Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Di sebuah bengkel khusus pendingin udara di Jakarta Selatan, Widjanarko tampak bersitegang dengan seorang montir. ”Masak, isi freon sampai seratus ribu! Yang benar saja,” ujar karyawan sebuah bank swasta ini. Sang montir menjawab: ”Ini... gas freon ramah lingkungan, Pak.”
Montir itu menawarkan freon jenis R134a, sedangkan yang biasa dipakai Widja adalah R12 alias Chlorofluorocarbon-12 (CFC-12). R-12 masuk kategori freon jahat, tapi rupanya Widja tak tahu bahwa kini ada dua jenis freon: baik dan jahat. Tentu saja ini masalah serius, karena menurut sang montir, yang tak tahu bukan Widja seorang. Padahal, pemerintah mencanangkan Indonesia mulai dibebaskan dari freon jahat pada Desember 2007.
Pemerintah berniat menyingkirkan freon jahat sesuai dengan kesepakatan Konvensi Wina (1985) dan Protokol Montreal (1987) tentang perlindungan lapisan ozon. Alasan utama pemusnahan gas ini adalah dampaknya yang buruk pada lapisan ozon di stratosfer, pada ketinggian 30 kilometer.
Laporan terbaru menyebutkan, gara-gara gas jahat ini lapisan ozon di atas Kutub Selatan sudah menjadi lubang besar. Luasnya mencapai sekitar 27,4 juta kilometer persegi. Ini kira-kira 15 kali luas Indonesia. Andaikan lubang ini terus melebar, menurut pakar bahan perusak ozon, Ari Darmawan Pasek, makhluk hidup terancam.
Lapisan ozon merupakan penyaring ultraviolet B yang dipancarkan matahari. Tanpa lapisan ini, radiasi sinar itu langsung menyengat bumi. Hasilnya mengerikan: kekebalan tubuh menurun, kasus penyakit katarak dan kanker kulit meningkat, dan petani kehilangan panen karena sinar ini merusak jaringan tanaman. Penelitian teranyar di Australia menyebutkan, radiasi ultraviolet B juga bertanggung jawab atas penurunan populasi ikan di perairan negeri itu, karena sinar ini membunuh plankton yang menjadi pakan ikan. ”Ini masalah serius,” kata Manajer Unit Lingkungan United Nations Development Programme (UNDP) di Indonesia, Budhi Sayoko.
Untuk meninggalkan gas jahat ini, pada 22 Juni 2006, Menteri Perdagangan menerbitkan peraturan tentang Ketentuan Impor Bahan Perusak Lapisan Ozon. Di situ disebutkan, pemerintah hanya mengizinkan Importir Terdaftar dan Importir Produsen mengimpor klorofluorokarbon hingga 31 Desember 2007.
Jenis klorofluorokarbon yang masih diperbolehkan untuk diimpor sampai akhir tahun ini antara lain CFC-11 yang dipakai industri busa kasur dan sol alas kaki, CFC-12 yang digunakan sebagai bahan pendingin pada AC dan aerosol untuk obat nyamuk semprot atau hairspray, CFC-113 sebagai bahan pelarut dan pencuci logam, CFC-114 dan CFC-115 sebagai campuran bahan pendingin.
Halon yang diizinkan adalah jenis HCFC-141b yang banyak digunakan dalam industri busa serta jenis HCFC-22 serta HCFC-123. Dua halon yang terakhir merupakan bahan campuran pada alat pemadam kebakaran.
Kementerian Lingkungan Hidup tak kalah sibuk dalam program pengentasan gas ini. Deputi peningkatan konservasi sumber daya alam dan pengendalian kerusakan pada kantor ini, Masnellyarti Hilman, mengatakan bahwa pihaknya telah menggelar aneka program. Di antara program itu adalah ikut serta menyeleksi importir CFC bersama instansi terkait, membantu menyediakan peralatan pemindai gas untuk bea-cukai, hingga kampanye non-freon kepada masyarakat.
Sayangnya, kampanye antifreon jahat tidak terdengar Widja. Sebagian anggota masyarakat yang telah mendengar tabiat buruk freon ini juga tetap menggemarinya karena harganya hanya seperempat dari freon baik. Harga freon jahat untuk pendingin mobil Rp 25 ribu sekali pengisian, sedangkan harga freon baik Rp 100 ribu.
Salah satu penyebab murahnya freon jahat ditengarai karena gas ini melimpah di pasar Indonesia. ”Indonesia salah satu pasar terbesar freon jahat ini di Asia,” kata Ezra Clark, aktivis senior Environmental Investigation Agency, sebuah biro penyelidikan untuk kejahatan lingkungan. Ezra mengatakan dalam pertemuan Forum Lingkungan Asia-Eropa yang diselenggarakan Asia-Europe Foundation pada Desember silam di Brussel, Belgia, gas buruk itu dipasok Cina, negara penghasil freon jahat terbesar di dunia. ”Titik persinggahan sebelum masuk Indonesia adalah Singapura,” ujarnya.
Data impor freon jahat Indonesia membikin miris. Dalam World Trade Atlas, Global Trade Information Services 2005, disebutkan nilai ekspor freon jahat Cina ke Indonesia pada 2002 sebesar 1.178 metrik ton. Namun, hanya 150 metrik ton yang tercatat di kepabeanan Indonesia. Produk freon ini digunakan untuk foam, refrigerasi, halon, aerosol, pelarut (solvent), tembakau hingga metil bromida yang sehari-hari banyak digunakan masyarakat.
Pada 2003, nilai ekspor freon jahat Cina ke Indonesia naik menjadi 1.450 metrik ton. Namun, yang tercatat di pabean Indonesia hanya 190 metri ton. Pada 2004, keadaan tidak membaik: Cina mencatat ekspor 1.500 metrik ton freon jahat, sementara kepabeanan kita hanya menulis 230 metrik ton.
Ari Darmawan mengatakan, masuknya senyawa campuran klorin, fluor, dan karbon secara ilegal ini nyaris tak dapat dihindari. ”Jalan masuknya banyak,” ujar Kepala Pusat Rekayasa Industri Institut Teknologi Bandung ini. Dia menyebutkan lima pelabuhan besar di Indonesia sebagai pintu masuk utama gas tersebut.
Menurut Ari, pelabuhan-pelabuhan itu gampang ditembus penyelundup freon karena tak memiliki fasilitas memadai untuk memindai freon jahat. Padahal, para importir makin pandai menyamarkan freonnya hingga tak gampang diendus petugas pelabuhan.
Ini diakui Andhi Pramono, Koordinator Pelaksana Patroli dan Operasi Kantor Pelayanan Bea dan Cukai Tipe A Khusus Tanjung Priok II. ”Belum semua anggota kami mengerti hingga ke masalah teknis,” ujar Andhi yang ditemui saat mengikuti Pelatihan Petugas Bea dan Cukai dalam Program Perlindungan Lapisan Ozon oleh Kementerian Lingkungan Hidup di Jakarta. Akibatnya, program menjaga ozon dari freon pada Desember nanti akan sulit terselenggara.
DA Candraningrum
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo