MONUMEN Nasional kini sedang sakit. Sekalipun pengunjung Monas --tahun lalu hampir 900.000 orang -- belum disetop, perbaikan berat untuk menyelamatkan tugu yang terletak di seputar Jalan Merdeka, Jakarta, itu kini sedang dilakukan. Badan monumen setinggi 115 meter (plus lidah api berbalut emas setinggi 14 meter), ternyata "kurapan" karena cendawan. Namun, yang membuat monumen itu kini makan ongkos untuk perbaikan lebih dari Rp 1,3 milyar -- jumlah yang diproyeksikan akan menggelembung menjadi Rp 4 milyar -- bukan karena cuma penyakit di tubuhnya itu. Yang lebih parah terutama ruang museumnya yang berada 3 meter di bawah permukaan halaman monumen mengalami kerusakan. Ruang bawah tanah itu sejak 1979 menerima rembesan air dari enam penjuru. Dari empat sisi samping, sisi atas yang pada SiSl luarnya ada anak tangga, dan lantai bawah. Rembesan air hujan dan air tanah itu cukup merisaukan. Pernah bahkan, tanggal 11 Maret 1977, ruang museum tergenang air sampai setengah meter. Tepat ketika ruang diorama yang menggambarkan peristiwa Supersemar itu akan diresmikan. Akibatnya, cat dalam gambar diorama retak dan mengelupas. Bahan kayunya juga ada yang dimangsa serangga. Beberapa bahan logamnya, ada tanda-tanda teroksidasi. Marmar pada cawan, badan monumen, dan pelataran puncak kini berjamur serta timbul bercak-bercak cokelat. Sedangkan alat pendingin ruang museum -- yang selalu dihidupkan -- tidak seluruhnya bisa berfungsi. Ketika Monumen Nasional dibuat (upacara pemancangan tiang pertama 17 Agustus 1961 dan 80% rampung awal 1965), salah satu syaratnya, seperti yang pernah diucapkan oleh Almarhum Bung Karno, harus dapat bertahan sampai 1.000 tahun. Nyatanya belum sampai dua dekade, monumen kebanggaan sudah harus dipugar. Restorasi pertama, makan ongkos Rp 1,3 milyar untuk tahun Anggaran 82/83. Kerusakan yang diprioritaskan waktu itu perembesan harus dibikin seminimum mungkin. Kemudian sistem elektrik dan mekanik pada lift harus diperbaiki. Plafon pada ruangan museum harus dibikin akustik untuk meredam getaran, dan sistem bahaya kebakaran, penangkal petir, dan sistem pembuangan air limbah harus diperbaiki. Penyuntikan semen halus yang direncanakan waktu itu untuk menutup pori-pori tak jadi dilakukan. Sebab, ternyata kerusakan lebih parah dari yang diduga. Lapisan beton terpaksa dibongkar dan dipolesi lapisan beton baru dengan semen kedap air. Pemugaran tahap kedua dimulai lagi sekitar April 1984. Itu masih sekitar pelapisan beton kedap air di pelataran puncak, ruji-ruji besi diremajakan, dan lidah api sebagai lambang semangat perjuangan rakyat Indonesia juga dibersihkan. Lidah api ini terbuat dari 14,5 ton perunggu dan pelapis emas 35 kg. Biaya pemugaran kedua ini waktu itu diproyeksikan Rp 493 juta. Tahap terakhir -- dan diharapkan betul-betul terakhir -- juga disertai pemasangan alat pengurang kelembapan (dehumidifier). Dengan adanya alat pengatur kelembapan ini, udara (terutama dalam ruang diorama) bisa konstan 28C dan RH (relative )umidity) 60%. Sebelumnya, RH mencapai 100% sehingga tumbuh jamur dan cendawan pada benda-benda di dalam museum. Meski begitu, untuk mengatasi perembesan air dari lantai museum hingga kini belum juga ditemukan resep yang ampuh. "Kami belum menemukan cara yang mudah dan murah," ujar seorang staf pemugaran. Sebab itu, dari sudut-sudut yang tersembunyi ada pompa penyedot air, selain dibuat saluran keliling di bawah lantai marmar. Jadi, akan punahkah Monumen Nasional? "Tidak," jawab Soedarsono, 74, arsitek otodidak yang turut menangani pembuatan monumen yang berlinggam dan yoni sebagai simbol dualisme dari alam semesta. Kata arsitek lulusan KWS (Koningin Wilhelmina School, setingkat STM sekarang) ini, "Dari segi konstruksi, Monas masih sangat andal." Biaya pembangunan monumen ini, dulu antara lain dikutip dari restribusi karcis bioskop. Juga tercatat uang Pampasan Perang dan sumbangan masyarakat waktu itu mendekati Rp 6 milyar (uang lama) sebagai dana untuk pembangunan monumen itu. Sedangkan perampungan monumen sesudah tahun 1965 sampai 1979 makan ongkos sekitar Rp 638 juta (uang baru). Lapangan yang jadi jantung Kota Jakarta di tempat monumen berdiri, di aman pemerintahan Gubernur Jenderal Daendels disebut Champ de Mars, lapangan untuk latihan. Tahun 1892 namanya berganti menjadi Koninginsplein, lapangan raja. Treub, yang juga jadi Kepala Kebun Raya Bogor, waktu itu mulai berusaha mengurangi genangan air di lapangan itu dengan menanami beberapa pohon taman. Penduduk kemudian menamakan lapangan tempat orang-orang Belanda mencari angin itu dengan sebutan Lapangan Gambir. Ketika diputuskan pemerintah sebuah tugu nasional harus berdiri di situ, Lapangan Ikada -- namanya kemudian jadi Lapangan Merdeka -- dibersihkan dari berbagai bangunan. Kantor telepon, stadion, press house digusur. Sayembara pembuatan tugu yang monumental pun diumumkan. Hasil sayembara tahun 1955, tak ada yang keluar sebagai pemenang nomor satu. Nomor dua dimenangkan oleh Arsitek (almarhum) F. Silaban. Bung Karno sebagai Ketua Juri tak puas. Diumumkan lagi sayembara kedua, 1960, dan masuk 136 gambar. Hasilnya cuma sampai pemenang ketiga. Bung Karno kemudian menggamit Silaban dan Soedarsono, untuk bersamanya merancang monumen yang harus tahan 1.000 tahun ini. Tugu rampung 9 Agustus 1965 tapi pengisian museum sejarah belum juga bisa disetujui oleh Bung Karno. Akhirnya atas persetujuan Presiden Soeharto bisa juga diselesaikan dalam bentuk diorama. Kerusakan-kerusakan yang terjadi pada monumen itu memang tak bisa dihindari. Perencanaan yang matang ketika pembangunan tugu itu dulu rupanya tak diimbangi dengan teknologi yang memadai. Sekadar flintkote atau semen kedap air yang dipergunakan waktu itu tak bisa membuat kering dinding, lebih-lebih lantai museum. Menurut Soedarsono, lapisan beton yang mengelilingi museum sudah diupayakan sekedap air mungkin. Campuran betonnya khusus, menurut perkiraan bisa tahan lama, tapi toh tetap bocor juga. "Maklum," kata Soedarsono dengan nada minta pengertian, "waktu itu semen tidak selalu ada di pasaran." Toeti Kakiailatu Laporan Putut Tri Husodo & Farida Sendjaja (Jakarta)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini