Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
KE hutan Peleonan mereka menyuruk. Tapi hujan lebat yang mengguyur Pulau Siberut menghentikan langkah dua lelaki itu. Thomas Ziegler dan Susilo Hadi terpaksa bertahan di rumah penelitian yang dibangun semipermanen. Dalam balutan angin dingin yang berdesis, dua peneliti dari Pusat Primata Universitas- Gottingen, Jerman, itu menunggu d-e-ngan membuat herbarium.
Herbarium tersebut berisi sekitar 200 tangkai, daun, dan bunga yang dipetik- di hutan Peleonan. Seluruhnya di-su-sun di atas lembaran koran, dijepit- bam-bu, lalu dibiarkan mengering selama bebe-rapa bulan. ”Herbarium ini untuk- menge-tahui jenis tumbuhan yang hidup- di habitat monyet sekaligus jenis makanan mereka,” kata Susilo.
Satu jam kemudian, hujan reda. Mentari pagi mulai bersinar dari kaki langit. Kedua lelaki itu mengganti baju, memakai sepatu bot, dan mengambil teropong. Susilo memilih kaus berwarna oranye, sedangkan Thomas putih. Sejurus berikutnya mereka sudah bergegas masuk ke hutan.
Setelah berjalan dua jam, mereka me-nemukan apa yang dicari. Lengkingan bilou alias siamang kerdil (Hylobates klosii) dan simakobu (Nasalis concolor siberu) terdengar dari balik pohon-pohon durian setinggi 40 meter. Tidak terusik dengan kehadiran dua lelaki itu, lima simakobu melahap bunga durian yang lezat.
Susilo tersenyum. ”Tahun lalu, kalau kami mendekat, monyet-monyet itu lari. Sekarang, setiap kami lewat, mereka berteriak seperti sedang meledek,” tutur pengajar di Jurusan Biologi Universitas Gadjah Mada ini. Triknya, kata lelaki 38 tahun tersebut, adalah mengenakan baju berwarna sama setiap kali masuk hutan, agar dikenal.
Thomas ganti mengisahkan, mereka berdua memulai penelitian primata di hutan Peleonan sejak 2003 dalam program Siberut Conservation. Sepanjang tiga tahun ini mereka telah mengamati tingkah laku primata dan meneliti kotorannya untuk mengetahui hormon, ma-kanan, dan parasit yang menempel di tubuh primata.
Menurut Thomas, bersama bilou dan simakobu, di pulau seluas 403 ribu hektare tersebut juga hidup spesies primata joja alias lutung Mentawai (Presbytis potenziani siberu) dan bokkoi (Macaca pagensis). Keempatnya adalah primata langka yang di seluruh dunia hanya ada di Kepulauan Mentawai.
Temuan yang menarik dalam peneli-ti-an ini, menurut pria 40 tahun tersebut, adalah kemampuan keempat spesies primata hi-dup bersama di hutan Peleo-n-an, yang luasnya ha-nya 4.000 hektare. Fakta ini ber-tentangan dengan te-ori bahwa dua spesies tidak bisa hidup bersama ke-tika menggunakan tempat yang sama.
”Dua spesies monyet bisa hidup bersama di tempat kecil seperti ini di dunia hanya ada di Mentawai,” kata dia. Kesimpulan sementara, keempat primata tersebut memakan bagian pohon yang berbeda di pohon yang sama. Ada yang memakan buah, daun, ranting-, atau bunganya.
Namun, ketenangan primata itu kini terganggu. Pemerintah menerbitkan izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu kepada PT Salaki Summa Sejahtera. Hampir seluruh kawasan hutan Peleonan termasuk di dalam 49.440 hektare areal kerja perusahaan tersebut.
Di Siberut sendiri saat ini sedang ber-ope-rasi PT Koperasi Andalas Madani, yang memegang izin pemanfaatan hutan- sejak 2001. Perusahaan hasil kerja sa-ma antara Universitas Andalas dan swasta ini memiliki areal kerja 49.650 hektare.
Beroperasinya dua perusahaan penebang hutan itu membuat Thomas waswas. Ia khawatir pohon-pohon besar seperti meranti, kruing, dan katuka akan lenyap dari bumi Siberut, dan monyet khas daerah itu akan kehilang-an rumah dan makanan. Selanjutnya mudah di-tebak, populasi monyet langka itu akan menyusut drastis.
Saat ini saja populasi empat primata penting Siberut itu sudah merosot. World Wildlife Fund menghitung, pada 1980 jumlah monyet bokkoi diperkira-kan 46.800 ekor dan 18 tahun kemudian tinggal 1.300 ekor. Monyet bilou juga setali tiga uang, pada 1980 jumlahnya diperkirakan 43.200 ekor dan pada 1998 hanya 8.300 ekor. Monyet joja dan simakobu jumlahnya juga tinggal 2.201 ekor dan 1.600 ekor. Pengurangan ini diduga- karena penebangan hutan oleh per-usahaan kayu dan perburuan oleh masyarakat setempat.
Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Sumatera Barat memprotes penerbitan izin itu. Direktur Eksekutif Walhi Sum-Bar, Agus Teguh Prihantono, pada 27 Februari lalu telah mengirim somasi kepada Menteri Kehutanan M.S. Kaban meminta pembatalan izin pembukaan hutan yang diterbitkan pada 2004 oleh pendahulunya, M. Prakosa.
Berdasarkan hasil penelitian Walhi-, diketahui 80 persen wilayah Pulau Siberut rentan terhadap erosi, pelumpur-an, sedimentasi, dan banjir jika tutupan hutan dibuka. ”Dari segi ekonomi, keberadaan perusahaan kayu di Pulau Siberut tidak terbukti meningkatkan ke-sejahteraan masyarakat,” tutur Agus.
Manajer Lapangan UNESCO-Taman Nasional Siberut, Darmanto, mengungkapkan keberadaan perusahaan pengelola hutan di Mentawai telah menimbulkan perpecahan masyarakat adat. Penyebabnya adalah perebutan hak se-wa tanah ulayat. ”Selain itu, terjadi degradasi moral karena munculnya pelacuran,” ujar pemenang penghargaan Man and the Biosphere 2005 ini.
Deputi Bidang Ilmu Pengetahuan Ha-yati Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Endang Sukara, juga meminta pembatalan izin lewat suratnya kepada Menteri Kaban pada 21 Februari 2006. Alasannya, Pulau Siberut telah ditetapkan sebagai cagar biosfer pada 1981 oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa.
Cagar biosfer adalah status bagi kawasan konservasi yang diakui internasional. Pengakuan itu diberikan karena pulau yang berjarak 150 kilometer dari Kota Padang itu mempunyai flora dan fauna langka serta primata endemik (asli dan unik) terbesar di dunia.
Menurut Endang, sebagai cagar biosfer, produk yang dihasilkan Siberut ha-rus berubah dari kayu menjadi non-kayu. Misalnya dengan menggenjot produksi buah-buahan organik (tanpa sentuhan bahan kimia). ”Buah-buahan yang terkenal di sana adalah durian dan rambutan,” tuturnya.
UNESCO, badan PBB yang meng-urusi pendidikan dan kebudayaan, juga telah menawarkan jalan keluar berupa kon-sesi konservasi. Artinya, UNESCO mengganti semua potensi pendapatan pemerintah daerah dari kegiatan peng-usahaan hutan. Konsekuensinya, sebagian besar dana itu harus dipakai untuk mengelola kegiatan ekonomi Siberut.
Direktur Bina Rencana Pemanfaatan Hutan Produksi Departemen Kehutanan, Listya Kusumawardhani, menuturkan izin pembukaan hutan untuk Salaki memang sudah diterbitkan pada 19 Oktober 2004 oleh Menteri Kehutanan M. Prakosa. Tanggal itu berarti hanya sehari sebelum pengumuman kabinet baru.
Namun, pada era Menteri Kaban, kata dia, penyerahan izin itu ditangguhkan sehingga Salaki belum bisa beroperasi. Menurut Listya, Menteri Kaban sudah mendengar banyak sekali kontroversi seputar kelayakan pengelolaan hutan di Siberut. Karena itu, Kaban sudah me-ngirim tim dari Badan Penelitian dan Pengembangan Departemen Kehutanan ke Siberut. Rekomendasi tim yang akan pu-lang pada 20 April nanti itu akan men-jadi bahan pertimbangan Menteri meng-ambil sikap soal Siberut.
Sementara ini, tutur Listya, solusi- yang ditawarkan pemerintah adalah menjadikan hutan Peleonan dan se-ba-gian -areal kerja Salaki sebagai kawasan lindung yang tidak boleh ditebang. Luas-nya sekitar 15 ribu hektare. Diharapkan, di kawasan ini monyet-monyet dapat berlindung atau berjalan menuju kawasan taman nasional yang ada di sebelah areal kerja Salaki.
Efri Ritonga dan Febrianti (Siberut)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo