Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Wawancara

MOU Microsoft Melanggar Kesepakatan Menteri

22 Januari 2007 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Beberapa pekan belakangan ini, Menteri Negara Riset dan Teknologi Kusmayanto Kadiman uring-uringan terus. Penyebabnya tak lain adalah terkuaknya kesepakatan kerja sama (memorandum of understanding, MOU ) yang ditandatangani Menteri Komunikasi dan Informatika Sofyan Djalil dengan Microsoft untuk legalisasi penggunaan peranti lunak itu di kantor-kantor pemerintah. "Kenapa kok tiba-tiba ada MOU dengan Microsoft? Bahkan ada klausul yang harus dirahasiakan?" katanya.

Bekas Rektor Institut Teknologi Bandung itu juga kesal karena sejatinya Kementerian Riset dan Teknoligu serta Departemen Komunikasi dan Informatika, bersama Departemen Pendidikan Nasional, Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia, serta Departemen Pendayagunaan Aparatur Negara, sudah mendeklarasikan sebuah tekad untuk mengusung penggunaan sistem terbuka (open source) pada 30 Juni 2004. Dengan menggunakan open source, yang kode programnya bisa dilengkapi dan dikembangkan siapa saja, biaya pemakaian akan jauh lebih kecil jika dibandingkan dengan program proprietary yang terlindungi hak cipta seperti Microsoft.

Kusmayanto mencontohkan, kementeriannya yang sudah bermigrasi ke open source bisa menghemat Rp 1,4 miliar per tahun hanya dari pembayaran lisensi Microsoft Windows dan Office. Jumat dua pekan lalu, penggemar golf dan tenis ini memberikan pandangannya tentang problem yang dihadapi untuk memasyarakatkan IGOS dan berbagai soal lain.

Wawancara dengan wartawan Tempo Akmal Nasery Basral, Bagja Hidayat, Philipus Parera, dan Sapto Pradityo berlangsung di rumah dinasnya di Widya Chandra, Jakarta Pusat.

Mengapa Anda terlihat sangat keras menentang MOU dengan Microsoft?

Pada hari pertama secara resmi saya dipanggil ke Cikeas (sebelum kabinet dilantik pada Oktober 2004-Red.), Presiden bertanya banyak hal. Waktu itu saya belum tahu mau diangkat jadi menteri apa. Salah satu pertanyaan beliau, "Untuk teknologi informasi, apa isu besarnya?" Saya bilang akses dan masalah legal. Kantor-kantor (pemerintah) kita ada yang sadar menggunakan produk bajakan, tapi lebih banyak yang nggak tahu bahwa dia menggunakan software ilegal. Contoh, ada kantor yang beli komputer yang di dalamnya sudah ada software tanpa tahu itu legal atau tidak. Mereka bilang, "Apanya yang nggak legal? Saya beli lewat tender, saya bayar ini semua." Dua hal itu yang saya sampaikan kepada Presiden: akses dan be legal. Siapa pun yang menjadi menteri harus bisa menekan biaya telekomunikasi tanpa mengurangi profit.

Ternyata Anda dijadikan Menteri Negara Riset dan Teknologi.

Ya. Hal-hal baik yang sudah dilakukan pendahulu saya akan saya bikin lebih baik lagi. Sedangkan yang kurang baik, kurang tepat, atau sudah bukan zamannya lagi, tidak usah diekspos. Sewaktu Pak Hatta (Rajasa) serah-terima jabatan dengan saya, dia bilang, "Kus, lu kan ahli IT. Saya nggak ngerti IT, tapi kita sudah bikin deklarasi IGOS." Saya jawab, "Oke, Bang, saya teruskan perjuangan Anda." Jadi, deklarasi IGOS lima menteri itu buat saya sebuah amanat. Walaupun dari kelima menteri itu tinggal dua yang masih menteri, bagi saya hal itu menjadi komitmen institusi, bukan komitmen perseorangan.

Bagaimana dengan empat yang lain?

Sesudah deklarasi IGOS 2004 itu, Pak Syamsul Mu'arif (bekas Menteri Komunikasi dan Informatika) merespons dengan membuat surat edaran kepada semua menteri, Panglima TNI, Jaksa Agung, dan sebagainya, agar mereka menggunakan open source. Komitmen ini kemudian diperbarui Pak Sofyan Djalil pada 2005 dengan membuat surat serupa. Menjawab pertanyaan tadi, adakah komitmen dari yang lain? Jelas ada! Komitmen Pak Sofyan itu bukan sebatas edaran untuk semua kementerian. Di internal Departemen Komunikasi dan Informatika pun beliau membuat surat keputusan menteri yang memerintahkan seluruh jajaran menggunakan open source. Departemen yang lain pragmatis. Menteri Pendidikan Nasional Bambang Sudibyo, misalnya, mengatakan bahwa kita akan menggunakan open source mulai dari SD, SMP, jumlahnya ribuan. Saya bilang nggak usah semuanya open source. Kalau pemerintah sampai mengeluarkan penyataan resmi bahwa semua harus open source, tidak bagus juga. Kita akan dicap sebagai negara sosialis. Pernyataan yang cantik itu be legal.

Kalau ini merupakan kesepakatan lima departemen, kenapa yang berkomentar hanya Menteri Riset dan Teknologi sendiri?

Problemnya kepemimpinan. Saya hanya akan berani mendorong kalau saya punya tingkat keyakinan yang tinggi. Rasa percaya diri saya terbentuk kalau saya mengerti. Jadi, kalau kita lihat Pak Hamid (Awaluddin, Menteri Hukum dan HAM) atau Pak Taufik (Effendi, Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara) belum commit mungkin karena belum yakin bahwa this is a good merchandise. Kesalahan saya adalah saya tidak meyakinkan mereka dengan baik sejak awal. Itu kelemahan saya, karena kurang pandai mempromosikan open source.

Jadi, sama sekali tidak ada konsolidasi di antara lima deklarator IGOS?

Betul. Presiden Yudhoyono mengatakan kepada para menteri bahwa dia sudah capek dengan pencanangan demi pencanangan. "Saya ingin kalian bekerja lebih keras lagi setelah pencanangan. Ini bukan hanya untuk IGOS, tapi semua," katanya. Kalau saya melihat berita media massa, yang paling banyak disorot adalah kenapa muncul MOU dengan Microsoft. Yang kedua, kok diam-diam. Bahkan ada klausul yang harus dirahasiakan. Padahal sekarang kita sedang menjalankan good governance.

Masak, sebagai Menteri Riset dan Teknologi, Anda sama sekali tak tahu-menahu persiapan MOU dengan Microsoft itu?

Ada serangkaian pembicaraan, dan ada lembaga khusus yang dibentuk. Ketuanya Pak Boediono (Menteri Koordinator Perekonomian), anggotanya Menteri Pendidikan Nasional, Menteri Komunikasi, Menteri Perindustrian, dan saya. Kesepakatan kami, langkah pertamanya adalah secara resmi mengumumkan bahwa pemerintah akan be legal, tidak lagi menggunakan produk bajakan. Langkah kedua baru kita buat deal dengan para vendor. Microsoft bukan satu-satunya. Ada Sun Microsystems, IBM, atau Dell. Yang terjadi adalah langkah pertama belum dilakukan, tiba-tiba ada kesepakatan dengan Microsoft. Itu yang membuat saya sewot.

Tapi Anda setuju dengan MOU itu?

Setuju dengan catatan urutan langkah tadi diikuti. Di antara kami sudah ada kesepakatan bahwa kami mau mengumumkan lewat website, e-announcement, atau media massa. Kalau itu sudah dilakukan, proses ini sangat normal. Pak Sofyan belum lama ini ke kantor saya. Beliau bilang, Bagaimana saya nggak neken? Pak Kusmayanto sendiri di depan Presiden bilang, kalau kita MOU dengan Microsoft, Bill Gates "will sing our song." Betul, itu keluar dari mulut saya. Kalau perlu saya SMS Tony Chen (Presiden Direktur Microsoft Indonesia). "Ton, itu sudah ada pengumuman, lu tahu nggak?" Nah, kalau kita sudah teken sama dia, dan seluruh aplikasi kita di kantor-kantor pemerintahan legal, pasti Bill Gates akan bernyanyi, "Indonesia is a good example." Tapi ternyata prosesnya kan loncat. Sudah begitu, MOU-nya juga menimbulkan pertanyaan.

Maksudnya?

Dengan keterbatasan pengetahuan saya tentang hukum, di Indonesia ini saya hanya boleh menandatangani kesepakatan dengan pihak lain di bidang yang menjadi tanggung jawab saya. Agar saya bisa mengatasnamakan menteri lain, artinya atas nama pemerintah, saya harus punya full power. Yang bisa memberikan full power ini, yang dilindungi oleh undang-undang, hanya Presiden. Perkecualian hanya untuk isu internasional, di mana Menteri Luar Negeri juga mendapatkan full power yang dilindungi undang-undang. Dengan mendapatkan itu, MOU itu harus mengikuti standar pemerintah, formatnya khusus. Dalam MOU dengan Microsoft, tidak disebutkan bahwa Sofyan Djalil sudah punya full power dari Presiden. Karena seharusnya dokumen full power itu juga harus disertakan dalam MOU. Lalu format MOU-nya pun tidak khusus. Kalau atas nama pemerintah, seharusnya Sekretariat Negara punya.

Kabarnya, kita bakal mendapat hibah untuk perlindungan hak cipta, sehingga duit itu bisa dipakai membeli lisensi?

Amerika punya program yang namanya Millenium Challenge Account (MCA). Konon, kita bakal diberi US$ 52 juta. Saya tahu itu. Tapi, menurut saya, tidak semudah itu. Hibah ini sebetulnya arogansi AS. Mereka tidak setuju dengan Millenium Development Goals (MDGs), dan diam seribu bahasa pada saat ditetapkan di PBB. (MDGs adalah deklarasi negara anggota PBB pada tahun 2000 untuk menanggulangi kemiskinan dan kelaparan; Mencapai pendidikan dasar untuk semua; Mendorong kesetaraan gender dan perempuan; Menurunkan angka kematian anak; Meningkatkan kesehatan ibu; Memerangi HIV/AIDS, malaria, dan penyakit menular lainnya; serta Memastikan kelestarian Lingkungan Hidup - Red.).

Namun, karena AS merasa negara besar, mereka nggak mau kalah, dibuatlah program tandingan bernama MCA. Pernah dengar istilah debt swap? Intinya, "Oke, asal Anda mengeluarkan uang untuk pendidikan, memperbaiki nasib orang miskin, nanti dari belanja kalian itu utang kalian saya hapus." Artinya, kita keluar duit dulu dengan menggunakan APBN.

Artinya, di balik MOU itu ada kepentingan yang lebih besar dari sekadar urusan peranti lunak?

Sekarang saya sedang membuka akses ke Uni Eropa. Apalagi mereka pendorong open source. Saya bilang kalian sudah membantu Afrika dengan Africa Connect, tapi untuk ASEAN belum ada. Langsung saya dapat tanggapan bagus dari Koichiro Matsura, Ketua Komisi Perkembangan Teknologi dan Sains PBB. Kalau ini sukses, nanti tahun 2008 saya mau bikin AAGOS, Asia Africa Go Open Source.

Menurut Anda, keputusan membeli lisensi Microsoft itu tak bermanfaat?

Yang belum saya mengerti adalah ada permainan apa sebetulnya. Mari kita lihat. Saya belum menemukan (penjelasan) sampai hari ini, mengapa Presiden bertemu Bill Gates di markas Microsoft. Saya belum mengerti "what is behind the scene?" Saya belum paham apakah (pertemuan) itu melulu soal politik atau ada kombinasi dengan ekonomi. Mungkin karena saya tidak ikut ke sana. Kemudian pada saat Craig Mundie, yang mewakili Bill Gates, datang ke Istana, saya juga tidak ikut.

Anda merasa ditinggalkan?

Sebelum langkah pertama e-announcement dimulai, harusnya ada assessment tentang kebutuhan kita. Mengapa langkah nomor nol itu tidak dilakukan? Karena iming-iming! Menjelang APEC kita dengar Vietnam akan mengeluarkan pernyataan bahwa mereka sungguh-sungguh be legal. Nah, kita mau duluan. Bahkan Craig Mundie kita datangkan ke Indonesia lebih dulu sebelum dia ke APEC. Ibu Mari (Pangestu) mengatakan, Mundie nggak mau datang kalau MOU belum ditandatangani. Bahkan waktu itu mintanya agreement. Saya bilang tidak bisa, kalau agreement gue protes. MOU is fine, karena non-binding. Kita ingin curi start dari Vietnam, yang masih lebih parah dari kita ranking pembajakannya. Tapi, begitu dia bikin pernyataan be legal, dia pasti di atas kita. Kita tidak ingin itu, kita "colong start" duluan. Yang perlu diingat, di Vietnam mereka bukan cuma go legal, tapi juga sudah ada pernyataan perdana menteri mereka untuk juga menggunakan open source.

Kalau begitu, legalitas MOU yang Anda persoalkan bisa diabaikan?

Saya yakin Pak Sofyan Djalil melakukan itu tidak untuk intensi buruk. Menurut saya, kalaupun ini salah, beliau itu khilaf karena ingin mencuri start.

Tapi Anda sendiri pernah bekerja sama erat dengan Microsoft sewaktu menjadi rektor ITB.

Benar. Ada yang bilang Pak Kus itu plin-plan. Dia dulu tanda tangan dengan Microsoft. Begini, saya tetap dengan prinsip: be legal. Kepada mahasiswa di ITB saya bilang kita tidak boleh hanya kenal satu produk. Mahasiswa tidak bisa dipaksa untuk open source semua. Bagaimana jika setelah lulus dia bekerja di Caltex, dan disuruh menggunakan Microsoft? Kalau tidak mahir, tidak bagus juga. Karena itu saya katakan, untuk kampus kita harus multi-vendor, legal, tapi tidak bisa terlalu mahal. Awalnya Microsoft menawarkan US$ 300 per desktop. Saya jawab, "No way!" Setelah tawar-menawar, jatuhnya hanya Rp 150 ribu. Legal.

Mengapa kita tidak meniru Vietnam? Presiden bikin pernyataan: Indonesia go open source. Beres.

Bisa. Tapi setiap pemimpin kan punya gaya sendiri. Kita kenal gaya Pak SBY seperti apa. Saya bilang yang begitu itu bukan gaya beliaulah. Di Vietnam masih mungkin karena kepemimpinan di sana itu masih menggunakan gaya komando. Kenapa pertumbuhan ekonomi Vietnam bisa sembilan persen? Saya pikir karena model paternalistik di sana masih kuat sekali. Itu yang saya sebut "tangan besi dilapisi dengan beludru". Jadi, kalau buat menjitak pasti sakit, tapi untuk mengelus-elus masih terasa enak. Itu yang saya lakukan di Kementerian Riset dan Teknologi. Begitu ketemu ada komputer yang tidak legal, saya matikan. Saya bilang kepada pemakainya, kau keluar atau pakai IGOS. Tapi, kalau dia pakai, saya puji dia.

Sebetulnya apa keberatan yang paling esensial dari departemen lain di luar lima deklarator IGOS?

Setiap migrasi membawa perubahan besar. Pasti ada kerepotan. Itu sudah hukum alam. Tapi itu bisa dengan mudah kita lakukan kalau memang kita tahu di tempat yang baru akan menyenangkan. Kalau tidak, siapa yang mau pindah? Seperti kita mau pindah rumah, hanya ada dua pilihan: saya dipaksa karena rumah itu sudah tidak boleh saya tempati lagi, atau ada janji bahwa rumah baru akan lebih menyenangkan. Pasti repot. Sampai hari ini tidak ada migrasi yang smooth, dan beres dalam semalam. Tidak ada.

Kalau di rumah, Anda konsisten menggunakan open source juga?

Tidak. Di rumah saya memakai Microsoft. Serius. Saya tidak malu mengakuinya.

Kusmayanto Kadiman

Lahir: Bandung, 1 Mei 1954

Pendidikan:

  • S3, PhD bidang System Engineering, Australian National University (1988),
  • Teknik Fisika ITB (1977)

Karier Politik:

  • Menteri Negara Riset dan Teknologi (2004-2009),
  • Kepala Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi

Karier Akademis:

  • Rektor Institut Teknologi Bandung (2001-2004),
  • Sekretaris Rektor ITB Bidang Kerja Sama (1999-2000),
  • Direktur Pusat Penelitian Teknologi ITB (1996-1999)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus