Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
BANK Century yang kini menjadi Bank Mutiara kembali membuat dunia perbankan panas-dingin. Bisik-bisik yang semula terbatas di kalangan bankir menjadi semakin jelas: bank itu mengalami kemerosotan rasio kecukupan modal (CAR ) yang parah, hanya 5,52 persen, per Oktober lalu. Angka itu jauh di bawah ketentuan minimal delapan persen yang ditetapkan Bank Indonesia.
Kekhawatiran bakal terjadi rush alias penarikan besar-besaran dana nasabah pun merebak. Bank lain cemas akan tersambar efek yang tak diharapkan. Untuk meredam kekhawatiran itu, Bank Indonesia meminta Lembaga Penjamin Simpanan menyuntikkan dana Rp 1,5 triliun untuk penyisihan pencadangan aktiva produktif. Dengan begitu, rasio kecukupan modal Bank Mutiara bisa kembali normal.
Apa yang terjadi di Bank Mutiara sesungguhnya pengecualian dari situasi perbankan Indonesia yang relatif sehat. Sesuai dengan data Bank Indonesia per September 2013, rata-rata rasio kecukupan modal bank masih di kisaran 18 persen. Tingkat kredit seret juga terjaga di level 1,86 persen, jauh di bawah ketentuan maksimal lima persen. Jadi tak ada alasan untuk cemas. Pemerintah dan bank sentral harus berada di garda terdepan untuk menjelaskan fakta itu. Obat paling mujarab bagi penyakit panik akibat informasi yang tak jelas adalah keterbukaan.
Fakta bahwa sejumlah perusahaan milik Honggo Wendratno, Mukhamad Misbakhun, dan bekas pemilik Bank Century, Robert Tantular, gagal membayar utang secara bersamaan patut pula dibuka dan diselidiki. Mereka adalah debitor lama yang menerima kucuran kredit saat Bank Mutiara masih bernama Bank Century di bawah komando Robert Tantular.
Badan Pemeriksa Keuangan pernah menyebutkan pembiayaan perdagangan alias letter of credit senilai US$ 22,5 juta yang dikucurkan Bank Century ke PT Selalang Prima Internasional milik Misbakhun penuh patgulipat. Selalang mengajukan pinjaman untuk pengadaan kondensat. Bank Century meminta mengimpor dari Grains and Industrial Product Trading di Singapura. Tapi Selalang malah menanamkan duit US$ 22,5 juta itu ke Kellett Investment Incorporate, perusahaan investasi di Hong Kong. Kellett ambruk akibat krisis ekonomi dunia pada 2008.
Utang debitor lama itu semula macet, kemudian direstrukturisasi oleh manajemen baru pada 2011 dan kembali lancar. Tapi tiba-tiba, April-Mei lalu, mereka menghentikan cicilan pembayaran tanpa penjelasan. Bank Mutiara langsung menggolongkan kredit perusahaan-perusahaan itu dari kolektibilitas dua menjadi lima alias macet. Total utang perusahaan-perusahaan itu mencapai Rp 840 miliar. Ada pula kredit macet di era manajemen baru sebesar Rp 174,8 miliar. Gagal bayar itu membuat tingkat kredit seret Bank Mutiara melonjak jadi 11,69 persen.
Pemerintah dan Bank Indonesia perlu bahu-membahu mengungkap motif pengemplangan kredit secara bersamaan itu. Jika ada indikasi pidana, polisi dan jaksa harus dilibatkan untuk bertindak. Beberapa perusahaan itu sudah seperti pepesan kosong. Bila dipailitkan, potensi pembayarannya nol persen. Untuk meminimalkan kerugian, pemerintah bisa menggugat para debitor itu secara perdata dan meminta pengadilan menyita aset mereka di tempat lain sebagai jaminan.
Ketenteraman dan keamanan nasabah bank harus dijaga. Para penjahat bank tak boleh lagi dibiarkan bebas berkeliaran seolah-olah kebal hukum. Moral hazard itu harus dilawan dengan bahasa yang mereka kenal: bukan kekayaan yang akan mereka peroleh, melainkan kemiskinan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo