Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Gaya Hidup

Bermula dari Sampah

Anak-anak muda ini mengembangkan bisnis yang ramah lingkungan. Sampah plastik tidak selalu mubazir.

4 Desember 2021 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Pengisian atau pembelian barang kebutuhan rumah tangga isi ulang melalui Siklus, di Pondok Ranji, Tangerang Selatan, Banten, 2 Desember 2021/Tempo/Jati Mahatmaji

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Sejumlah orang muda menggeluti bisnis ramah lingkungan karena gerah dengan sampah yang kian menumpuk.

  • Model bisnisnya dari penyedia barang curah, layanan pengangkut sampah, hingga daur ulang sampah plastik.

  • Sampah plastik diolah menjadi bahan bangunan.

MERASA tak nyaman dengan jumlah sampah yang kian menumpuk, Marissa Anggie Ariani mencari cara untuk mengurangi produksi sampah di rumah. Selama ini sampah plastik dan limbah rumah tangga menggunung di gudang rumahnya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Setelah menikah dan tinggal di Tangerang Selatan, Banten, ia menemukan toko penjual barang curah yang tak menyediakan kemasan. Pelanggan harus membawa wadah sendiri saat berbelanja. Namun, sejak pandemi Covid-19 merebak di Indonesia, Anggie tak bisa sering ke luar rumah. “Beberapa toko juga membatasi jumlah pelanggan dan jam buka-tutup,” kata Anggie, 36 tahun, Kamis, 2 Desember lalu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Berbekal kabar dari teman dan jaringan di media sosial, ia menemukan informasi tentang Siklus, penyedia isi ulang bahan kebutuhan rumah tangga. Dengan menginstal aplikasi Siklus, ia kini bisa berbelanja tanpa harus ke luar rumah dan menambah sampah plastik.

Bagi Anggie, berbelanja secara daring cukup mudah. Ia tinggal memilih barang yang tersedia di aplikasi, memasukkan jumlahnya, lalu klik. Beres. Pada Kamis, 2 Desember lalu, misalnya, ia memesan minyak goreng, sabun mandi, detergen, sabun cuci tangan, sabun cuci piring, pewangi pakaian, dan karbol. Kurir Siklus datang ke rumahnya sekitar pukul 12.00 WIB, sesuai dengan jadwal di aplikasi. “Lebih efisien ketimbang harus ke supermarket atau pasar dan berakhir membeli barang yang enggak perlu,” ujarnya.

Laksamana Sakti (kanan) dan pendiri Siklus, Jane von Rabenau, di Jakarta/Dok Siklus

Harga barang-barang tersebut, kata Anggie, lebih murah daripada di kebanyakan toko konvensional. Satu liter minyak goreng bermerek yang biasa dia beli seharga Rp 20 ribu, misalnya, bisa ia peroleh di Siklus dengan harga Rp 18 ribu. Selain itu, dengan berbelanja daring, ia bisa menghindari kerumunan. Kini ia rajin mengumpulkan barang tak terpakai untuk wadah produk curah. “Kita bisa ikut serta mengurangi sampah plastik dan memanfaatkan sampah kemasan yang tak terpakai,” tuturnya.

Siklus adalah perusahaan rintisan yang didirikan oleh Jane von Rabenau pada 2019. Alumnus London School of Economics, Inggris, dan Harvard University, Amerika Serikat, itu juga menjabat chief executive officer. Perusahaan itu didirikan dengan tujuan mengurangi jumlah produk yang dikemas dalam plastik sekali pakai. 

Menurut Kepala Operasional Siklus Laksamana Sakti, Indonesia salah satu produsen sampah plastik terbesar di dunia. Masih banyak sampah plastik dibuang sembarangan dan mikro-plastik yang berbahaya bagi lingkungan berakhir di laut. “Kami ingin menyelesaikan masalah itu,” kata Laksamana, 27 tahun, Selasa, 30 November lalu.

Siklus tidak memproduksi barang dagangan sendiri. Mereka bekerja sama dengan sejumlah distributor produk ternama dan mendistribusikannya dengan sepeda motor kepada konsumen. “Jadi Siklus bisa membantu mengurangi sampah sekali pakai dan memberikan produk lebih murah,” ujar Laksamana.

Aplikasi Siklus baru beroperasi pada tahun ini. Siklus menyediakan aneka bahan kebutuhan rumah tangga, dari sampo, sabun, susu bubuk, sereal, hingga minyak goreng, dengan harga mulai Rp 10 ribu. Tidak ada minimal pembelian dan ongkos kirim.

Cara berbelanja di aplikasi itu pun mudah. Konsumen tinggal memesan lewat aplikasi, lalu menentukan jadwal pengiriman. Motoris—sebutan untuk kurir bersepeda motor Siklus—akan datang langsung ke depan rumah konsumen. “Jika tak punya aplikasi, bisa melalui admin di WhatsApp atau Instagram, nanti akan dipandu ke penentuan jadwalnya,” ucap Laksamana, yang bergabung dengan Siklus pada Agustus tahun lalu.

Bisnis Siklus tak selamanya mulus. Baru setahun berjalan, layanan terganggu oleh merebaknya pandemi Covid-19. Selain itu, tak gampang membangun kepercayaan konsumen yang belum terbiasa dengan produk curah. Namun tantangan itu tak membuat mereka surut langkah. Mereka sadar banyak orang yang biasa berbelanja di pasar sebenarnya mampu membeli barang dalam jumlah besar. “Kami melihat respons, terutama kalangan ibu, itu baik. Mereka menantikan produk yang meminimalkan sampah,” kata Laksamana.

Dengan 30-an anggota staf dan 20-30 Motoris, Siklus menjangkau konsumen kalangan menengah-bawah di Jakarta-Bogor-Depok-Tangerang-Bekasi. Namun, Laksamana menambahkan, Siklus tak menutup kemungkinan produknya dibeli oleh seluruh kalangan karena aplikasinya mudah diakses siapa pun. “Karena belum setahun, omzet dari Januari berkembang 40 persen dari bulan ke bulan, sampai gaji Motoris kami bisa (mencapai) UMR (upah minimum regional). Intinya, meningkat,” ujarnya.

Laksamana yakin bidang usaha ini bakal makin berkembang di masa depan karena Indonesia memiliki agenda mengurangi emisi karbon dengan mengurangi penggunaan plastik sekali pakai. Mewujudkan gagasan berbelanja tanpa menghasilkan sampah dalam jumlah besar, kata dia, adalah tujuan semua industri.

Sampah plastik tidak selamanya mubazir. Bagi Ovy Sabrina dan Tan Novita, sampah plastik tertolak atau sampah plastik bekas kemasan dapat dimanfaatkan menjadi bata. Perusahaan yang mereka dirikan, Rebricks, melakukan riset sejak awal 2018 dan mulai memasarkan produk pada November 2019. “Proses produksinya enggak dibakar atau dilelehkan, tapi kami campur dengan bahan-bahan lain, lalu dicetak dan dibentuk curing-nya selama tiga minggu,” tutur Ovy, 35 tahun, Kamis, 2 Desember lalu.

Ovy dan Novita memulai bisnis ini dengan alasan personal. Keduanya menjalani gaya hidup minim sampah sejak beberapa tahun lalu. Mereka sadar ada jenis sampah tertentu, seperti sampah plastik yang tidak diminati pemulung karena tak bisa digunakan lagi, yang dibuang ke tempat pembuangan akhir. “Kami sebut itu sampah tertolak,” kata Ovy.

Dua pendiri Rebricks, Ovy Sabrina (kiri) dan Tan Novita, di Jakarta/Dok Rebricks

Di dalam sampah tertolak itu antara lain terdapat plastik multilayer seperti saset yang mengandung lapisan aluminium dan tas kresek yang sulit didaur ulang. Menurut Ovy, plastik lunak yang dijadikan kemasan isi ulang sampo dan sabun juga tergolong sampah yang sulit didaur ulang. “Kami berpikir, kalau sampah ini enggak bisa didaur ulang, berarti kita akan meninggalkannya untuk generasi berikutnya.”

Ovy, yang keluarganya sudah 30 tahun memiliki perusahaan pencetakan bahan bangunan, pun mencoba mendaur ulang sampah plastik tersebut menjadi bahan bangunan. Ia memulai bisnis ini karena ingin hidupnya bermakna. “Dengan riset dan proses yang panjang dan banyak gagalnya, kami merasa selama yang kami lakukan itu baik, kami maju terus. Kami bersyukur saat ini menjadi lebih baik,” tutur Ovy, yang kini memiliki sepuluh karyawan.

Tak sulit bagi Rebricks untuk mendapatkan bahan baku karena jumlah sampah selalu melimpah. Melalui kampanye di media sosial, mereka memperoleh pasokan sampah melalui sejumlah titik pengumpulan. Ovy berharap Rebricks bisa memiliki banyak cabang di kota lain untuk membantu pengolahan sampah tertolak. Ovy mengatakan produknya punya kekuatan sama dengan produk konvensional, yaitu 250 kilogram per meter persegi.

Rebricks memasarkan produk melalui media sosial dan situs perusahaan. Pemasaran dilakukan dari mulut ke mulut. Target pasarnya pengguna langsung bahan bangunan, seperti pengembang, arsitek, dan perusahaan. “Saat ini kami sudah banyak customer. Paling jauh di Merak, Depok, dan Bogor,” ujar Ovy, yang optimistis bisnis tersebut bakal berkembang.

Sampah juga mengusik Hafiz Waliyuddin. Resah terhadap pengelolaan sampah di Pontianak, ia mendirikan perusahaan rintisan digital Angkuts pada 22 Mei 2016, saat masih menjadi mahasiswa teknik informatika Universitas Tanjungpura, Pontianak. Angkuts bertujuan menghubungkan pihak-pihak yang berkaitan dengan sampah, seperti pemulung, masyarakat umum, dan tempat pengolahan sampah.

Gagasan Hafiz tentang pengolahan sampah itu pernah dianggap sulit diwujudkan oleh juri Program Kreativitas Mahasiswa Kementerian Riset dan Teknologi. Hafiz tak menyerah. Ia kemudian mengikutkan karya tulisnya tentang sampah ke berbagai lomba sejak 2014. Namun penilaian para juri sama: ide Hafiz sulit diwujudkan. Hafiz, 28 tahun, akhirnya mengembangkan sendiri aplikasi untuk mewujudkan idenya. “Cita-cita saya bisa bikin trash management seperti yang ada di luar negeri,” katanya, Selasa, 30 November lalu.

Angkuts memberikan layanan jasa angkutan sampah berlangganan bulanan. Angkuts sedang mengembangkan jasa angkutan sampah sekali angkut dan fitur bank sampah. Hafiz mengatakan model kerja sama Angkuts bisa business-to-customer, business-to-business, bahkan business-to-government. Angkuts menjalankan pola kemitraan dengan pengemudi melalui skema berbagi keuntungan atau mengambil komisi dari setiap transaksi di Angkuts.

Sejak pagebluk merebak di Tanah Air, Angkuts tak lagi memiliki kantor dan menerapkan sistem bekerja dari mana saja. Selain karena situasi pandemi, sistem ini diterapkan untuk menekan biaya operasional. Hafiz kini sedang membenahi aplikasi Angkuts. “Versi pertama yang ada di Google Play Store masih sederhana. Saat ini proses mengembangkan versi kedua,” tuturnya.

Kini Angkuts memiliki empat kendaraan operasional berupa sepeda motor yang dilengkapi bak pengangkut sampah berwarna merah. Pengemudinya mengenakan seragam berwarna hijau yang sekilas mirip pengojek daring. Bermodal empat kendaraan, Angkuts bekerja sama dengan bank sampah milik Pemerintah Kota Pontianak, petugas kebersihan swasta, dan pemulung.

Hafiz menganggap sistem ini lebih praktis dan mudah. Pengendara Angkuts bisa mendapatkan keuntungan hingga Rp 6 juta per bulan. “Wajar saja, karena banyak pelanggan bisnis. Tarifnya Rp 50-500 ribu per bulan, untuk rumah tangga ataupun bisnis,” ucap Hafiz, yang terinspirasi layanan ojek daring.

Hafiz Waliyuddin (tengah bawah) bersama karyawan Angkuts di Pontianak/Tempo/Aseanty Pahlevi

Pengendara Angkuts tak punya pangkalan khusus. Mereka beroperasi dari rumah masing-masing. Jam kerja mereka sama dengan waktu yang ditetapkan untuk membuang sampah ke tempat pembuangan sampah sementara yang diberlakukan pemerintah kota, yaitu sejak pukul 6 sore hingga pukul 6 pagi. 

Angkuts melayani lebih dari 200 rumah tangga dan beberapa pelanggan bisnis, dari rumah kos, rumah makan, hingga perkantoran. Calon pelanggan dapat menggunakan jasa Angkuts dengan menginstal aplikasinya. Setelah calon pelanggan terdaftar, petugas layanan pelanggan Angkuts akan mengkonfirmasi mitra pengemudi di area calon pelanggan itu untuk mengangkut sampah dan menyesuaikan jadwal. Pembayaran dilakukan setiap awal bulan. “Per hari kami mampu mengangkut sampah kurang-lebih 2 ton,” ujar Hafiz. Sampah tersebut dikirim ke tempat pembuangan sampah yang disediakan pemerintah.

Sejak berdiri, Angkuts beberapa kali mengubah model bisnis. Model bisnis saat ini dijalankan sejak 2018. Hafiz memilih model ini untuk mengatasi masalah sampah yang kompleks. “Kami memilih menyelesaikan dulu di segmen kesejahteraan tukang sampah. Tujuannya, mereka mendapat pembayaran yang layak dan menjadi layanan yang profesional,” katanya.

Hafiz melirik potensi daur ulang sampah ketika menggagas Angkuts. Data Dinas Lingkungan Hidup Kota Pontianak menyebutkan, dari 400 ton sampah per hari, 30 persen adalah sampah plastik. Konsep membeli sampah yang terpilah dari rumah tangga dengan iming-iming penghasilan lebih bagi warga belum efektif. “Kalau menunggu warga mengubah kebiasaan mereka, tidak jalan-jalan bisnisnya,” ucapnya. Keberadaan Angkuts perlahan-lahan mengubah kebiasaan masyarakat. Mereka tidak lagi membuang sampah sembarangan.

Angelia, 35 tahun, merasa terbantu dengan keberadaan Angkuts. “Jadwal pengangkutan tepat waktu dan jika ada kendala dalam penjemputan sampah dikabari via WhatsApp oleh adminnya,” tutur warga Kotabaru, Pontianak, yang berlangganan Angkuts sejak 2017 itu.

Ia merasa puas terhadap pelayanan Angkuts dan berharap perusahaan itu dapat menjadi lebih baik. Ia pun berharap Angkuts bisa bertransformasi menjadi bank sampah atau pendaur ulang sampah anorganik.

JATI MAHATMAJI, SITI HASANAH GUSTIYANI, HAFSAH CHAIRUNISSA, ASEANTY PAHLEVI (PONTIANAK)
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus