Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Lingkungan

Menggali sisa kerajaan

Perusakan terhadap situs bersejarah di trowulan. pertemuan ilmiah arkeologi (pia) di ciloto membicarakan penyelamatan benda purbakala. (ling)

4 Juni 1983 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DESA Trowulan, Sentonorejo, dan Temon, yang terletak sekitar 10 km sebelah barat Mojokerto, Jawa Timur, sudah berabad-abad dikenal sebagai tanah subur loh jinawi -- apa saja yang ditanam di sana akan menjadi. Daerah ini, menurut kepercayaan penduduk, membawa berkah karena bekas tempat kerajaan. Tapi kini penduduk di kawasan situs Kerajaan Majapahit itu tak lagi menanam. Mereka menggantungkan hidup dari menggali bata merah sisa-sisa kerajaan. "Ada bata, ambil bata," ujar seorang penduduk Sentonorejo. "Ada kreweng (pecahan genteng), ya ambil kreweng." Ia mengaku dari menjual bata merah tumbuk dapat penghasilan sekitar Rp 1.000 per hari. "Dulu puluhan truk masuk Trowulan," cerita Lurah Desa Trowulan Daib. "Mencari bata merah tumbuk." Tak heran bila, waktu itu, setiap jengkal yang diduga ada bata merahnya digali penduduk. Kegiatan menambang uang dari bata purba baru mereka kurangi begitu ada ketetapan pemerintah, yang dikeluarkan sekitar 1979, bahwa areal seluas 56.000 m2 (luas dugaan pusat Kerajaan Majapahit) di Trowulan dijadikan kawasan perlindungan cagar budaya nasional. Tapi permintaan konsumen akan bata merah tumbuk dari Trowulan, Sentonorejo, dan Temon, yang terkenal punya daya rekat baik, tak berkurang. Tentu saja transaksi dilakukan diam-diam. Kamis malam pekan lalu, menurut pengakuan seorang warga Sentonorejo, ada 10 truk yang mengangkut bahan semen merah itu dari desanya. Tiap truk berisi sekitar lima kubik bata tumbuk. "Masalahnya cukup rumit. Karena menyangkut masalah periuk nasi," ujar Camat Trowulan Suharijono. Menurut Dr.R.P. Soejono, kepala Pusat Penelitian Arkeologi Nasional (PPAN) dan juga ketua Ikatan Arkeologi Indonesia (IAI), kalau hendak menyelamatkan situs Kerajaan Majapahit, terlebih dulu harus menghilangkan nilai ekonomis bata merah tersebut. Antara lain, jangan sampai ada pabrik semen merah di sekitar situ. "Kalau tak laku dijual," demikian Soejono, "buat apa rakyat capek-capek menggali bata." Pencari bata merah kuno memang tak bisa dipisahkan dengan pabrik semen merah. Di sekitar kawasan tersebut, ada 15 pabrik penggilingan bata merah. Masing-masing di Kecamatan Trowulan, Mojosari, dan Mojoagung. Dan pabrik-pabrik itulah konsumen utama semen merah asal Majapahit tersebut. Produksi rata-rata mereka adalah sekitar 1 ton per hari dan dengan harga jual Rp 100 per bungkus berisi 5 kg. Kabag Penyuluhan dan Dokumentasi Dinas Suaka Peninggalan Sejarah & Purbakala, Jawa Timur, Soejono Ws. menandaskan situs dari zoning A (tempat yang frekuensi peninggalan sejarahnya padat) sudah hancur. Menurut Moendardjito, arkeolog dan dosen jurusan Arkeologi FS-UI, Jakarta, kawasan ideal bebas dati pemukiman penduduk dan penggalian liar adalah dalam radius 10 km. Alasannya: dalam radius itu banyak ditemukan peninggalan purba lainnya seperti Candi Brahu, dan Bajangratu. Kini masalahnya, apakah penduduk dari situs radius 10 km itu -- yang jumlahnya ratusan ribu -- harus dipindahkan? Kepala PPAN Soejono kurang setuju rakyat harus dipindahkan jika hanya untuk menyelamatkan Trowulan. "Kalau areal itu dibebaskan pun, kita akan menerima bekas bongkaran melulu," katanya. Pertemuan Ilmiah Arkeologi (PIA) III di Ciloto, Jawa Barat, pekan lalu, juga cukup ramai memperbincangkan mana yang harus diselamatkan: situs sejarah atau pembangunan. Drs. Soediman dari Universitas Gajah Mada, Yogyakarta, dalam makalahnya yang berjudul Peranan Arkeologi dalam Pembangnan Nasional mengungkapkan banyak contoh. Misalnya, pembangunan pabrik urea (Pusri II) di Palembang, diperkirakan ada di atas situs ibu kota Sriwijaya -- yang hingga kini belum ketemu di mana letaknya. Tapi itu terpaksa harus direlakan. Menyelamatkan situs sejarah memang tak mudah. Sebagian besar arkeolog yang ambil bagian di PIA III mengakui "pembangunan memang menimbulkan dampak negatif terhadap situs bersejarah." Tapi itu tidak hanya terjadi di Indonesia. Menurut Soediman, di California, AS, setiap tahunnya sekitar 1.000 situs rusak atas nama pembangunan. "Di Indonesia, masalah situs belum kiamat kok," kata Uka Tjandrasasmita, direktur Direktorat Perlindungan & Pembinaan Sejarah dan Purbakala Departemen P & K. Ia mengambil contoh pemugaran situs bekas kerajaan Islam, Banten, yang terletak sekitar 10 km dari Serang. Sebanyak 94 kepala keluarga dengan suka rela mau juga dipindahkan. Yang lebih menggembirakan Uka adalah makin besarnya perhatian pemerintah akan peninggalan bersejarah. Sebelum waduk Cirata, Jawa Barat, dibangun, pemerintah terlebih dulu minta dilakukan penelitian arkeologi di lokasi itu. Setelah beberapa arca diselamatkan dan situs didokumentasikan barulah wilayah itu ditenggelamkan. "Tak semua situs harus dipugar, kan," kata Uka. Di Departemen P & K terdaftar 2.885 situs dan bangunan kuno yang perlu didokumentasikan -- kalau bisa diselamatkan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus