"KEMERDEKAAN potensial kaum budak," tulis Francis Fukuyama dalam The End of History, "secara historis lebih bermakna daripada kemerdekaan nyata kaum aristokrat." Mengapa demikian? Sebab, kaum aristokrat, yang keturunan penakluk, sudah mandek dan tumpul. Itu terjadi lantaran kenikmatan dan kemewahan yang mereka reguk bersumber dari jerih payah orang lain. Sebaliknya, dengan kerja yang tiada henti, kaum budak mengembangkan kemampuan dan imajinasi. Lewat akumulasi kemampuan dan imajinasi ini, mereka akhirnya mengatasi kaum aristokrat, menjadi kelas yang cerdas dan dinamis. Maka, pada mereka lahirlah thymos, hasrat akan pengakuan. Gambaran yang agaknya diangkat dari sejarah Romawi dengan kaum taklukannya ini antara lain dipakai Fukuyama untuk melacak dan membela sistem demokrasi. Tapi, tak kurang pentingnya, di situ ia sekaligus menyatakan persetujuannya dengan Vaclac Havel tentang kuasa dari mereka yang tak punya kuasa. Dalam tulisannya yang termasyhur, The Power of the Powerless, Havel berkata, seorang pemilik kios sayur bisa mengawali runtuhnya pemerintahan raksasa Komunisme. Isapan jempol? Bukan. Lewat daya negasi. Si tukang sayur menolak memasang poster "Kaum buruh sedunia, bersatulah!" dan secara sadar berhenti mengikuti berbagai ritus ideologis ajaran Komunisme. Itu saja. Di sini senjata tak diledakkan, darah tak ditumpahkan. Tapi si tukang sayur ipso facto telah menunjukkan bahwa sistem totaliter yang perkasa sesungguhnya ditopang oleh ritus kolektif. Begitu dia menolak meneruskan ritus itu, kebohongan sistem pun terbongkar. Sistem totaliter luruh bagai bangunan kertas. Lebih meyakinkan lagi adalah hasil studi mendalam James Scott tentang kuasa orang-orang papa. Dia menyatakan bahwa meskipun tidak terorganisasi, kaum papa juga mempunyai kuasa. Itu dapat disimak, misalnya, pada dampak tindakan sehari-hari dari jutaan kuli dan buruh tani, dari tak terhitung paria pengawai, pemulung, tukang sapu jalanan, kaum gelandangan, anak-anak kolong, pembantu rumah tangga, pengemis, penghuni permukiman kumuh-liar di kota-kota besar, dan seterusnya. Bagaimanakah mereka membuktikan kuasa mereka? Dengan mengelabui majikan, atasan, atau yang berwewenang, dengan berpura-pura patuh, sakit, sibuk, bodoh atau cacat, dengan berdusta, dengan melakukan kegiatan "ekstraktif" di saat-saat orang lengah, dengan membocorkan karung beras sebelum memikulnya, dengan mencuri kecil-kecilan, dengan mengalihkan perhatian, dengan menyebar paku di jalanan, dengan berlambat-lambat dalam kerja -- semua dalam kreativitas yang tiada habisnya. Rangkaian praktek kecil seperti itulah yang disebut Scott "senjata kaum papa". Kaum papa mengembangkan budaya politik yang tanpa organisasi, tanpa catatan tertulis, dan senantiasa mengelakkan konfrontasi langsung dengan pihak penguasa maupun orang berada. Diam-diam dan sendiri-sendiri mereka menggerogoti berbagai fasilitas dan lembaga masyarakat yang mapan. Kenyataan terpenting dari gejala ini ialah konsistensi perlawanan kaum papa serta kumulasi jangka panjangnya yang tak terukur. Jika sekian pemberontakan besar kelas menengah dalam sejarah berhasil ditumpas serta dibalikkan, kumulasi perlawanan sehari-hari kaum papa amat sulit terlacak atau teratasi. Scott mengakui bahwa berbagai bentuk perlawanan kaum papa memang jarang menjadi kepala berita di media. "Tapi bagai jutaan polip antozoa menciptakan batu karang, begitu juga tak terhitung tindakan pengelakan dan perlawanan kaum papa menciptakan batu karang politik dan ekonomi." Itulah dampak kuasa mereka. Paling tidak satu pelajaran bisa ditimba dari tesis kuasa tanpa kuasa ini: sia-sianya sistem monopoli kekuasaan. Tiap monopoli kekuasaan akan membawakan atrofi atau kematiannya sendiri. Dan ada saja cara untuk mengebirinya. Dialektik sejarah memang hanya mungkin diarahkan. Ia tak mungkin dibendung, apalagi dibalikkan. Lagi pula sulit membantah diktum Rousseau bahwa "orang terkuat sekalipun takkan pernah cukup kuat sebelum ia mengubah kekuatan menjadi hak dan kepatuhan menjadi kewajiban." Demokrasi memang bermula dengan kesatuan pada prinsip kesamaan manusia dan pada kepercayaan bahwa tiap manusia memiliki daya kreatif dan daya kebijaksanaan yang selamanya harus diberi peluang. Kehidupan bersama manusia selalu ditandai oleh mekanisme koreksinya sendiri. Tapi ada bahayanya terlalu melebih-lebihkan tesis ini. Pertama, kita bisa lupa bahwa dampak seperti yang ditunjukkan oleh "budak" Fukuyama atau oleh "tukang sayur" Havel sebenarnya lebih merupakan ihwal kebetulan. Itu tak direncanakan benar, terjadi lebih karena iklim politik, struktur ekonomi, atau perangkat tekanan budaya (set of cultural emphasis) memang sudah berubah. Dengan kata lain, kalangan luas dari mereka yang tanpa kuasa harus lebih menyadari kemungkinan yang diutarakan oleh Samuel Huntington baru-baru ini, yakni bagaimana meningkatkan entitas mereka dari causes menjadi causers. Atau seperti diutarakan oleh Fukuyama sendiri, "Tak ada demokrasi tanpa demokrat." Kedua, kuasa dari mereka yang tanpa kuasa cenderung saling membatalkan. Korban pertama perampok bersenjata, misalnya, ialah tukang ojek atau sopir taksi. Korban pertama pemenang tender sandiwara ialah jutaan kosumen kelas menengah atau pembayar pajak. Maka, segenap kaum yang tanpa kuasa hanya bisa menjadi kuasa secara berarti melalui persatuan dan emansipasi bersama. Salah satu kunci bertahannya suatu pemerintahan, betapapun destruktifnya, ialah terpecah-pecahnya kaum papa serta kelas menengah itu. Harapan kita tentu tidak pada kaum papa, melainkan pada sekian kelompok kelas menengah yang cinta demokrasi -- di luar maupun di dalam pemerintahan. Dapatkah kita mengimbau, "Bersatulah, wahai kaum demokrat, dari kelompok mana pun Saudara!"
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini