Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
ADEGAN itu berlangsung di halaman sebuah rumah mewah di kawasan North Greenhills, San Juan, Rabu pekan silam. Sheriff pengadilan Sandiganbayan, Edgardo Urieta, menerobos pagar betis pendukung mantan presiden Joseph Ejercito Estrada. Sheriff itu akan mengakhiri penantian rakyat Filipina selama dua pekan: menyeret Estrada ke dalam penjara.
Di tangannya, Urieta memegang selembar surat dari hakim Sandiganbayan (pengadilan antikorupsi) yang menjadi "tiket resmi" untuk mengangkut mantan presiden itu dari mansion-nya yang mewah ke Kamp Crame di Quezon Citypenjara tempat ia ditahan. Tuduhan bagi Estrada adalah penjarahan ekonomi, yang mungkin harus ia tebus dengan hukuman mati. Salah satu dosa yang dituduhkan hakim memang memungkinkan nyawanya dicabut: meraup 3,2 miliar peso (setara dengan Rp 761,6 miliar pada kurs Rp 238 per peso) secara haram dari bank dengan nama palsu.
Estrada dan anak lelakinya, Jose "Jinggoy" Estrada, sudah siap mengikuti rombongan polisi ke Kamp Crame tatkala 3.000 pendukung Estrada yang menyemut di luar rumah tiba-tiba menumpahkan kemarahannya. Mereka melempari polisi dengan batu, botol plastik, dan kayu berpaku. "Kami tak akan membiarkannya menyerah. Kami siap mati untuk dia," ujar Jojo Ibay, 38 tahun. Menggiring mantan presiden ke bui dengan tuduhan tindak kriminal memang belum pernah terjadi dalam sejarah Filipina. Rombongan polisi itu akhirnya berhasil lolos setelah menembakkan gas air mata bertubi-tubi. Tapi para demonstran tidak menyerah.
Sekitar 8.000 orang menghambur ke gerbang Kamp Crame sembari berteriak, "EDSA Ketiga! EDSA Ketiga!" EDSA (Epifano delos Santos Avenue) adalah monumen penggulingan diktator Ferdinand Marcos lewat aksi people power pada 1986. Tapi aksi demonstrasi di EDSA juga memuluskan jalan bagi sebagian rakyat Filipina untuk mendepak Presiden Estrada dari Istana Malacanang. Dan kini, para pendukung mantan presiden itu kembali meneriakkan nama monumen tersebut sebagai yel-yel perjuangan mereka. Mereka bersikeras tetap bertahan di depan Kamp Crame sampai polisi membebaskan Estrada.
Dan orang-orang miskin ini ternyata tidak sendirian. Sejumlah politisi elite ikut berbaur. Di antaranya kandidat anggota parlemen Miriam Defensor-Santiago dan Juan Ponce Enrile. Mereka mengajak para demonstran itu membuat aksi damai melalui pembangkangan sipil melawan rezim Arroyo. "Kami akan melakukan apa pun untuk mengungkapkan protes dengan cara legal," kata Miriam Santiago.
Alhasil, sejumlah kecil kelas menengah dan ribuan kaum miskin membela kehormatan Estrada habis-habisan. Banjir manusia mengalir ke EDSA untuk menyatakan dukungan mereka. "Tak ada yang menyuruh. Kami datang karena memperjuangkan hak," kata Dennis Tatlonghari, salah satu demonstran. Kamis silam, jumlah massa yang memadati monumen itu mencapai
50 ribu orang.
Mereka bernyanyi dan meneriakkan slogan anti-Presiden Gloria Macapagal-Arroyo. Politisi kubu Estrada pun tak menyia-nyiakan kesempatan ini untuk membakar emosi massa. "EDSA III akan dimulai di sini," ujar Reuben Canoy, salah seorang kandidat anggota senat dari kubu Estrada. Sebuah spanduk lebar bertuliskan "Poor Power" dan spanduk lain bertuliskan "Gloria, Enemy of the Poor" seolah mengalirkan kemarahan para demonstran. "Ini benar-benar revolusi kaum miskin," ujar Ana Fuertes, 63 tahun.
Sejauh ini, belum muncul aksi kekerasan, tapi pihak kepolisian, militer, dan kelompok pendukung Presiden Gloria Macapagal-Arroyo sempat dibuat risau. Kelompok veteran EDSA II, yang dikenal dengan sebutan Kompil (Kongres Rakyat Filipina), mulai melakukan konsolidasi untuk menandingi aksi pendukung Estrada. Dengan demikian, terbuka kemungkinan pecahnya konflik horizontal antara pendukung Presiden Arroyo dan massa pro-Estrada. "Kelihatannya negeri ini akan menjadi negara darurat," ujar Walden Belo, ilmuwan politik dari Universitas Filipina. Alasannya?
Jika pecah konflik di antara sesama rakyat, militer mungkin juga akan pecah. Apalagi, dalam kasus Arroyo versus Estrada, ada sekelompok militer yang sebenarnya tidak setuju Panglima Angkatan Bersenjata Filipina (AFP) mencabut dukungan kepada Estrada sebagai presiden. Kendati militer kini telah menyatakan kesetiaannya kembali kepada Arroyo, laporan intelijen menyebutkan ada perwira tinggi AFP yang menyeberang ke kelompok Estrada.
Sebuah sumber di militer Filipina menyebut Letjen Benjamin Defensor, Komandan Angkatan Udara Filipina, main mata dengan kelompok Estrada. Kebetulan, Defensor adalah saudara laki-laki politisi vokal kubu Estrada, Miriam Defensor-Santiago. "Dukungan militer tinggal menunggu waktu," ujar Miriam Santiago. Pernyataan ini seolah membenarkan laporan intelijen itu.
Perkembangan situasi yang cenderung memburuk ini mengakibatkan militer dan polisi menyatakan seluruh Filipina dalam keadaan siaga merah pada Jumat pekan lalu. Pasar yang amat rentan terhadap isu instabilitas politik langsung bereaksi. Indeks harga saham di Pasar Modal Filipina melorot dari 1,7 persen pada Kamis pekan lalu menjadi 1,2 persen keesokan harinya.
Jika proses People Power III ini terus bergulir, sebuah lakon baru seolah tengah dituliskan bagi Joseph Ejercito Estrada. Dan bekas bintang film iniyang pernah memikat jutaan rakyat miskin melalui aktingnya--harus memerankan lakon itu sendirian. Di penjara.
Raihul Fadjri, Gita W. Laksmini (Reuters, ABS-CBN, Manila Times)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo