Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Presiden SBY kini menghadapi tuntutan untuk merombak kabinetnya. Tuntutan itu dipicu oleh kekhawatiran yang timbul sehubungan dengan perkembangan ekonomi yang memburuk: harga minyak mentah di pasar internasional yang membubung tinggi dan seiring dengan itu nilai kurs rupiah melemah. Bagaimanakah menyikapi isu reshuffle tersebut dipandang dari segi kepemimpinan yang presidensial?
Jawabannya tidaklah mudah. Apalagi karena tuntutan itu sendiri mempunyai alasan dan motif yang beragam. Sebagian tuntutan datang dari mereka yang memang sejak awal menilai kabinet SBY mengandung cacat. Sebagian lagi, kendati jadi mitra koalisi, tidak dapat menerima solusi kenaikan harga BBM yang ditempuh pemerintah. Ada pula yang mendukung kebijakan itu tetapi kecewa terhadap kinerja pemerintah secara keseluruhan. Ada pula yang sekadar didorong oleh egoisme golongan atau pun ambisi pribadi.
Di dalam suatu bentuk pemerintahan parlementer, tuntutan perombakan, apalagi kalau datang dari mitra koalisi, bisa menjadi persoalan serius. Pemerintahan parlementer, yang berupa pemerintahan kabinet, bersifat kolektif. Karena itu, sang perdana menteri tidak dapat mengesampingkan tuntutan itu. Malah jika salah-salah menanganinya bisa berakibat fatal: mosi tidak percaya bisa diajukan parlemen untuk menjatuhkan kabinet. Erat pertaliannya dengan sifat kolektif itu, parlementarisme menganut prinsip tanggung jawab menteri. Menteri-menteri hadir di parlemen atas namanya sendiri dan perdana menteri secara umum tidak dapat melindungi mereka.
Lain halnya dengan suatu bentuk pemerintahan presidensial. Di sini presiden adalah eksekutif tunggal. Hakikat eksekutif presidensial yang demikian menyebabkan pemakaian istilah kabinet dalam sistem ini tidaklah tepat. Presiden, selama masa jabatannya, dapat dengan leluasa mengangkat dan memberhentikan menteri-menterinya. Karena ini pula presidensialisme tidak mengenal prinsip tanggung jawab menteri. Kehadiran para menteri dalam rapat kerja dengan wakil-wakil rakyat adalah atas nama presiden dan secara umum presiden dapat lebih banyak melindungi para menterinya dari kritik.
Selain berupa eksekutif tunggal, presiden juga mempunyai kekuasaan yang mandiri karena menerima mandat langsung dari rakyat. Kekuasaan presiden itu secara karikatural dilukiskan dalam suatu cerita tentang rapat Abraham Lincoln dengan kabinetnya. Dalam rapat itu, Lincoln melemparkan suatu usul dan kemudian memungut suara. Ia lalu mengumumkan: Noes 7, Ayes 1. The Ayes yang menang. Moral cerita ini berujung pada suatu kesimpulan: jika Anda kecewa terhadap kinerja pemerintah, maka kecewalah terhadap presiden.
Itu logika sistemiknya. Logika itu yang bekerja dalam presidensialisme Amerika Serikat yang sering, kalau tidak selalu, dijadikan rujukan oleh penggemar presidensialisme di Indonesia. Tetapi dalam praktek, dan dalam konteks berbeda, pola-pola implisit ini dapat berubah. Dalam konteks multipartai, Scott Mainwaring menjatuhkan diktumnya yang terkenal: presidensialisme tidak kompatibel dengan multipartisme. Dalam lingkungan politik seperti ini, seorang presiden ada kemungkinan terpaksa memilih salah satu di antara dua: mempertahankan prinsip-prinsip presidensialisme dengan gaya otoriter atau melakukan penyesuaian dengan menjalankan suatu nonpresidential style of politics.
Presiden SBY jelas memilih jalan kedua. Akibatnya, kabinetnya sejak awal menimbulkan kekecewaan di kalangan mereka yang mendambakan suatu kabinet yang profesional. Suatu waktu dalam suatu perbincangan, saya mengungkapkan diktum Mainwaring tentang presidensialisme tadi. Seorang rekan menyahut dan dengan berapiapi mengemukakan kekesalannya terhadap susunan kabinet. Tidak presidensial sama sekali, ujarnya. ”Lalu bagaimana anda bisa berbicara tentang presidensialisme di Indonesia sekarang!?”
Ia benar. SBY telah menerapkan gaya berpolitik nonpresidensial. Tetapi rekan itu tanpa sadar sebetulnya telah memberikan bukti mengenai ketidaksesuaian presidensialisme dengan multipartisme. Maka, untuk meredakan ketegangan antara keduanya dan untuk memberi landasan kestabilan bagi pemerintahan, SBY lalu terdorong ”mempartaikan” kabinetnya. Hasilnya sebuah kabinet yang praktis bersifat koalisi dan dengan kinerja yang boleh dikatakan pas-pasan. Dan celakanya, kini kabinet itu juga menuai tuntutan untuk dirombak.
Tiada maksud saya untuk menebar fatalisme di sini. Bentuk pemerintahan presidensial, paling tidak untuk sekarang, sudah merupakan fakta dalam kehidupan ketatanegaraan kita. Dengan kata lain, kerangka kerja institusional ini, suka atau tidak suka, harus diterima dengan segala kendala dan peluang yang ditimbulkannya. Bersama dengan sistem kepartaian yang berkembang, keduanya merupakan sebuah konstanta dalam sistem politik kita. Tetapi di luar konstanta itu ada suatu variabel yang ikut menentukan kinerja sistem. Variabel itu adalah kepemimpinan!
Kombinasi kerangka kerja institusional dan struktur politik niscaya membatasi ruang gerak seorang pemimpin. Tetapi sejarah juga mengajarkan bahwa pemimpin-pemimpin dapat bertindak berbeda di atas kerangka kerja institusional dan lingkungan politik yang sama. Beberapa di antaranya, yang dikenal sebagai orang-orang kuat dalam sejarah, ternyata dapat menyuntikkan energi besar ke dalam sistem politik berkat keberaniannya mengambil risiko demi mewujudkan komitmen-komitmennya. Untuk itu, tidak sedikit sampai menantang pendapat umum.
Ada sebuah cerita lain tentang kepemimpinan yang sering dikutip mengenai soal sikap terhadap pendapat umum ini. Seorang Prancis yang sedang berada di sebuah kafe tiba-tiba mendengar keributan di luar. Ia dengan serta-merta terloncat dari duduknya dan berseru: ”Ada huru-hara! Saya pemimpin mereka. Saya harus ikut mereka.” Nah, seorang pemimpin yang selalu berupaya merefleksikan sikap pengikut-pengikutnya, tulis pemenang Pulitzer Prize, James MacGregor Burns, tak ubahnya dengan orang Prancis di kafe tadi. Ekuasinya adalah ”pengikut” yang mengarahkan ”pemimpin” dan bukan sebaliknya.
Di sinilah letak soalnya. Selain dikenal sangat berhatihati, SBY juga tampaknya mempunyai kecenderungan menyenangkan semua orang. Tidak dapat disangkal, selama tahun pertama pemerintahannya, kiprah SBY lebih banyak menampilkan suatu gaya kepemimpinan (maaf, kalau saya menggolongkannya) sebagai seorang consensus monger—seorang penjaja konsensus. Kecenderungan-ecenderungan itu sendiri tidaklah buruk. Tetapi sebagai metode pengambilan keputusan, khususnya dalam situasi yang mendesak, boleh jadi lebih banyak mudarat daripada manfaatnya. Dalam kasus kebijakan kenaikan harga BBM, misalnya, begitu banyak waktu telah terbuang dan dampaknya pun tak terelakkan pada pelemahan rupiah.
Syukurlah, pada akhirnya keputusan telah diambil. Suatu keputusan yang pahit tetapi agaknya merupakan satu-satunya pilihan yang rasional sekarang ini.
Melalui telekonferensi yang kontroversial itu, SBY seolah-olah ingin berkata: ”I’m the President—sayalah yang memutuskan!” Semestinya begitu. Malah semestinya ia berkata, sebagaimana John F. Kennedy pernah dengan gagah mengatakannya: ”Saya ingin menjadi seorang presiden yang merupakan kepala eksekutif dalam setiap arti kata itu.” Seorang presiden yang menanggapi suatu masalah, tanpa berharap bahwa bawahannyalah yang akan mengerjakannya, melainkan dengan mengarahkan agar mereka bertindak. Seorang presiden yang bersedia memikul tanggung jawab untuk menyelesaikan sesuatu dan bersedia pula menerima kesalahan tatkala pengerjaannya meleset.
Pola kepemimpinan seperti itulah yang kini diharapkan hadir untuk mengatasi situasi sulit yang dihadapi bangsa dan negara. Perombakan kabinet, sementara pola kepemimpinan tetap sama, terus terang, tidak akan memecahkan masalah. Sebaliknya, dengan tekad dan keyakinan baru, Presiden SBY tidak perlu secara khusus melayani tuntutan perombakan itu yang, dapat ditebak, akan kembali menjerumuskannya ke dalam ajang dagang sapi. Namun, demi kemanjuran kepemimpinannya empat tahun ke depan, seperti yang ia janjikan, ia tetap perlu mengevaluasi para pembantunya: siapa yang setia pada platform dan siapa yang justru jadi perintang; siapa yang deliver dan siapa yang hanya bisa jadi kambing congek; siapa yang merupakan aset dan siapa yang justru jadi liability.
SBY juga tidak perlu sama sekali meninggalkan sifat koalisi dari kabinetnya. Memerintah, dan hal ini sering dilupakan oleh para pengagum presidensialisme, juga mencakup pekerjaan legislating dan untuk itu presiden membutuhkan dukungan yang cukup, terutama dalam Dewan Perwakilan Rakyat.
Walhasil, sudah tiba waktunya Presiden SBY tampil sebagai eksekutif presidensial dengan keyakinan yang kuat atas komitmennya dan mengambil tindakan untuk melaksanakan komitmen itu. Kepemimpinan demokratis tidak harus lembek dan tidak harus selalu mengejar konsensus dalam pengambilan keputusan. Kepemimpinan demokratis juga tidak selalu harus nunut pendapat umum. Sebaliknya, dalam keadaan tertentu, ia harus dapat mendahului dalam arti membentuk pendapat umum itu.
Hanya dengan demikian, Presiden SBY dapat sekali lagi diharapkan merebut kepercayaan rakyat dan selanjutnya menggerakkannya ke arah perubahan. Tanpa itu semua, apa boleh buat, kaum demokrat terpaksa harus bersabar menunggu sampai 2009 nanti.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo