DESA Trowulan, Sentonorejo, dan Temon, yang terletak sekitar 10
km sebelah barat Mojokerto, Jawa Timur, sudah berabad-abad
dikenal sebagai tanah subur loh jinawi -- apa saja yang ditanam
di sana akan menjadi. Daerah ini, menurut kepercayaan penduduk,
membawa berkah karena bekas tempat kerajaan. Tapi kini penduduk
di kawasan situs Kerajaan Majapahit itu tak lagi menanam. Mereka
menggantungkan hidup dari menggali bata merah sisa-sisa
kerajaan. "Ada bata, ambil bata," ujar seorang penduduk
Sentonorejo. "Ada kreweng (pecahan genteng), ya ambil
kreweng." Ia mengaku dari menjual bata merah tumbuk dapat
penghasilan sekitar Rp 1.000 per hari. "Dulu puluhan truk masuk
Trowulan," cerita Lurah Desa Trowulan Daib. "Mencari bata merah
tumbuk." Tak heran bila, waktu itu, setiap jengkal yang diduga
ada bata merahnya digali penduduk. Kegiatan menambang uang dari
bata purba baru mereka kurangi begitu ada ketetapan pemerintah,
yang dikeluarkan sekitar 1979, bahwa areal seluas 56.000 m2
(luas dugaan pusat Kerajaan Majapahit) di Trowulan dijadikan
kawasan perlindungan cagar budaya nasional.
Tapi permintaan konsumen akan bata merah tumbuk dari Trowulan,
Sentonorejo, dan Temon, yang terkenal punya daya rekat baik, tak
berkurang. Tentu saja transaksi dilakukan diam-diam. Kamis malam
pekan lalu, menurut pengakuan seorang warga Sentonorejo, ada 10
truk yang mengangkut bahan semen merah itu dari desanya. Tiap
truk berisi sekitar lima kubik bata tumbuk. "Masalahnya cukup
rumit. Karena menyangkut masalah periuk nasi," ujar Camat
Trowulan Suharijono.
Menurut Dr.R.P. Soejono, kepala Pusat Penelitian Arkeologi
Nasional (PPAN) dan juga ketua Ikatan Arkeologi Indonesia (IAI),
kalau hendak menyelamatkan situs Kerajaan Majapahit, terlebih
dulu harus menghilangkan nilai ekonomis bata merah tersebut.
Antara lain, jangan sampai ada pabrik semen merah di sekitar
situ. "Kalau tak laku dijual," demikian Soejono, "buat apa
rakyat capek-capek menggali bata."
Pencari bata merah kuno memang tak bisa dipisahkan dengan pabrik
semen merah. Di sekitar kawasan tersebut, ada 15 pabrik
penggilingan bata merah. Masing-masing di Kecamatan Trowulan,
Mojosari, dan Mojoagung. Dan pabrik-pabrik itulah konsumen utama
semen merah asal Majapahit tersebut. Produksi rata-rata mereka
adalah sekitar 1 ton per hari dan dengan harga jual Rp 100 per
bungkus berisi 5 kg.
Kabag Penyuluhan dan Dokumentasi Dinas Suaka Peninggalan Sejarah
& Purbakala, Jawa Timur, Soejono Ws. menandaskan situs dari
zoning A (tempat yang frekuensi peninggalan sejarahnya padat)
sudah hancur. Menurut Moendardjito, arkeolog dan dosen jurusan
Arkeologi FS-UI, Jakarta, kawasan ideal bebas dati pemukiman
penduduk dan penggalian liar adalah dalam radius 10 km.
Alasannya: dalam radius itu banyak ditemukan peninggalan purba
lainnya seperti Candi Brahu, dan Bajangratu. Kini masalahnya,
apakah penduduk dari situs radius 10 km itu -- yang jumlahnya
ratusan ribu -- harus dipindahkan? Kepala PPAN Soejono kurang
setuju rakyat harus dipindahkan jika hanya untuk menyelamatkan
Trowulan. "Kalau areal itu dibebaskan pun, kita akan menerima
bekas bongkaran melulu," katanya.
Pertemuan Ilmiah Arkeologi (PIA) III di Ciloto, Jawa Barat,
pekan lalu, juga cukup ramai memperbincangkan mana yang harus
diselamatkan: situs sejarah atau pembangunan. Drs. Soediman dari
Universitas Gajah Mada, Yogyakarta, dalam makalahnya yang
berjudul Peranan Arkeologi dalam Pembangnan Nasional
mengungkapkan banyak contoh. Misalnya, pembangunan pabrik urea
(Pusri II) di Palembang, diperkirakan ada di atas situs ibu kota
Sriwijaya -- yang hingga kini belum ketemu di mana letaknya.
Tapi itu terpaksa harus direlakan.
Menyelamatkan situs sejarah memang tak mudah. Sebagian besar
arkeolog yang ambil bagian di PIA III mengakui "pembangunan
memang menimbulkan dampak negatif terhadap situs bersejarah."
Tapi itu tidak hanya terjadi di Indonesia. Menurut Soediman, di
California, AS, setiap tahunnya sekitar 1.000 situs rusak atas
nama pembangunan.
"Di Indonesia, masalah situs belum kiamat kok," kata Uka
Tjandrasasmita, direktur Direktorat Perlindungan & Pembinaan
Sejarah dan Purbakala Departemen P & K. Ia mengambil contoh
pemugaran situs bekas kerajaan Islam, Banten, yang terletak
sekitar 10 km dari Serang. Sebanyak 94 kepala keluarga dengan
suka rela mau juga dipindahkan.
Yang lebih menggembirakan Uka adalah makin besarnya perhatian
pemerintah akan peninggalan bersejarah. Sebelum waduk Cirata,
Jawa Barat, dibangun, pemerintah terlebih dulu minta dilakukan
penelitian arkeologi di lokasi itu. Setelah beberapa arca
diselamatkan dan situs didokumentasikan barulah wilayah itu
ditenggelamkan. "Tak semua situs harus dipugar, kan," kata Uka.
Di Departemen P & K terdaftar 2.885 situs dan bangunan kuno yang
perlu didokumentasikan -- kalau bisa diselamatkan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini