Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

lingkungan

Membuat Amdal Ramah Pemodal

Aturan-aturan turunan Undang-Undang (UU) Cipta Kerja mempercepat pemberian izin lingkungan demi investasi. Tim uji kelayakan rawan konflik kepentingan. 

 

4 Desember 2021 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Penyempitan ruang partisipasi masyarakat dan pemerhati lingkungan dalam seluruh proses izin kelayakan lingkungan menuai banyak kritik.

  • Kompetensi dan komposisi tim uji kelayakan lingkungan yang akan menguji dokumen analisis mengenai dampak lingkungan hidup (Amdal) rawan konflik kepentingan.

  • Membutuhkan perombakan besar-besaran dua tahun ke depan.

BAGI Harry Supriyono, tak ada yang istimewa dari putusan sidang uji formil Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 pada Kamis, 25 November lalu. Meski Mahkamah Konstitusi memutus Undang-Undang (UU) Cipta Kerja inkonstitusional secara bersyarat, kata pakar hukum lingkungan Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, itu, selama dua tahun mendatang peraturan tersebut tetap dijalankan. Menurut dia, “Dari skala 1-10, UU Cipta Kerja nilainya 4, khusus kluster lingkungan nilainya 2,” katanya, Jumat, 3 Desember lalu.

Mantan Kepala Departemen Hukum Lingkungan Fakultas Hukum UGM ini mengatakan banyak inkonsistensi dalam UU Cipta Kerja, terutama dalam kluster lingkungan. “Sampai ke aturan turunannya, ada inkonsistensi dalam upaya penyelenggaraan perlindungan lingkungan hidup,” ujar Harry. Ia menyebutkan salah satunya adalah Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.

Peraturan pemerintah yang terbit pada 2 Februari 2021 ini mengatur pelbagai ketentuan tentang analisis mengenai dampak lingkungan hidup (amdal). Dalam peraturan pemerintah yang terdiri atas 13 bab dengan 534 pasal ini, amdal diatur khusus dalam Bab II yang terdiri atas 11 bagian dan 103 pasal. Bab tersebut mengatur dari penyusunan, pembentukan tim uji kelayakan, hingga pendanaan persetujuan lingkungan.

Menurut Harry, satu-satunya yang boleh diacungi jempol dari bab ini adalah kembali diaturnya penyusunan amdal bagi usaha mikro dan kecil, beserta bantuan pendanaan untuk penyusunannya. Ketentuan ini pernah diatur dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1982 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup, tapi dihapus dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup.

Hal mendasar yang dikritik Harry adalah partisipasi masyarakat yang dipersempit dengan membubuhkan frasa “terkena dampak langsung”. Ia memberi contoh pasal 28 dan 29 yang mengatur pelibatan masyarakat, termasuk pemerhati lingkungan, dan peneliti dalam penyusunan amdal. Dalam peraturan sebelumnya, yaitu Pasal 26 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009, tak ada penyempitan ruang keterlibatan masyarakat dengan memakai frasa “terkena dampak langsung”.

Padahal, menurut Harry, pelibatan masyarakat dalam mekanisme penyusunan dan penilaian amdal bertujuan memberikan bobot lebih bagi kajian mengenai dampak besar dan penting untuk pengambilan keputusan usaha yang direncanakan pada suatu lingkungan hidup. Pelibatan ini juga bisa mencegah konflik sosial yang berujung pada deadlock pembangunan atau usaha akibat sengketa dengan masyarakat yang terkena dampak aktivitas tersebut. “Ini yang diterabas demi kemudahan berinvestasi,” ujarnya.

Kepala Divisi Kehutanan dan Lahan Indonesian Center for Environmental Law Adrianus Eryan juga mengkritik dihilangkannya pelibatan masyarakat itu. Menurut dia, esensi sesungguhnya keberadaan masyarakat akan hilang akibat penyempitan ruang tersebut. “Partisipasi masyarakat menjadi tidak bermakna dalam seluruh proses amdal. Masyarakat seolah-olah dilibatkan, padahal tidak sepenuhnya dilibatkan,” ucap Adrianus, Selasa, 30 November lalu.

Adrianus juga mengkritik para pembuat peraturan yang membiarkan narasi terbuka, seperti “terkena dampak langsung”, yang tidak dijelaskan lebih detail dalam pasal ataupun penjelasan pasal. “Definisi yang tidak jelas ini dapat menjadi celah meloloskan amdal. Dan upaya mitigasi atas dampak menjadi sulit diukur,” ujar Adrianus.

Kritik atas kompetensi dan komposisi tim uji kelayakan (TUK) lingkungan hidup juga mengemuka. Guru besar Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University, Hariadi Kartodihardjo, mengungkapkan adanya konflik kepentingan dalam TUK. Pasalnya, proporsi terbesar TUK terletak pada ahli bersertifikat yang ditetapkan oleh menteri. Selain itu, dengan pemangkasan ruang pelibatan masyarakat, kelompok peneliti, dan pemerhati lingkungan, menurut Hariadi, TUK akan menjadi macan ompong dalam proyek-proyek pemerintah.

Menurut Hariadi, seharusnya ada mekanisme deklarasi konflik kepentingan yang diatur secara detail dalam Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 2021 sebagai cantolan Peraturan Menteri Nomor 18 Tahun 2021. “Anggota TUK yang berasal dari unsur pemerintah diminta mendeklarasikan diri untuk tidak ikut serta apabila obyek yang diujikan bersinggungan dengan proyek pemerintahan. Sehingga lebih fair,” katanya.

Adrianus menyebutkan, kekisruhan dalam aturan turunan Undang-Undang Cipta Kerja ini dapat ditelusuri dari naskah akademik yang secara eksplisit ditulis: “Keterlibatan masyarakat oleh sebagian pihak dianggap menjadi faktor penghambat investasi, sehingga perlu kehati-hatian dalam perumusan pasal ini agar hak masyarakat tidak serta-merta hilang. Perubahan pasal 26 ayat 2 dan 3 berpotensi mempercepat izin lingkungan, tapi demikian berisiko penolakan dari lembaga pemerhati lingkungan”. Menurut Adrianus,”Jelas sekali titik beratnya adalah percepatan izin lingkungan demi investasi dengan menggunting ruang pelibatan masyarakat.”

Pakar hukum lingkungan UGM, Wahyu Yun Santosa, mengatakan penghambat amdal paling besar justru berasal dari pemrakarsa atau badan hukum yang akan melaksanakan aktivitas, bukan masyarakat atau kelompok pemerhati lingkungan. Wahyu mengakui dalam proses penyusunan amdal kerap terlalu banyak pihak yang terlibat. Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 2021, menurut dia, berupaya memberi koridor yang jelas sejauh mana keterlibatan tersebut.

Namun, menurut Wahyu, perubahan-perubahan dari Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 sangat rancu dan tidak mengelaborasi kedalaman kualitas amdal. “Padahal yang diperlukan adalah tingkat kedalamannya. Terutama dalam isu-isu sosial yang berpotensi mendatangkan konflik horizontal,” kata Wahyu, yang juga praktisi penyusun amdal.

Perbaikan yang dapat dilakukan dalam waktu dua tahun ke depan, menurut Wahyu, adalah mengutamakan kedalaman bobot amdal. Selain itu, ia menuntut adanya sistem informasi yang berkualitas. Terlebih, wajah utama penyusunan amdal, menurut Wahyu, berbasis risiko. “Dengan sistem informasi yang baik, semua orang bisa melakukan pemantauan dan kajian dampak menjadi lebih terpantau serta kualitasnya dapat terstandar dengan baik,” tuturnya.

Sementara itu, Harry berpendapat selama dua tahun ke depan, jika ditemukan peraturan atau produk hukum yang tak selaras dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009, peraturan ini harus dirujuk sebagai “ketentuan utama”. Pasal 2 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 sangat jelas mengatur asas perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup. Atau cara lain yang lebih sederhana, kata dia, “Presiden menerbitkan perpu (peraturan pemerintah pengganti undang-undang) membatalkan UU Cipta Kerja sehingga kembali ke aturan lama yang mudaratnya lebih rendah.”

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus