Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ringkasan Berita
Pandu Riono menilai kebijakan PPKM level 3 saat natal dan tahun baru berlebihan
Pemerintah disarankan berfokus pada program vaksinasi.
Kalau kasus Covid19 tetap melandai, Indonesia masuk tahapan endemi tahun depan.
PEMERINTAH memutuskan menerapkan pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM) level 3 mulai 24 Desember 2021 sampai 2 Januari 2022 untuk mencegah terjadinya lonjakan jumlah kasus infeksi Covid-19 di masa libur Natal dan tahun baru dan beredarnya Omicron, varian baru virus corona.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dengan kebijakan ini, banyak pembatasan dan pelarangan diberlakukan. Pandu Riono, epidemiolog dari Universitas Indonesia, mengkritik kebijakan ini. "Itu berlebihan," kata pengajar di Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia itu kepada wartawan Tempo, Abdul Manan, Iwan Kurniawan, dan Mahardika Satria Hadi, pada Selasa, 30 November lalu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pandu ragu terhadap implementasi kebijakan ini. Dia setuju ada pengetatan jika, misalnya, ada varian baru, termasuk Omicron, jika memang terbukti lebih berbahaya daripada varian Delta yang menginfeksi banyak orang di Indonesia.
Pandu bersama sejumlah epidemiolog lain sebenarnya rutin diundang untuk memberi masukan soal penanganan wabah, termasuk PPKM, kepada pemerintah. Dalam sejumlah hal, nasihat mereka didengarkan. Untuk beberapa hal lain tidak.
Dalam wawancara daring selama sekitar 1,5 jam, Pandu menjelaskan tingkat kekebalan orang Indonesia yang sudah tinggi, meskipun tingkat vaksinasi masih tergolong rendah. Inilah yang menyebabkan angka kasus infeksi melandai sejak Agustus lalu dan tidak terjadi gelombang ketiga. Meski jumlah kasus naik-turun, angkanya masih rendah.
Doktor lulusan epidemiologi dari University of California, Amerika Serikat, ini juga memperkirakan pandemi yang menewaskan lebih dari 144 ribu orang Indonesia ini bisa menjadi endemi pada semester pertama 2022.
Dalam kondisi saat ini, apakah pelonggaran layak dilakukan?
Dari semua indikator epidemiologi, sudah bisa dilonggarkan. Ada empat indikator. Pengetesan tinggi. Untuk kasus terkonfirmasi, yang masuk rumah sakit karena gejalanya berat rendah. Angka kematian juga rendah sekali. Walaupun jumlah kasus sedikit naik-turun, grafiknya sebenarnya melandai.
Berarti penanganan pandemi kita sudah di jalur yang benar?
Sudah, tapi harus terus-menerus dijalankan. Ini akibat PPKM level 3 dan vaksinasi tinggi, walaupun belum setinggi yang kita harapkan. Setidaknya hal itu berhasil menciptakan kekebalan di populasi.
Namun angka vaksinasi lengkap kita masih di bawah 50 persen.
Kalau kita mengandalkan teori Barat, memang harus dengan vaksinasi. Saya punya teori lain. Saya melihat masyarakat sudah kebal karena vaksinasi alam, yaitu orang terinfeksi dan selamat, dia membentuk imunitas. Orang yang tidak kena, kemudian divaksin, akan membentuk imunitas. Yang pernah kena infeksi dan selamat, lalu divaksinasi, dia memiliki imunitas ganda atau super-immunity. Itu yang membantu terjadinya penurunan jumlah kasus. Kalau kita melihat cakupan vaksinasi saja, masih rendah.
Apakah ini yang disebut herd immunity?
Konsepnya berbeda. Saya tidak menggunakan istilah itu. Ini kekebalan di komunitas. Dalam herd immunity atau kekebalan kelompok, orang yang tidak divaksin akan terlindung oleh yang sudah divaksin. Dalam hal Covid-19 berbeda karena orang yang tidak divaksin tidak memiliki kekebalan dan akan menjadi korban penularan. Korban sekarang ini umumnya belum divaksin dan belum pernah terinfeksi.
Jadi program vaksinasi harus terus ditingkatkan?
Kalau perlu semua penduduk. Kita memanfaatkan vaksinasi dari Tuhan melalui infeksi itu tapi korbannya banyak. Banyak yang meninggal dulu. Dan, juga vaksinasi alam. Dua kombinasi ini yang tidak diukur dan tidak dipikirkan oleh ahli dari luar. Itu yang sebenarnya kunci pengendalian pandemi. Makanya saya berani memprediksi tidak ada gelombang ketiga.
Mengapa Anda mengkritik PPKM level 3 selama Natal dan tahun baru? Bukankah itu bentuk kehati-hatian?
Kalau kehati-hatian, dulu mengapa tak mau lockdown? Sekarang tidak ada apa-apa malah mau lockdown. Seakan-akan PPKM itu sebagai senjata pamungkas. Tapi PPKM hanya di atas kertas. Bilangnya level 3, level 4, tapi sehari-harinya level 1.
Jadi Anda mengkritik implementasi kebijakannya?
Pengetatannya dengan cara begini. Pertama, vaksinasi dikejar terus, tak boleh kendur. Kedua, orang yang melakukan perjalanan dan berkegiatan harus sudah divaksin minimal sekali. Sekarang bisa dua kali. Tetap ada tes, bisa pilih antigen atau tes reaksi berantai polimerase (PCR). Dengan demikian, aman.
Kalau PPKM level 3, banyak dampaknya. Mal dan jalan tutup. Tak boleh ada kegiatan. Itu berlebihan. Pada prinsipnya, orang boleh beraktivitas tapi persyaratannya diperketat. Tidak boleh ada toleransi. Orang harus pakai masker. Kalau tidak pakai, diperingatkan. Jakarta kan sekarang mulai PPKM level 2. Sebenarnya tidak ada alasan untuk itu. Mungkin dinaikkan ke level 2 supaya jangan ada reuni 212. Jangan ada demonstrasi. Ini jadi politik, bukan epidemiologi lagi. Kalau menurut epidemologi, Jakarta itu masih PPKM level 1.
Apakah memang tidak mungkin memperketatnya?
Bagaimana memperketatnya? Orang-orang mau dicegat? Tak mungkin diimplementasikan. Dulu mudik dilarang dan akhirnya tak bisa diimplementasikan. Menurut saya, ini basa-basi saja. Daripada begitu, lakukan saja yang pemerintah bisa dan memang berdampak untuk mempertahankan angka kasus infeksi yang rendah ini. Sekarang ini kan kurvanya endemi. Sudah turun.
Yang sama dengan Indonesia adalah India. Setelah ada gelombang ketiga, banyak orang India yang sudah mempunyai imunitas. Kemudian, vaksinasi mencapai hampir 1 miliar orang. Walaupun kemarin ada hari raya, tidak ada lockdown atau pembatasan. Tidak ada berita lonjakan jumlah kasus. Di Indonesia, kondisinya sama.
Kritik ini sudah disampaikan ke pemerintah?
Sudah. Pak Joko Widodo sudah bisa memahami bahwa harusnya tidak PKM level 3 karena terlalu luas. Itu kan ada indikator epidemiologinya. Ini cuma mencegah lonjakan, sedangkan PPKM kan respons akibat kenaikan kasus. Sekarang tak ada kenaikan jumlah kasus, kok malah diperketat?
Dengan vaksinasi yang masih rendah, bagaimana bisa terlindungi?
Kalau sudah pernah terinfeksi, orang sudah punya antibodi. Sekarang vaksinasi Covid-19 di Jakarta sudah tinggi banget. Kemudian ada varian Delta. Ada yang kena. Mereka ini banyak yang jadi super-immunity, tervaksinasi ganda, dari alam dan pemerintah. Karena sudah dua kali, jadinya kayak booster. Maka turun sekali angka kasusnya sejak Agustus. Saya meramalkan waktu itu dan menyampaikannya kepada Pak Anies (Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan) bahwa Jakarta pada akhir September diramalkan angka kematiannya nol. Tidak ada yang percaya. Memang akhirnya terlambat sedikit. Baru pada 7 Oktober kasus kematiannya nol. Sampai sekarang kasus kematiannya nol atau satu. Paling tinggi dua. Ini karena kekebalannya sudah cukup tinggi. Intensive care unit (ICU) rumah sakit juga kosong karena kasus Covid-19 yang berat sedikit.
Tapi kasus infeksi masih terjadi.
Masih terjadi karena masih ada yang belum ikut vaksinasi. Infeksi tidak mungkin ditekan sampai nol. Selandia Baru dan Australia tidak bisa menekan kasus sampai nol. Tidak mungkin. Penularan terjadi, biarkan saja. Tapi kita melindungi publik dengan vaksinasi.
Di Eropa, mengapa kasusnya sekarang naik lagi?
Karena masih banyak yang belum divaksin. Eropa negara merdeka. Kalau tak mau divaksin, ya, tidak bisa dipaksa. Yang kena yang belum divaksin. Di Inggris, yang vaksinasinya bagus, meskipun banyak orang yang kena infeksi, kasus kematian dan yang masuk ICU rendah. Di Jerman banyak orang tak mau divaksin. Meski Jerman punya pabrik vaksin, ya, tidak ada dampaknya bagi penanganan pandemi di wilayahnya, sampai ruang ICU rumah sakitnya penuh.
Mengapa Anda yakin gelombang ketiga tidak akan terjadi?
Sampai Januari tahun depan tidak akan terjadi gelombang ketiga bila tidak ada varian baru yang menyebar. Di Jakarta atau di Indonesia, masih dominan varian Delta. Sebagian besar orang sudah kebal terhadap Delta. Hasil survei pengurutan keseluruhan genom (WGS) tiap minggu menunjukkan mayoritas kasus adalah varian Delta. Sejak ada kabar soal varian Omicron, semua orang yang datang dari luar negeri diperiksa dengan WGS agar segera bisa dideteksi apakah membawa Omicron.
Varian Omicron ini apakah sudah terdeteksi masuk Indonesia?
Belum. Kalau ada, butuh waktu (untuk bisa dideteksi). Kalau memang sudah masuk dua bulan yang lalu, saya setuju dengan pengetatan. Tapi beritanya heboh di seluruh dunia. Sekarang lebih banyak paniknya daripada pakai akal sehat. Semuanya masih teori, belum ditunjang fakta. Varian baru ini terjadi di Afrika karena vaksinasi di sana rendah sekali. Kalau vaksinasinya tinggi, itu akan menghambat kecepatan mutasi.
Apa beda Omicron dengan Delta?
Terjadi perubahan genetik yang luar biasa banyaknya. Banyak mutasi ini yang membuat orang ketakutan. Varian ini dikhawatirkan lebih mudah menular, lebih berat gejalanya, dan mampu menghindari sistem imunitas kita. Tapi belum ada bukti mengenai hal-hal tersebut. Varian ini bukan mutasi dari Delta, tapi dari virus tahun 2020 yang bermutasi terus dan sekarang baru ditemukan di Afrika Selatan. Kita tidak tahu mulai kapan munculnya, tapi sekarang sudah menyebar.
Melalui WGS, sebenarnya bisa kita petakan dari mana dan menyebar ke mana virus itu. Dulu, di awal masa pandemi, kita tahu foot print (virus yang masuk ke Indonesia) bukan langsung dari Wuhan, Cina, tapi dari Amerika Serikat. Itu mulai masuk di awal Januari 2020 atau akhir Desember 2019.
Pemerintah merespons Omicron dengan pengetatan di pintu masuk.
Itu sesuai dengan saran saya juga untuk memperlambat (masuknya virus). Tapi jangan berasumsi kita bisa menekan 100 persen. Kejadian di Australia, Kanada, atau negara lain, kalau diidentifikasi di pintu masuk, orang lebih tenang. Tapi, kalau sudah di masyarakat, orang gelisah karena itu artinya sudah menyebar. Jadi sekarang diperkuat di pintu masuk. Lama waktu karantinanya juga dinaikkan.
Tim Anda di Universitas Indonesia memprediksi Indonesia akan memasuki endemi tahun depan.
Ya. Asal tidak ada varian baru dan tingkat imunitas di populasi tinggi. Kalau kita berhasil mempertahankan kondisi ini sampai semester tahun depan, kita bisa masuk tahap endemi. Mudah-mudahan Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian segera mengumumkan hasil survei nasional mengenai imunitas di populasi kita. Sebenarnya ada dua survei. Kementerian Dalam Negeri di daerah aglomerasi dan Kementerian Kesehatan di daerah non-aglomerasi. Targetnya diumumkan pertengahan Desember ini.
Pandu Riono, Epidemiolog, saat wawancara dengan redaksi Tempo secara daring, 30 November 2021. Tangkapan Layar: TEMPO
Apa yang bisa dilihat dari survei itu?
Hal itu menjelaskan penyebab angka kasus infeksi di Indonesia bisa rendah. Tadinya saya berangkat dari teori dan data dari DKI Jakarta. DKI itu, pada Agustus lalu, kekebalan populasinya sudah 70 persen dan vaksinasinya jalan terus. Mungkin (kekebalannya) sekarang lebih dari itu. Itu kayak konsep herd immunity, saat angka kekebalan yang tinggi mampu menekan penularan.
Daerah yang penduduknya masih belum mendapatkan vaksin kan cukup banyak...
Fokus saja di daerah aglomerasi, seperti Jabotabek (Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi), Semarang raya, Surabaya, Sarbagita (Denpasar, Badung, Gianyar, dan Tabanan), Malang raya, Cekungan Bandung, Medan raya, serta Makassar dan sekitarnya, karena pusat pandemi di situ. Kalau kita mempunyai cakupan vaksinasi tinggi di situ, dampaknya tinggi. Itu masukan kami. Fokus ke aglomerasi, yaitu daerah dengan populasi dan mobilitasnya tinggi. Kalau mereka terlindungi, penularan bisa ditekan. Ini terbukti sekarang.
Seberapa urgen vaksin booster bagi kita?
Sebagian besar kita sudah mendapat vaksinasi alam, kemudian sudah disuntik dua kali dengan vaksinasi modern. Apa pun vaksinnya tidak penting. Itu jadi booster. Kajian dari luar negeri, ketika terjadi lonjakan angka kasus, itu bukan terjadi pada penerima vaksin Sinovac. Kita beruntung. Teori saya begini. Kalau kita kena virus, itu kan virus yang utuh dan hidup. Terus divaksin dengan Sinovac, yang virusnya utuh juga tapi dinonaktifkan. Karena tubuh kita dikenalkan dengan virus utuh, walaupun ada perubahan virus, masih bisa dikenali oleh tubuh. Itu keuntungannya. Kalau vaksin dengan metode asam ribonukleat duta (mRNA) kan hanya bagian dari virus. Jadi ini berkah terselubung buat kita.
Efikasi Sinovac dinilai rendah, apakah berpengaruh terhadap kekebalan?
Itu hanya berdasarkan kajian laboratorium. Apakah masih efektif? Masih. Kalau menurun terus dan tak efektif, sekarang pasti terjadi lonjakan angka kasus. Kalau semua sudah divaksin, kita negara pertama yang bisa mengatasi pandemi. Negara pertama yang bisa atasi pandemi ini negara Asia, bukan Amerika. Orang Asia kan lebih patuh untuk divaksin.
Bagaimana soal rencana pembelajaran tatap muka permanen tahun depan?
Tidak apa-apa. Sebelum PPKM, hasil survei di DKI Jakarta menunjukkan banyak anak yang terinfeksi. Mereka terinfeksi tapi tidak ada yang masuk rumah sakit dan meninggal. Kalaupun ada, itu sebenarnya karena komorbid yang berat. Imunitas anak lebih bagus tapi harus dibarengi vaksinasi dan protokol kesehatan yang dijaga. Saya percaya bahwa hasil survei DKI mungkin sama dengan seluruh wilayah Indonesia, cuma angkanya beda-beda.
Bagaimana soal calon obat Covid-19?
Kalau tidak ada yang sakit, tak perlu obat Covid-19 seperti molnupiravir dan paxlovid. Itu hanya efektif pada lima hari pertama sejak terinfeksi. Padahal kita di Indonesia kebanyakan terlambat deteksinya. Harga obatnya juga mahal. Lebih baik mencegah dengan vaksinasi, jauh lebih efektif.
Untuk jangka panjang, apakah tidak perlu obat?
Tidak perlu. Obat itu sebenarnya belum disetujui Badan Pengawas Obat Amerika Serikat (FDA) tapi pabrik obat sudah negosiasi (dengan sejumlah negara). Itu taktik dagang. Saya sudah memperingatkan agar tidak usah dibeli. Fokus saja pada vaksinasi. Di negara lain, obat menjadi penting karena banyak orang tidak divaksin dan mungkin butuh obat.
Saya belajar dari pengalaman obat flu burung, tamiflu. Waktu wabah merebak, obat melulu yang diberikan, bukan edukasi. Obat itu ternyata tidak terpakai karena banyak yang tidak sakit. Penularannya masih terbatas pada hewan, belum pada manusia ke manusia. Flu burungnya kemudian hilang. Masalahnya, karena panik, stok obat terlalu banyak, padahal harganya mahal. Saat sudah kedaluwarsa, obat dimusnahkan karena memakai uang negara. Biaya pemusnahannya juga mahal.
PANDU RIONO
Tempat dan tanggal lahir: Jakarta, 22 April 1956
Pendidikan:
• S-1 Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta (1982)
• S-2 Biostatistik University of Pittsburgh, Amerika Serikat (1989)
• S-3 Epidemiologi dari University of California, Amerika Serikat (2001)
Karier:
• Dosen di Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia (sejak 1985)
• Spesialis Pengawasan dan Advokasi FHI-Jakarta (2002-2009)
• Konsultan Bank Dunia, Jakarta (2007)
• Konsultan untuk Pusat Data HIV-AIDS Asia-Pasifik, UNICEF Bangkok (2008)
• Konsultan Estimasi Populasi Rentan untuk Infeksi HIV di Kementerian Kesehatan (2009)
• Peneliti tamu di Pusat Nasional Riset Klinis dan Epidemiologi HIV, University of New South Wales, Sydney (2010)
• Konsultan Senior Program Tuberkulosis Nasional, Kementerian Kesehatan (2012-2018)
Organisasi:
• Anggota Ikatan Dokter Indonesia (sejak 1982)
• Anggota Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia (sejak 1989)
• Anggota Perhimpunan Statistik Indonesia (sejak 1992)
• Anggota Asosiasi Epidemiologi Internasional (sejak 1993)
• Ketua Bidang Penyakit Menular IDI (2003-2009)
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo