarah. Tapi agaknya, imba, citra, atau imaji dan kemagisannya tetap menghuni ingatan seniman modern. Tentunya, inilah penelitian arkeologis yang jika digabungkan dengan kajian mengenai simbol atau ikon membentuk “situasi organik” yang pernah diidealkan oleh sejarawan seni rupa dulu. Para ilmuwan garca ini adalah gelombang baru yang melanjutkan minat penelusuran arkeologis Claire Holt dalam perkembangan seni di Indonesia. 

Tapi disiplin estetika tentu tidak menyangkut persepsi indrawi semata. Yang menarik dalam buku ini penelitian di ranah lain: rasionalitas matematis yang melandasi bahasa metafora atau simbol. Bukti paling sahih di depan mata adalah Borobudur. Pada kemegahan arsitektur Borobudur tertemukan “keindahan geometris” berupa perbandingan 4 : 6 : 9 untuk ukuran kaki, badan, dan kepala candi secara utuh atau keseluruhan, baik secara vertikal maupun horizontal. “Secara mental dan kognitif terdapat siasat tahap-tahap strategis semacam algoritmik dalam arsitektur Borobudur,” tulis Hokky Situngkir, ahli teknologi informasi dan komputasi. Matematika memiliki saham di hampir semua hal modern. Matematika adalah perangkat untuk mengurai konsep. Untuk menggambarkan konsep, manusia butuh metafora. Metafora-metafora adalah bangunan relasional antarkonsep yang membentuk gagasan (halaman 466; 475). 

Wujud Borobudur adalah “simbolisasi nirbentuk dari ketakberhinggaan”, suatu ilustrasi “fraktal borkoli”, bentuk keseluruhan memiliki kemiripan dengan bentuk cecabangnya, “arsitektur dengan simetri yang mirip dengan dirinya sendiri”, “stupa raksasa yang di dalamnya terdapat stupa-stupa lain”, dan dimensi fraktal yang juga ditemukan pada motif dasar batik” (halaman 477).

Penelusuran sistem desimal dengan menggunakan lambang angka 0—berbeda dengan sistem penulisan bilangan Romawi—terkait dengan kajian filsafat di subdaratan India yang menelaah konsep kehampaan. Dalam bahasa Sanskerta dan Jawa Kuno, inilah “sunya”, yang berabad kemudian berevolusi dalam bahasa Inggris sebagai “zero”. Dan “gagasan kontinuitas dalam tradisi kebudayaan yang panjang mesti dipahami sebagai arus pengetahuan bolak-bolik,” tulis matematikawan, Iwan Pranoto. Gagasan angka nol yang sudah ada di subdaratan India sejak abad ke-2 atau ke-3 Masehi, yang dikembangkan sebagai basis biner (dua) di dunia sastra untuk membaca ayat/frasa, boleh jadi adalah algoritma tertua yang justru berakar dalam khazanah sastra (halaman 565-566). 

Bunga rampai Estetika Nusantara ini boleh dibandingkan dengan pandangan estetika paradoksnya Jakob Sumardjo yang terbit pada 2014. Ahli sastra ini menelusuri gagasan paradoks yang banyak terungkap dalam pandangan budaya kehidupan berbagai suku di Nusantara. Dalam pandangan ini, “budaya suku Indonesia, ilmu, teknologi, ekonomi dasarnya adalah religi atau sistem kepercayaan aslinya. Dan semua religi berhubungan dengan daya-daya transenden yang halus dan tak tampak tapi ada, hadir—being.

Seni menghadirkan yang halus, tak tampak, menjadi tampak, berwujud—becoming. Dalam seni being menjadi becoming, becoming menjadi being. Itulah wajah ganda transenden-imanen. Seni pada dasarnya paradoksal, seperti halnya manusia itu sendiri yang paradoksal” (halaman 30). Pendeknya, “pada mulanya adalah religi”. Estetika dalam pandangan ini adalah “persoalan nilai”, di samping dua nilai lain, yakni logika dan etika.

Dalam tradisi etnis di Indonesia, ketiganya menyatu sebagai yang benar. Ahli sastra jawa kuno, P.J. Zoetmulder (1906-1995), menyebutnya sebagai “lango” (langeu), kata dasar yang membentuk “kalangwan” atau “kalangoan”. “Lango” masih hidup dalam kosakata Jawa seperti ngengleng atau linglung. Maka seni dalam pandangan ini adalah linglung, saat manusia hilang kesadaran subyektifnya, menyatu dengan bentuk seninya. Subyek menjadi obyek, dan peristiwa seni adalah peristiwa majenun, peristiwa sadar-tidak sadar, paradoksal, diri sebagai benda seni; benda seni sebagai diri. 

Gagasan Holt mengenai kesinambungan yang berlanjut dalam bunga rampai ini tentunya menantang suatu penelitian lain yang disebut langsung dalam judul bukunya, “perubahan”. Manakah yang lebih “esensial” sesungguhnya? Apakah ide kontinuitas mencakup perubahan atau sebaliknya?

Setidaknya kita teringat akan beda pandangan, misalnya antara Takdir dan Ki Hadjar Dewantara. Bagi Ki Hajar, kontinuitas adalah esensial, sedangkan bagi Takdir, perubahanlah yang esensial. Ki Hadjar tidak menolak unsur baru, Takdir juga tidak memungkiri unsur kesinambungan. Boleh jadi penghormatan atas karya Claire Holt yang mencakup dua istilah kunci itu memang mesti dibaca dengan satu tarikan napas.


Judul buku:
Estetika Nusantara: Bunga Rampai Tulisan Menyambut Borobudur Writers and Cultural Festival ke-10

Tebal:
viii + 632 halaman

Penerbit:
Penerbit BWCF bekerja sama dengan Kementerian Agama Republik Indonesia 

Cetakan Pertama:
November 2021 

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus