Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
DARI ketinggian jalan Kelok 44, Kabupaten Agam, Sumatera Barat, arahkan pandangan ke bawah. Nun di sana tampaklah panorama Danau Maninjau nan molek. Airnya tenang berkilau bak kaca. Warna tirta yang kebiruan itu menyemburkan cahaya matahari pagi dengan lembut. Danau vulkanik ini pun kian menawan dengan bayangan bukit terjal yang terpantul jelas di permukaan air. Rancak bana!
Tapi, begitu mendekat ke pinggiran danau seluas 9.737 hektare itu, warna biru dari ketinggian tadi kini berubah kehijauan. Pandangan mata tak mampu menembus ke dasar karena begitu keruh di permukaan. Apatah lagi pasir putih di danau, sama sekali tak tertangkap indra penglihatan. Sebabnya telah tertimbun kotoran ikan dan sisa pakan ikan keramba apung. Ketika angin bertiup, aroma amis mendadak menyergap hidung.
Onde-mande! Ke manakah perginya keindahan Maninjau yang dulu memikat pelancong dari segala penjuru dunia itu? Kecantikan danau ini memang terasa mulai pudar. Jumlah pengunjung menyusut drastis dalam beberapa tahun terakhir. Seperti disaksikan Tempo, Rabu dua pekan lalu, kawasan ini tampak sepi ngelangut. Tak kelihatan wisatawan asing ataupun lokal lalu-lalang di danau sarat legenda ini.
Idham Rajo Bintang, 71 tahun, pemilik Hotel Maninjua Indah, mengeluh usahanya kian sepi seiring dengan menyusutnya kunjungan orang ke Danau Maninjau. Pada hari biasa, hotel berkapasitas 40 kamar itu hanya terisi kurang dari seperlimanya. "Baru ramai kalau Lebaran dan pergantian tahun," kata ayah artis Titi Rajo Bintang tersebut.
Hotel milik Idham beruntung masih mampu beroperasi meski tertatih. Nasib nahas mesti dialami lebih dari 20 bungalo di sekitar Maninjau, yang terpaksa gulung tikar.
Air danau yang keruh, juga bau amis yang menguar, adalah beban yang mesti ditanggung Danau Maninjau. Hampir tiap hari perairan ini diseraki bangkai ikan. Seperti pada Rabu itu, dua pegawai Hotel Maninjau tampak sibuk mengumpulkan ikan mati yang terbawa arus hingga ke pinggir hotel. "Kalau tidak diambil, bau busuknya mengganggu sepanjang hari," kata Idham.
Menurut tokoh masyarakat Maninjau ini, bangkai ikan berasal dari keramba apung. Selain itu, aktivitas di keramba berdampak tercemarnya air danau.
Hafrijal Syandri, ahli perikanan dari Universitas Bung Hatta, Padang, mengatakan indikasi tercemarnya Danau Maninjau sudah terlihat pada akhir 2000. Saat itu terjadi ledakan pertumbuhan alga phytoplankton microcystis, yang bagai hamparan karpet hijau setebal 10 sentimeter menutupi permukaan danau. "Mereka tumbuh karena tingginya tingkat kesuburan perairan," kata Hafrijal, yang meneliti efek jala apung di Maninjau dalam sepuluh tahun terakhir. Kesuburan perairan itu berasal dari bangkai ikan di danau ditambah sisa limbah pakan ikan.
Di Maninjau kini terdapat 16.120 petak keramba apung berukuran 5 x 5 meter. Kehadiran petani keramba ini mulai marak sejak akhir 1990-an. Sebelumnya, pada 1997, terjadi kematian massal ikan keramba akibat umbalan. Saat itu terkumpul tak kurang dari 1.300 ton bangkai ikan.
Menurut Hafrijal, kematian ikan kala itu terjadi karena curah hujan tinggi dan sinar matahari yang tak mampu menembus air danau. Akibatnya, terjadi perbedaan temperatur antara air permukaan dan dasar. Panas di permukaan, dingin di dasar.
Ketika berembus angin kencang, terjadilah pengadukan dari sisa pakan yang mengendap di dasar danau. Sisa pakan ini mengendap dalam bentuk senyawa fosfat dan nitrogen ditambah belerang. Limbah lalu naik ke permukaan hingga menyebabkan perairan miskin oksigen. "Inilah penyebab kematian ikan secara massal itu," kata ÂHafrijal. Hingga kini kematian massal seperti itu masih terjadi setiap musim hujan.
Hafrijal menghitung jumlah pakan yang masuk ke danau dari aktivitas keramba jala apung pada 2013 sebanyak 800 ton setiap bulan. Sisa pakan lalu membuat kondisi air danau tercemar berat. "Sejak 2001 sampai sekarang sudah ada lebih dari 111 ribu ton sedimentasi limbah pakan yang terperangkap di dasar danau," kata Hafrijal. Sedimentasi itu terjebak di bagian dalam hingga pinggir danau dengan ketebalan mencapai 1 meter.
Kondisi semakin parah karena Danau Maninjau memiliki kedalaman 168 meter, sehingga mengakibatkan masa tinggal air lebih lama, yakni 25 tahun. Walhasil, sedimentasi limbah pun ikut ngendon berlama-lama. "Waduk Cirata juga punya banyak keramba jala apung, tapi waktu tinggal air di sana hanya sembilan bulan," kata Hafrijal. Di Cirata, air waduk berasal dari sungai yang mengalir cepat. Sedangkan sumber air Maninjau dari bawah tanah. Padahal aliran air keluar hanya melalui Sungai Batang Antokan, yang dipakai PLTA Maninjau.
Nah, komplet bukan? Gabungan dari semua keadaan itu akhirnya menyebabkan kemolekan Maninjau kini memudar. Bukan hanya air danau yang mulai keruh dan bangkai ikan yang membuat pemandangan tak sedap. Maninjau bahkan tak bisa lagi dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Saking buruknya mutu air danau, orang kini tak bisa menggunakan lagi untuk mandi, apalagi minum.
Kisah miris belum usai. Maninjau juga telah kehilangan penghuni aslinya, yakni sebagian dari 17 jenis ikan endemik. Dari jumlah itu, kini tinggal delapan jenis yang bisa ditemukan. Mereka yang punah antara lain ikan garing, lelan, gasan, dan baung. "Yang tersisa misalnya lokan dan pensi, yang ukurannya menjadi lebih besar," kata Hafrijal.
Maninjau, oh, Maninjau, akankah nasibmu kian merana oleh kegiatan keramba jala apung? Rupanya, pemerintah setempat tak ingin danau kebanggaannya semakin telantar. Bupati Agam Indra Catri mengaku sudah membuat peraturan daerah tentang pengelolaan dan pelestarian danau untuk penyelamatan Maninjau. "Namun peraturan daerah itu masih dievaluasi Gubernur Sumatera Barat, jadi belum dijalankan," katanya kepada Tempo.
Dengan peraturan daerah, nantinya akan dilakukan pembatasan jumlah keramba jala apung. Per rumah tangga petani nantinya paling banyak hanya boleh memiliki 16 petak. Sudah dihitung bahwa daya dukung perairan itu maksimal hanya 6.000 petak keramba.
Pemiliknya pun dibatasi dari anak nagari selingkar danau saja. Ini dimaksudkan untuk menghindari serbuan investor bermodal besar. "Kepemilikannya akan kami sensus lagi secara bertahap," kata Indra.
Namun mengurangi jumlah keramba jala apung tak semudah membalikkan telapak tangan. Pasalnya, ada bisnis yang menggiurkan di balik semua ini. Bayangkan, dibutuhkan pasokan pakan ikan hingga 800 ton per bulan untuk wilayah ini. Ini membikin para pemasok mengantongi keuntungan Rp 5,4 miliar saban bulan. Adapun dari penjualan ikan paling sedikit diperoleh Rp 4,3 miliar per bulan. Dahsyat, bukan?
Sebenarnya para pemilik keramba bersedia mengikuti aturan. Yadi Hidayat, salah satu pemilik keramba, menyatakan mau mengurangi usahanya asalkan diperlakukan adil. "Ada yang pemiliknya investor dari luar dan tentara. Apa itu bisa diatur pemerintah?" kata Yadi.
Idham Rajo Bintang mendesak pemerintah secepatnya mengurangi jumlah keramba apung. Dia juga minta para petani dilarang mengubur ikan di dalam danau. Saat itulah, ia yakin, kehidupan pariwisata di sana akan marak lagi.
Ia belum lupa, pada zaman keemasan dulu, Maninjau ibarat Bali kedua. "Para pelancong asing mengaku belum sah ke Indonesia kalau belum datang ke Maninjau," kata Idham mengenang. Ia juga mengimpikan siapa pun bisa bermain ski air lagi seperti saat itu. "Titi dulu juga senang sekali main ski air di sini," ujarnya.
Selama itu belum terwujud, nasib Maninjau akan berski di gelombang ketidakpastian....
Febrianti (Padang)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo