Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Nyoman Suardika kini tak lagi bebas keluar-masuk hutan lindung Batukaru, Bedugul, untuk mengambil rumput. Hutan yang berjarak satu kilometer dari rumahnya di Desa Candikuning, Kabupaten Tabanan, Bali, itu sejak tahun lalu telah dikuasai PT Bali Energy Ltd. (BEL). Dua satpam perusahaan ini melarangnya masuk ke dalam hutan. Walhasil, aktivitas pria berusia 35 tahun itu kini hanya mengurus kebun kentang miliknya, yang berada di luar areal hutan.
Aktivitas PT BEL kini telah melaju. Mereka telah mengebor tiga lubang yang mengeluarkan panas bumi. Satu lubang di Desa Candikuning asapnya terlihat dari jalan raya Denpasar-Singaraja. Perusahaan ini memang mendapat kontrak operasi bersama (KOB) dari pemerintah melalui Pertamina untuk melakukan pengeboran panas bumi (geotermal) pada 1995.
Namun, ketika krisis moneter melanda negeri ini pada tahun 1997, presiden mengeluarkan peraturan yang intinya menghentikan sejumlah megaproyek, termasuk pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP) Bedugul ini. Baru pada 2002 Presiden Megawati mencabut keputusan presiden itu dan menghidupkan kembali proyek yang rencananya dapat mengeksploitasi potensi 175 megawatt panas bumi tersebut.
Dari rencana 22 sumur, sembilan sumur sudah mereka gali, tiga di antaranya menghasilkan uap. Sayangnya, dari aktivitas ini, sekitar 20 hektare hutan terpaksa tergilas oleh perusahaan yang baru mendapat izin eksplorasi. Dan mulai saat itulah beberapa suara penolakan mulai berdatangan dari sejumlah tokoh dan lembaga swadaya masyarakat.
LSM dan ahli lingkungan mengkhawatirkan proyek tersebut bisa menggunduli lagi 34 hektare hutan dan mencaplok 16 hektare lahan pertanian yang berada di Kabupaten Tabanan dan Kabupaten Buleleng. Padahal, hutan lindung Batukaru di Gunung Pohen menjadi daerah resapan air bagi tiga danau: Beratan, Buyan, dan Tamblingan. Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) Buleleng, yang mengambil air dari tiga danau itu, sudah kebat-kebit. ”Dengan pembabatan hutan lindung lebih dari 50 hektare, pasti akan mempengaruhi daya serap air di atas, di hulu,” kata Direktur PDAM Buleleng, Nyoman Artha.
Keluhan senada juga disampaikan oleh tokoh agama dan budayawan. Menurut Ida Pandita Sri Bhagawan, Ketua Umum Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI) Buleleng, dalam filosofi Hindu hutan merupakan kawasan suci dan gunung menjadi tempat pertemuan para dewata. Prof Dr L.K. Suryani meminta Pemerintah Provinsi Bali menghentikan proses pembuatan analisis mengenai dampak lingkungan (amdal) proyek geotermal itu. ”Jika proyek itu berlanjut, sama saja halnya dengan menusuk jantung pertahanan Bali,” katanya. Dia merujuk pada aksi investor luar Bali yang mengkapling pantai untuk membangun hotel.
Gubernur Bali Dewa Made Beratha memang meminta Universitas Udayana membuat amdal. Lembaga ini mencatat tiga item dampak positif dan 19 dampak negatif. Tiga dampak positif adalah peningkatan pendapatan bagi pemerintah pusat dan daerah, timbulnya peluang kerja, dan berkembangnya kegiatan ekonomi baru. Sedangkan efek negatifnya mulai dari penurunan kualitas udara, air, tanah, sampai masalah sosial, seperti keresahan sosial dan gangguan kamtibmas.
Meskipun ada suara penolakan terhadap proyek tersebut, Dewa Beratha belum mengeluarkan putusan terhadap amdal proyek yang ditargetkan selesai pada 2010. ”Bapak Gubernur masih melakukan proses pengkajian. Beliau masih mempelajari lebih detail,” kata Mayun, Kepala Bagian Humas Provinsi Bali. Namun, tidak demikian Bupati Buleleng Putu Bagiada, yang sejak jauh hari sudah menyatakan penolakannya. Bahkan DPRD Bali, pada 9 September lalu, mengeluarkan rekomendasi menolak kelangsungan proyek yang telah memiliki izin eksplorasi itu. Dewan meminta pengelola proyek mengembalikan hutan-hutan yang telanjur dibabat.
Made Astra Tanaya, representatif PT BEL di Bali, membantah semua tuduhan itu. Menurut dia, tidak mungkin permukaan air danau bakal menurun dan terjadi amblasan jika proyek geotermal selesai. Dia mengakui melarang orang-orang yang tidak berkepentingan memasuki kawasan proyek. Petani yang mau mencari rumput, katanya, dipersilakan. Namun, di lapangan, dua petugas satpam melarang Nyoman Suardika memasuki hutan lindung sehingga petani kentang itu ketakutan.
Made Mustika dan Untung Widyanto
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo