Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Penemuan varian baru virus SARS-CoV-2 yang memicu Covid-19 di Afrika Selatan yang dinamai Omicron.
Kurang dari dua pekan, Omicron mendominasi kasus positif di di Afrika Selatan, menyalip varian Delta.
Seorang dokter di Johannesburg menyebutkan gejala varian baru ini lebih ringan daripada varian Delta.
MATA Alicia Vermeulen terbelalak saat menyadari ia tak bisa mendeteksi gen S pada satu sampel pasien positif Coronavirus Diseases 2019 (Covid-19) yang berasal dari Provinsi Gauteng, Afrika Selatan. Peneliti yang baru bekerja satu setengah tahun di Lancet Laboratories di Johannesburg itu langsung melaporkan kejanggalan pada Sabtu pertama November lalu tersebut kepada manajernya. Tiga pekan kemudian, namanya terkenal karena disebut sebagai penemu pertama varian SARS-CoV-2 paling gres yang dinamai Omicron.
Gen S adalah satu dari tiga gen yang menjadi sasaran dalam pemeriksaan spesimen Covid-19 menggunakan metode reverse transcription polymerase chain reaction (RT-PCR). Melalui gen S, virus menciptakan protein S (spike) sebagai pintu masuk infeksi ke sel manusia. Ketiadaan gen S memunculkan dugaan SARS-CoV-2 telah bermutasi. Karena itu, Raquel Viana, Kepala Sains Lancet Laboratories, melakukan pengurutan genom utuh (WGS) virus untuk memvalidasinya.
Raquel Viana melakukan WGS terhadap delapan sampel pada Jumat, 19 November lalu. Betapa terkejutnya ia saat menemukan begitu banyak mutasi. Ada 45-52 perubahan asam amino di seluruh genom, termasuk 26-32 mutasi pada protein S. "Saya terkejut atas apa yang terlihat. Saya bertanya-tanya, apakah ada yang salah dalam prosesnya," kata Viana seperti dikutip dari Reuters, Selasa, 30 November lalu. Ia pun menghubungi Daniel Amoako di National Institute for Communicable Diseases (NICD) dan mengirimkan sampel-sampel itu untuk diuji konfirmasi.
Hasil WGS Daniel Amoako dan tim pada Sabtu dan Ahad, 20 dan 21 November lalu, tidak berbeda dengan temuan Viana. Peningkatan tajam jumlah kasus positif Covid-19 harian pada pekan itu menambah keyakinan para peneliti bahwa virus itu varian baru. Esoknya, Lancet Laboratories mengumumkan kesimpulan bahwa telah muncul varian baru SARS-CoV-2 yang dijuluki B 1.1.529. Menurut Lancet, gen S tak terdeteksi karena ada deletion—mutasi yang menghapus materi genetik—pada protein spike posisi asam amino 69-70. Fenomena ini disebut S gene target failure (SGTF).
NICD memasukkan data WGS ke basis data Global Initiative on Sharing All Influenza Data (GISAID) pada Selasa, 23 November lalu. Pada hari yang sama, peneliti dari Harvard HIV Reference Laboratory, Gaborone, Botswana, juga memasukkan data WGS dengan urutan gen serupa yang berasal dari seorang turis. Sebelumnya, peneliti Hong Kong mengunggah WGS dengan urutan sama dari warga yang baru pulang dari Afrika Selatan. NICD lalu melaporkan temuan kasus Covid-19 varian baru itu ke Badan Kesehatan Dunia (WHO) pada Rabu, 24 November lalu.
Hanya berselang dua hari dari masuknya laporan Afrika Selatan, WHO mengubah kategori B.1.1.529 dari varian dalam pemantauan (VUM) menjadi varian yang menjadi perhatian (VOC). WHO memilih nama Omicron yang berasal dari huruf ke-15 Yunani. Mutan virus diidentifikasi sebagai VOC bila menunjukkan peningkatan angka penularan Covid-19 atau peningkatan virulensi atau keparahan penyakit atau penurunan efektivitas diagnostik, vaksin, dan terapi yang tersedia.
Pada kenyataannya, Omicron memang cepat menyebar. Kurang dari dua pekan, Omicron mendominasi semua infeksi, menyalip varian Delta yang sebelumnya memporak-porandakan Afrika Selatan. Menurut data Network for Genomic Surveillance in South Africa, per November lalu, dari 249 sampel WGS, 183 sampel (73 persen) adalah varian Omicron dan 55 sampel (22 persen) varian Delta. Sedangkan menurut data September lalu, dari 1.663 sampel WGS, sebanyak 1.493 (91 persen) adalah varian Delta.
Omicron telah menyebar ke seluruh dunia. Berdasarkan basis data GISAID, sampai Kamis, 2 Desember lalu, ada 28 negara yang mengirimkan data WGS varian Omicron. Afrika Selatan mengirim data terbanyak, yakni 217, diikuti Inggris (58), Ghana (33), Botswana (19), Jerman (15), Belanda (13), Portugal (13), Amerika Serikat (12), Australia (11), Austria (10), Hong Kong (8), Kanada (8), Spanyol (7), Swiss (6), Belgia (6), dan Italia (4). Norwegia, Brasil, Korea Selatan, dan Israel masing-masing mengirim 3 data; Jepang, India, Prancis, dan Denmark 2 data; serta Swedia, Luksemburg, Irlandia, dan Republik Cek 1 data.
Banyak negara, termasuk Indonesia, menutup pintu masuk bagi 10 negara Afrika bagian selatan. Pendatang dari negara-negara lain juga harus menjalani tes Covid-19 dan karantina selama 10 hari. Menurut Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin, untuk mendeteksi Omicron, kementeriannya menggunakan metode SGTF di semua pintu masuk Indonesia. “Kalau pakai reagen PCR, (gen S) tidak terdeteksi atau istilahnya target failure, tapi gen lain positif, itu kemungkinan besar Omicron," tuturnya dalam webinar yang disiarkan kanal YouTube Ikatan Alumni ITB, Jumat, 3 Desember lalu.
Menurut Menteri Budi, metode SGTF juga akan diterapkan di 1.800 laboratorium Kementerian Kesehatan. “Saya kemarin video conference dengan semua laboratorium, termasuk laboratorium kesehatan daerah. Strategi testing kita perbaiki. Kita perkaya dengan metode SGTF ini,” ujarnya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Bagi Tjandra Yoga Aditama, metode SGTF sangat membantu Indonesia, yang kemampuannya dalam melakukan WGS terbatas. “Dapat menyaring mana yang prioritas untuk WGS,” kata Direktur Program Pascasarjana Universitas Yarsi, Jakarta, itu via keterangan tertulis.
Yang masih misterius adalah apakah Omicron lebih ganas daripada Delta. Arahan teknis WHO kepada negara anggotanya tertanggal 27 November lalu menyebutkan masih ada ketidakpastian substansial mengenai Omicron dan tingkat keparahan penyakit Covid-19. Namun seorang dokter praktik swasta di Johannesburg, Angelique Coetzee, mengaku menerima tujuh pasien yang memiliki gejala sangat ringan, berbeda dengan gejala varian Delta yang dominan.
Seorang pasien yang datang ke klinik Coetzee pada Kamis, 18 November lalu, mengeluh sangat lelah dengan nyeri badan dan sakit kepala. “Gejalanya seperti infeksi virus normal. Kami memutuskan untuk tes Covid-19 karena tak menemukan kasus dalam 10 pekan terakhir,” ucap Coetzee seperti dikutip Reuters, Ahad, 28 November lalu. Ia mengatakan pasien dan keluarganya terbukti positif Covid-19. Pada hari itu juga, Coetzee kedatangan dua pasien lain dengan gejala sama. Begitu pun beberapa hari berikutnya.
Tidak seperti pasien yang terinfeksi varian Delta, pasien-pasien Coetzee itu mengaku tidak kehilangan kemampuan menghidu dan mengecap. Konsentrasi oksigen dalam darah mereka pun tidak menurun drastis. Menurut pengalaman Coetzee, varian baru Omicron ini mempengaruhi orang berusia 40 tahun ke bawah. Hampir separuh pasien yang ditangani Coetzee itu belum menerima vaksin Covid-19.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo