Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Veven Sp. Wardhana
Pertengahan Maret 2005, Televisi Pendidikan Indonesia—yang biasa tertinggal—menempati peringkat kedua. Penyebabnya: tiga sinetron mistik yang di-programkannya menempati lima besar teratas secara nasional, yakni Rahasia Ilahi (teratas nasional), Takdir Ilahi (peringkat keempat), dan Ingin Cepat Kaya (kelima).
Minggu berikutnya, posisi TPI bahkan naik ke pe-ringkat pertama. Salah kaprah pun menjadi keniscaya-an dalam dunia bisnis industri televisi. Salah satunya: sambil meniru pola tayang sinema mistik, semua televisi juga mempredikati sinema mistik ini se-bagai sinema religius. Media cetak, tanpa sama sekali sikap kritis, ikut membeo menyebutnya sebagai sinema religius ha-nya lantaran senantiasa ada tokoh ustad atau kiai (asli maupun casting-pemeranan) yang mengutip-ngutip ayat ini ayat itu untuk mem-bingkai kisah yang menggambarkan pelbagai kemuskilan: jenazah yang terlempar ke udara dari lubang pemakaman, jenazah berbelatung lantaran semasa hidupnya memeras melulu, jena-zah yang membengkak mulutnya karena mulutnya tak pernah berhenti bicara luncas saat masih hidup, dan berbagai hal lain yang serba seram.
Padahal, sebagaimana term infotainmen, istilah sinema- religius pun tak lebih sebagai ”bahasa dagang” anta-ra bagian program dan promosi di stasiun televisi, pa-ra pe-ma-sang- iklan, dan produser. Posisi publik entah dicampakkan- ke mana. Yang jelas, kemudian hari muncul komentar: si-nema pseudo-religius cenderung membuat takut pemirsa.- Komentar yang lebih ”filosofis” menandaskan: sinema mis-tik menempatkan Tuhan sebagai Maha Penghukum—ka-rena semata azab yang ditimpakan pada para hamba-Nya.
Sikap kritis yang biasanya dianggap sebagai suara nyi-nyir oleh para produser dan broadcaster—jurus kelitnya se-nantiasa di balik adagium ”selera pasar” atau ”rating-nya begitu nyata”—belakangan terbukti tak sekadar sebagai komentar pakar yang cuma pandai berkoar. Buktinya, serial Demi Masa dan Kiamat Sudah Dekat—dua-duanya- bikinan PT Demi Gisela milik sineas Deddy Mizwar—yang sama sekali absen dari azab itu juga mendapat tempat di hati masyarakat.
Belakang hari, sinema-minus-azab-dan-sengsara itu ju-ga akhirnya diperhitungkan dalam peringkat, sebuah kalkulasi yang menjadi ”iman” para pengelola industri te-levisi. Judul-judul Iman (SCTV) dan Mahakasih (RCTI) ada-lah contoh konkretnya. Judul Kodrat (SCTV) juga bermi-mikri, tak lagi gegap azab sebagaimana awal-awal ta-yang-an.
Adakah selera pasar telah bergeser? Jawabnya bukan se-lera pasar yang berubah, melainkan pasar sendiri terdi-ri dari beragam selera. Selera tak pernah mampu membentuk mata tayangan, lantaran justru suguhan tayangan itulah yang mengisi selera, termasuk suguhan yang serba apa adanya, sehingga ada selera yang tak terladeni.
Lagi pula, logika ala Iman, Mahakasih, Kodrat versi baru, galibnya tak beda-beda amat polanya diban-dingkan de-ngan sinema pseudo-religius nan sesak azab itu. Jika yang berazab itu mengumbar punishment bagi perbuatan buruk, yang minus azab cenderung mengganjar reward bagi perbuatan baik, sementara punishment maupun reward cenderung ”instan” munculnya. Sosok tukang becak ”Basuki” yang menolong korban tabrak lari, merogoh tabungan istrinya untuk uang mu-ka rumah sakit, tak perlu menunggu sebulan sudah dapat ganjaran mobil kancil- selain segepok uang bagi istrinya yang ber-cita-cita mendirikan warung.
Pola logika tetap serba hitam-putih. So-sok kiai tetap mun-cul untuk memadu-padan-kan referensi pelbagai sikap hidup itu dengan ayat-ayat kitab suci atau hadis. Sedangkan sosok kiai itu tak pernah gamblang identitasnya: apa pekerja-annya se-hari-hari, apa makanan utamanya, ba-gai-mana pula kiai-kiai itu bisa memper-oleh ilmu surat maupun ilmu silat—meng-ingat sosok kiai itu pun terkadang ber-adu-tan-ding melawan sosok yang dirasuki se-tan dan iblis. Itu pula yang tetap membedakan ”sinema religius” minus azab ini di-banding-kan dengan Demi Masa dan Kiamat Sudah Dekat yang sangat konkret mengkarak-terisasi sosok kiai atau guru mengaji.
Karena itu pula, di Indonesia-raya ini, saya tak pernah- berharap bakal munculnya the real sinema religius yang meng-gambarkan sosok kiai sebagaimana umumnya manu-sia, sebagaimana tukang servis arloji dalam Demi Masa, yang bahkan bisa menggambarkan tindakan salah kiai mengingat kiai bukanlah malaikat, bukan dewa, bukan wali, serta bukan pseudo-manusia. Justru dengan human being sosok kiai, saya kira niatan pemahaman religiositas bakal menjadi lebih terdekatkan.
Dengan begitu, kalaulah misalnya ada kiai yang membenarkan laku poligami dengan argumentasi populasi- perempuan lebih banyak, dengan tulus kita bisa melurus-kan logika tersebut dengan menyodorkan hasil riset kon-kret: populasi tinggi perempuan itu terbanyak justru para nenek-nenek, sementara para janda muda memang ogah menikah lagi lantaran bersetia pada pasangan awal, sela-in banyak lelaki brengsek—dan itu tak akan dianggap sebagai pelecehan dan penghinaan terhadap kiai atau bahkan agama, sebagaimana belakang hari gampang kita dengar dan terus berdengung.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo