Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Bekas tahanan politik itu berhasil bangkit dan menjadi miliarder. Ada yang menikmati, ada yang tak siap tua.
Ia Djoko Pekik, satu di antara lima pelukis nasional Lekra. Setara dengan nama-nama besar Amrus Natalsya, Sanusi, Basuki Reksobowo dan Wen Peor. Sebelum lulus Akademi Seni Rupa Indonesia (ASRI) pada 1962, ia masuk Lekra.
Ketika sebagian rekannya sesama anggota Lekra harus mengalami bermacam siksaan, lantas harus angkat kaki ke Pulau Buru, ia mendapat perlakuan khusus. Sepanjang 1965–1972, Djoko Pekik ditahan di Benteng Vredenburg, Yogyakarta. Kepada penguasa militer wilayah Yogya dan Kedu, Bung Karno berpesan: jangan sampai ada satu seniman Yogya pun yang berkurang.
Djoko Pekik bebas keluar-masuk penjara—sepanjang ia lapor. Bahkan dua tahun sebelum masa tahanannya habis, ia menikahi gadis belia, anak seorang penjahit, Christina Tini Purwaningsih. Memang, tidak banyak tekanan politik yang dialaminya, tapi hidup pasangan baru ini sulit. Anak mereka yang pertama, Gogor, lahir ketika mereka hidup di sebuah kamar berdinding gedek di Wirobrajan, Yogyakarta, tak jauh dari kampus ASRI. Waktu itu para pemuda kampung ramai membunyikan mercon sehingga si kecil Gogor tak bisa tidur.
Keluarga Djoko Pekik hidup dari menjahit. ”Kalau tidak ada orang menjahitkan, ya tidak makan,” tuturnya. Lima belas tahun ia menjahit tanpa meninggalkan minat utamanya: melukis. Medianya seadanya, kain-kain bekas dijadikan kanvas. Catnya, minta sisa-sisa Rembrantnya Affandi. Sampai suatu hari, ia ikut Biennale 1989 di Taman Ismail Marzuki, Jakarta. Kebetulan kurator dari Amerika Serikat, Astri Wright, tertarik pada lukisan Pekik. Ia mewawancarai Pekik dan menjadikannya sumber bagi disertasinya. Berkat Astri Wright, Pekik terpilih untuk mengikuti Pameran Kebudayaan Indonesia di Amerika Serikat pada 1990. Sejak itu, namanya melambung. Trilogi Celeng membuat namanya semakin tinggi. Bahkan posternya pun laku ratusan ribu rupiah.
Pria kelahiran Karangrejo, Purwodadi, Grobogan, 2 Januari 1938, itu kini berlimpah harta. Rumahnya di Dusun Sembungan, Kasongan, Kecamatan Kasihan, Kabupaten Bantul, DIY, magrong-magrong. Dibangun di tanah seluas 20 ribu meter persegi. Mobilnya macam-macam, tinggal pilih, Mercy, Peugeot, Honda Jazz, atau Suzuki APV. Dua perangkat gamelan di rumah kaca, di sayap kanan dan kiri rumah induk. Binatang piaraan hidup bebas di pekarangan.
Meski penampilannya seperti orang desa, ayah delapan anak dan kakek tujuh cucu ini telah menjadi tuan tanah. Hobinya menjamu teman, sekadar makan malam atau pesta kesenian. Tahun lalu, seniman Sudjojono mengkhitan cucunya. Pestanya diselenggarakan di rumah Pekik. Eks tapol se-Jawa dan Bali yang hadir disuguhi wayang kulit. Dalangnya Kristuti.
Pekik merasa prihatin, di antara para eks tapol banyak yang ekonominya terpuruk. ”Hanya mereka yang punya keahlian saja yang bisa eksis,” katanya.
”Saya sudah mulai pikun,” kata lelaki ini. Februari lalu usianya genap 80 tahun. Ketahanan fisiknya menurun, koleksi penyakitnya bertambah, antara lain gangguan jantung, kelenjar prostat, diabetes, bila berjalan harus bertopang tongkat. Namun, pekan lalu, namanya disebut-sebut sebagai calon penerima Hadiah Nobel untuk Kesusastraan—ia menempati urutan keempat dari 23 kandidat.
Pramoedya Ananta Toer memang seorang survivor. Suatu malam, 13 Oktober 1965, rumahnya dikepung dan dihujani batu oleh sekelompok orang bertopeng. Tentara muncul, mengajak Pram menyingkir, ”mengamankan” Pram ke markas militer. Namun, sepanjang perjalanan ia dianiaya. Popor senjata menghantam pipi dan kedua kupingnya. Akibatnya, pendengaran Pram terganggu.
Sejak itu, Pram berpindahpindah penjara dari Kodam ke Guntur, Cipinang, Tangerang, Salemba, dan Nusakambangan. Terakhir, ia diberangkatkan ke Pulau Buru, Agustus 1969. Ya, Pram amat terpukul begitu mengetahui perubahan statusnya: dari golongan C-1 menjadi B. Ia sempat menganjurkan istrinya agar kawin lagi, tetapi Maemunah, istrinya, tak mau. Untuk menghidupi anak-anak, Maemunah membuat kue dan kudapan lain. ”Saya dan adik-adik berjualan kue keliling kampung,” kata Astuti, putri pertama Pram.
Sepanjang 1969–1979, Pram menghabiskan hidupnya di Pulau Buru, dan ia melaluinya dengan baik. Kerja paksa, menu sehari-hari para tahanan, dilakoninya seperti olahraga. Ia teringat, sewaktu kecil dulu tubuhnya sakit-sakitan. Sebelum ke Pulau Buru, badannya ringkih dan kurus. Ya, kerja fisik membuat tubuhnya lebih sehat dan berotot. Saat pulang ke Jakarta, ia adalah Pram yang lain. Ia seorang lelaki berbobot 70 kilogram. ”Badan saya seperti pegulat,” katanya, terkekeh.
Di tanah pembuangan itu, Pram juga tetap produktif menulis. Ia melahirkan sejumlah karya novelnya, termasuk roman tetralogi yang monumental: Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa, Jejak Langkah, dan Rumah Kaca. Atas jasa seseorang, karya-karya Pram selama di Pulau Buru diselundupkan ke Jakarta untuk diterbitkan dan diedarkan. Dari sinilah pundi-pundi keluarga Pram untuk menyambung hidup mulai terbantu, meski saat itu setiap karya Pram terbit selalu diberangus penguasa.
Sekembalinya dari Buru, Pram malah kian berkibar. Karyanya diterbitkan dalam banyak bahasa. Orang pertama yang boleh dibilang berjasa dalam menerjemahkan karya-karya Pram ke dalam bahasa asing (Inggris) dan kemudian mempopulerkannya ke luar negeri adalah Max Lane. Atase Kebudayaan Kedutaan Besar Australia di Jakarta itu menerjemahkan karya tetralogi Pram dan menerbitkannya di luar negeri. Sepak terjang Max membuat penguasa Indonesia berang. Pada 1982, Max diusir dari Jakarta.
Kini karya-karya Pram telah diterjemahkan ke dalam 42 bahasa. ”Terakhir karya saya sedang diterjemahkan ke dalam bahasa Yunani,” katanya. Berbagai penghargaan pun diterimanya, antara lain Freedom to Write Award (PEN), Wertheim Award, Ramon Magsaysay Award, UNESCO Madanjeet Singh Price, New York Foundation for the Arts Award, dan Fukuoka Cultural Grand Prize. Selain itu, ia beroleh gelar Doctor of Humane Letters dari Universitas Michigan, Amerika Serikat.
Pertengahan 1999, selama sebulan Pram diundang ke Amerika Serikat. Ia berbicara pada forum-forum seminar di sejumlah kota. ”Setiap kali bicara saya mendapat honor sekitar 2.000 dolar,” katanya. ”Makanya, saya pulang bawa banyak dolar hahaha.”
Pram mulai membangun rumah barunya di atas tanah sekitar satu hektare di daerah Bojonggede, Bogor. Rumah megah lima lantai itu dirancang oleh seorang arsitek anggota Lekra. Luas bangunan rumah itu sekitar 800 meter persegi. Sisa tanahnya dijadikan kolam ikan, taman, dan kebun. Aneka tanaman tumbuh di sana, sengaja ditanam, antara lain matoa, rambutan, nangka, belimbing, pisang, durian, dan lengkeng. Pram juga menanami sisa lahannya dengan aneka sayuran, cabe, dan tomat.”Waktu kecil saya bercita-cita punya tanah tiga hektare,” ujarnya, ”eh, sekarang malah terwujud meskipun hanya satu hektare,” kakek 16 cucu itu mengenang.
Pram memang tak menulis novel lagi. Jari-jemarinya sudah kaku, sulit digerakkan. Apalagi untuk mengetik dengan mesin ketik kunonya. Belakangan ini ia mengkliping bahan untuk Ensiklopedi Kawasan Indonesia, yang telah dirintisnya sejak 1980. Bahan-bahan kliping itu panjangnya sekarang sudah lebih dari lima meter, disimpan dengan rapi di perpustakaan di lantai tiga rumahnya.
Ia kini rajin makan bawang putih, menelan sejumlah vitamin, jalan kaki, dan membaca. Ia merasa asing melihat dirinya menjadi tua seperti sekarang. ”Saya nggak pernah belajar menjadi tua, karena itu saya nggak siap jadi tua,” katanya.
L.N. Idayanie dan Nurdin Kalim
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo