Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kesehatan

Mendapat Anak Dengan Kondom

Kemandulan dapat dicegah dengan kondom, dr. Arif Adimoeljo untuk pertama kali menemukan terapinya lewat penelitian. (ksh)

4 Juni 1983 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KONDOM ternyata tak hanya alat mencegah kehamilan. Malah sebaliknya. Dokter Arif Adimoeljo Msc., kepala seksi Andrologi Bagian Biologi FK Universitas Airlangga, belum lama ini menemukan, bahwa alat yang populer di kalangan para akseptor KB itu dapat menyuburkan pasangan suami-istri yang ingin memperoleh keturunan. Penemuan dokter kelahiran Wonosobo (Ja-Teng) 33 tahun yang lalu itu, tampaknya untuk pertama kalinya terjadi di Indonesia. Pertengahan tahun lalu ia telah mengemukakan penemuan itu dalam sebuah ceramah di International Congress of Therapy in Andrology di Universitas Pisa, Italia. Dari ceramah yang kemudian dipublikasikan itu, penemuan itu dimasukkan Hopkins Population Center di The John Hopkins University, AS, ke dalam index medicus sebagai penemuan baru. Arif memulai penelitiannya sejak 4 tahun lalu. Ia memilih 39 kasus dari lebih 500 kasus kemandulan yang berkonsultasi ke Seksi Andrologi FK Airlangga Surabaya. Dari kasus-kasus pilihan itu, 10 di antaranya berhasil mendapat keturunan melalui terapi kondom. Untuk menerangkan terapi kondomnya, Arif Adimoeljo mengungkapkan sepasang suami-istri yang sudah hampir putus asa karena setelah 5 tahun nikah tak mempunyai keturunan. Beberapa dokter ahli tak bisa menjelaskan sebab-sebab kemandulan (unexplained infertility). Arif kemudian menerapkan terapi kondom kepada pasangan ini setelah diketahui sperma dapat menembus serviks (leher) vagina. Masalahnya cuma, terjadi immunisasi -- bisa dari pihak istri maupun suami -- sehingga pembuahan tidak pernah bisa berhasil. Arif kemudian memerintahkan si suami menggunakan kondom kalau bersanggama. Hal ini berlaku selama 6 bulan, karena si istri immun terhadap sperma suami. Setelah tingkat immunisasi istri turun, kondom disingkirkan. Dan si istri bisa hamil! Di luar negeri, Franken dan Slabber telah memulai eksperimennya tentang hal ini. Dalam majalah Andrologia Juli 1979, mereka menerangkan tentang terapi kondom ini. Pihak istri mengalami pemeriksaan antibodi lewat darah (antibody titer). Setelah pengobatan selama 7 bulan dan di saat aktivitas antibodi menurun, dilakukanlah insemenasi buatan. Arif tidak menyebutkan adanya insemenasi buatan, tetapi cuma menyebutkan sanggama tanpa kondom dilakukan di kala masa subur sang istri. Kalau istri kemudian tidak mendapatkan haid, dilakukan tes kehamilan. Meskipun kegagalan cukup besar (74%), menurut Arif ke-39 pasangan yang diperiksa itu mempunyai masa perkawinan dari 2 sampai 9 tahun. Antibodi (zat kebal yang dibentuk tubuh bila ada benda asing) terhadap sperma dapat terbentuk pada pria dan di pihak wanita sebagai penerima sperma (isoantibodi). Terapi kondom yang dilakukan Arif, menurut Arjatmo Tjokronegoro, Ph.D., "pada prinsipnya mencegah sperma pria yang merupakan rangsangan pembentukan antibodi dalam tubuh wanita." Arjatmo yang menjabat Koordinator Penelitian Biologi FK-UI juga menerangkan bahwa pemakaian kondom dalam jangka tertentu memang dapat menurunkan isoantibodi. Hanya masalahnya, "mencari aspek immunologi itu sulit dan rumit," lanjutnya lagi. Sebab harus dengan telaten sekali dicari lewat pemeriksaan laboratorium, belum lagi harus dilihat yang punya antibodi itu suami atau istri, dan hal-hal lain yang njelimet. Penyebab unexplained infertility, selain immunitas, bisa juga karena bakteri mycoplasma, virus, dan infeksi. Pada kenyataannya, proses prokreasi bisa gagal karena sperma tidak dapat menembus saluran telur wanita. Kalau proses ini terjadi, tiba-tiba saja sperma yang jutaan jumlahnya itu kontan tidak bergerak, diam. Bisa juga terjadi penggumpalan sperma, begitu sperma berkenalan dengan "getah" di serviks vagina. Di Indonesia, sementara masalah KB lebih digalakkan dibandingkan dengan menyuburkan pasangan mandul, penelitian tentang kemandulan belum begitu mendalam. Tapi agaknya penemuan Arif bisa lebih dikembangkan -- dengan tidak perlu "melukai" kegencaran para petugas KB mengincar akseptor. Sebab di Indonesia tak sedikit pula pasangan yang harus disuburkan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus