KONDOM ternyata tak hanya alat mencegah kehamilan. Malah
sebaliknya. Dokter Arif Adimoeljo Msc., kepala seksi Andrologi
Bagian Biologi FK Universitas Airlangga, belum lama ini
menemukan, bahwa alat yang populer di kalangan para akseptor KB
itu dapat menyuburkan pasangan suami-istri yang ingin memperoleh
keturunan.
Penemuan dokter kelahiran Wonosobo (Ja-Teng) 33 tahun yang lalu
itu, tampaknya untuk pertama kalinya terjadi di Indonesia.
Pertengahan tahun lalu ia telah mengemukakan penemuan itu dalam
sebuah ceramah di International Congress of Therapy in Andrology
di Universitas Pisa, Italia. Dari ceramah yang kemudian
dipublikasikan itu, penemuan itu dimasukkan Hopkins Population
Center di The John Hopkins University, AS, ke dalam index
medicus sebagai penemuan baru.
Arif memulai penelitiannya sejak 4 tahun lalu. Ia memilih 39
kasus dari lebih 500 kasus kemandulan yang berkonsultasi ke
Seksi Andrologi FK Airlangga Surabaya. Dari kasus-kasus pilihan
itu, 10 di antaranya berhasil mendapat keturunan melalui terapi
kondom.
Untuk menerangkan terapi kondomnya, Arif Adimoeljo mengungkapkan
sepasang suami-istri yang sudah hampir putus asa karena setelah
5 tahun nikah tak mempunyai keturunan. Beberapa dokter ahli tak
bisa menjelaskan sebab-sebab kemandulan (unexplained
infertility).
Arif kemudian menerapkan terapi kondom kepada pasangan ini
setelah diketahui sperma dapat menembus serviks (leher) vagina.
Masalahnya cuma, terjadi immunisasi -- bisa dari pihak istri
maupun suami -- sehingga pembuahan tidak pernah bisa berhasil.
Arif kemudian memerintahkan si suami menggunakan kondom kalau
bersanggama. Hal ini berlaku selama 6 bulan, karena si istri
immun terhadap sperma suami. Setelah tingkat immunisasi istri
turun, kondom disingkirkan. Dan si istri bisa hamil!
Di luar negeri, Franken dan Slabber telah memulai eksperimennya
tentang hal ini. Dalam majalah Andrologia Juli 1979, mereka
menerangkan tentang terapi kondom ini. Pihak istri mengalami
pemeriksaan antibodi lewat darah (antibody titer). Setelah
pengobatan selama 7 bulan dan di saat aktivitas antibodi
menurun, dilakukanlah insemenasi buatan. Arif tidak menyebutkan
adanya insemenasi buatan, tetapi cuma menyebutkan sanggama tanpa
kondom dilakukan di kala masa subur sang istri. Kalau istri
kemudian tidak mendapatkan haid, dilakukan tes kehamilan.
Meskipun kegagalan cukup besar (74%), menurut Arif ke-39
pasangan yang diperiksa itu mempunyai masa perkawinan dari 2
sampai 9 tahun.
Antibodi (zat kebal yang dibentuk tubuh bila ada benda asing)
terhadap sperma dapat terbentuk pada pria dan di pihak wanita
sebagai penerima sperma (isoantibodi). Terapi kondom yang
dilakukan Arif, menurut Arjatmo Tjokronegoro, Ph.D., "pada
prinsipnya mencegah sperma pria yang merupakan rangsangan
pembentukan antibodi dalam tubuh wanita." Arjatmo yang menjabat
Koordinator Penelitian Biologi FK-UI juga menerangkan bahwa
pemakaian kondom dalam jangka tertentu memang dapat menurunkan
isoantibodi. Hanya masalahnya, "mencari aspek immunologi itu
sulit dan rumit," lanjutnya lagi. Sebab harus dengan telaten
sekali dicari lewat pemeriksaan laboratorium, belum lagi harus
dilihat yang punya antibodi itu suami atau istri, dan hal-hal
lain yang njelimet.
Penyebab unexplained infertility, selain immunitas, bisa juga
karena bakteri mycoplasma, virus, dan infeksi. Pada
kenyataannya, proses prokreasi bisa gagal karena sperma tidak
dapat menembus saluran telur wanita. Kalau proses ini terjadi,
tiba-tiba saja sperma yang jutaan jumlahnya itu kontan tidak
bergerak, diam. Bisa juga terjadi penggumpalan sperma, begitu
sperma berkenalan dengan "getah" di serviks vagina.
Di Indonesia, sementara masalah KB lebih digalakkan dibandingkan
dengan menyuburkan pasangan mandul, penelitian tentang
kemandulan belum begitu mendalam. Tapi agaknya penemuan Arif
bisa lebih dikembangkan -- dengan tidak perlu "melukai"
kegencaran para petugas KB mengincar akseptor. Sebab di
Indonesia tak sedikit pula pasangan yang harus disuburkan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini