KALAU CV Skyline Kurnia dan CV Taufik tidak bertikai, kerusakan di cagar alam Cyclop, Kampung Harapan, Sentani, Irian Jaya, pastilah tak diketahui dunia luar. Sengketa itu meletus beberapa bulan lalu. "Mereka menambang batu, kerikil, dan pasir di cagar alam Cyclop," kata Batas Pohan, Kepala Sub Balai Inventarisasi dan Perpetaan Hutan Jayapura. Kini muncul berbagai reaksi. Bahkan penjarahan atas sungai di Cyclop -- yang digali pasir dan kerikilnya -- pekan ini menjadi urusan Polres Jayapura. Juga para wakil rakyat angkat bicara. Ketua Komisi C DPRD Irian Jaya, AM Suruan, melontarkan pernyataan keras agar perusahaan yang beroperasi di sana ditertibkan. Kini 20 hektare dari areal cagar alam Cyclop porak-poranda. Menurut pengamatan Kristian Ansakai dari TEMPO, tepian sungai di Kampung Harapan sudah melebar sejauh empat kilo meter. Ironisnya, semua kerusakan terjadi tak jauh dari kantor Balai Konservasi Sumber Daya Alam (KSDA) Irian Jaya. Selain cagar alam rusak, berbagai pihak menilai penggerusan besar-besaran di dasar sungai pastilah menyebabkan banjir. Air bah terjadi tak lain karena para penggali pasir tak pernah melakukan reklamasi. Ketidakpedulian para penggali pasir itu cukup memusingkan Badan Pengendalian Dampak Lingkungan (Bapedal). Akibatnya, delapan jembatan yang dilaporkan ambruk disebabkan penggalian pasir kini bertambah satu lagi. Tiga bulan lalu jembatan utama penghubung Sentani dan Jayapura sempat terputus -- juga karena banjir. Meskipun jelasjelas merugikan, Kanwil Perindustrian hanya menginstruksikan agar pengusaha membuat analisa dampak lingkungan. Itu pun tanpa pengawasan ketat. KSDA setempat baru merasa kecolongan setelah Cyclop, yang berada di bawah pengawasannya, berantakan. Tapi si perusak -- CV Skyline Kurnia dan CV Taufik -- malah merasa tidak berdosa. Keduanya mengklaim berhak mengolah lahan yang termasuk kawasan Cyclop. Alasannya? Gandhi, pimpinan CV Bintang Mas (induk CV Skyline Kurnia), berkata bahwa tanah itu bukan berada di cagar alam. Dan areal penggalian pasir itu dibelinya setelah dilepaskan secara adat pada 1985. Direktur CV Taufik, Jamaludin, meragukan Gandhi. "Memangnya ada undang-undang yang mengizinkan seseorang membeli sungai?" ia menggugat. Jamaludin sendiri mengaku bahwa ia mendapatkan izin dari Dinas Pertambangan setelah mengantongi rekomendasi izin dari masyarakat adat pada tahun 1992. Sementara itu pihak Balai Inventarisasi dan Perpetaan Hutan Jayapura tetap bersikeras mengklaim tanah yang sama. "Setahu saya, di kawasan ini beberapa tahun lalu sudah dipasang patok-patok sebagai batas kawasan cagar alam," kata Batas Pohan. Mungkin di sinilah masalahnya. Patok-patok itu banyak yang hilang diterjang banjir dan sisanya pun tak kelihatan karena tertutup alang-alang setinggi lutut. Urusan patok ini berbuntut panjang di kantor polisi, apalagi setelah ada indikasi bahwa patok-patok itu sengaja dipindahkan. Tapi buat apa dipindahkan? Supaya terbukti bahwa penambangan tak dilakukan di areal cagar alam. Anggota DPRD Irian Jaya lalu mendesak Pemerintah agar melakukan penertiban. "Pemerintah harus menindak tegas perusahaan yang merusak cagar alam," ujar A.M. Suruan. Di luar dugaan, CV Taufik juga bersuara keras. "Wakil rakyat jangan asal bunyi. Kalau ditertibkan, apakah pembangunan jalan bisa terlaksana? Tolong beri alternatifnya dan jangan main larang saja," gebrak sang direktur. CV Taufik memang mengantongi izin penambangan di areal 10 hektare, untuk jalan sepanjang 15 kilometer. Sungai yang pasirnya digali itu memang satu-satunya sumber pasir dan kerikil bagi jalan Trans Jayapura-Wamena yang kini tengah dikerjakan. Dan proyek jalan ini juga mendukung proyek pembangunan rumah BTN dari CV Skyline Kurnia. Namun sebaiknya disadari, betapa pentingnya pun sebuah proyek pembangunan, ia tidak otomatis bisa dijadikan pembenaran atas kerusakan alam yang terjadi. Menurut sebuah sumber di Dinas Pertambangan, batu, pasir, dan kerikil yang berada di Cyclop bisa ditambang tanpa merusak cagar alam. Atas dasar itulah izin penggalian pasir diberikan. Hanya tak jelas, adakah Dinas itu memberi petunjuk cara menggali pasir yang aman. Barangkali Pemda Irian Jaya bisa belajar dari Sulawesi Selatan. Dua tahun lalu Sungai Jenebarang di provinsi itu pun digerogoti, untuk pembangunan di Ujungpandang. Menurut data Bapedal, ada 34 lokasi penggalian di sepanjang sungai, plus kegiatan liar yang tak tercatat. Penggalian pasir Sungai Jeneberang berakibat buruk terhadap jembatan yang melintang di hulu sungai tersebut. Pemerintah terpaksa membangun jembatan baru, tapi belum dua tahun, pondasinya terbongkar. Lalu dibangun lagi pondasi pengaman yang menghabiskan dana Rp 2 milyar. "Kasus itu memperlihatkan bahwa pemasukan Pemerintah dari retribusi pengusaha tambang tidak seimbang dengan pengorbanan untuk membiayai perbaikan akibat kerusakan yang ditim bulkannya," kata Antung Deddy, Kepala Sub Direktorat Pengendalian Pencemaran Tanah dan Lingkungan di Bapedal. Penggalian pasir di Sentani pun merusak cagar alam dan jembatan. Tak bisa tidak, para penggali harus ditatar agar sadar lingkungan. Sanksi hukum juga perlu. Ini terasa mendesak sebab, menurut sumber di Kanwil Kehutanan setempat, meluasnya areal penggalian karena ada kerja sama antara oknum KSDA dan pengusaha yang bersepakat memindahkan patok. Siapa pelakunya, inilah yang tengah diusut polisi. G. Sugrahetty Dyan K.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini